Kasusnya berliku-liku dan tidak jelas (bagi saya) sehingga dia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala desa di Kabupaten Karo. Tapi, ada sebuah petikan CCTV yang dijadikan bukti oleh sebagian warga desa setempat kalau kepala desa itu memelihara Begu Ganjang. Sebagai antropolog, saya tidak pernah membahas apakah Begu Ganjang itu benar ada atau gossip belaka alias tidak benar ada.
Sesuatu yang menarik bagi saya dari petikan CCTV itu adalah adanya sebuah kode tradisi yang ditafsirkan dengan pikiran dari luar tradisi itu.
CCTV itu memperlihatkan si kepala desa memercikan air putih ke salah satu sudut ruangan. Tindakannya itu dijadikan bukti bahwa dia memelihara Begu Ganjang. Dalam tradisi Karo, memercikan air putih ke suatu tempat ataupun wajah seseorang adalah justru mengusir sesuatu yang tidak baik dari ruangan atau tubuh seseorang itu.
Saya ingat suatu malam, adik saya yang masih bayi terus menerus menangis meski sudah dipangku dan dipeluk ibu. Lalu, ibu meminta saya mengambil semangkok air putih dan kemudian memercikannya ke sudut-sudut ruangan. Pemahaman saya saat itu, atas dasar penjelasan ibu, siapa tahu ada makhluk tertentu yang menakutkan adik saya yang tidak kami lihat.
Mengikuti logika orang-orang yang menuduh kepala desa memelihara Begu Ganjang, bisa-bisa ibu saya juga dicurigai memelihara Begu Ganjang. Padahal, tindakan seperti itu dalam khasanah ritual-ritual Karo adalah “purification”, pembersihan diri atau benda dari hal-hal yang berakibat pembusukan (rotting) yang akhirnya membawa seseorang atau benda itu ke akhir hidupnya.
Hanya saja, seperti yang sudah berkali-kali saya khawatirkan lewat media sosial, ada kecenderungan sekarang ini untuk menafsirkan segala hal terkait ritual tradisional berdasarkan cara berpikir dari luar terutama atas ajaran agama Samawi (Kristen dan Islam). Sesajen misalnya, ditafsirkan sebagai sajian makanan terhadap roh-roh tertentu yang akan menyantapnya. Hal ini sudah terekam dalam Kisah Putri Hijau.
Beberapa penutur kisah mengatakan pada saya, itulah kebodohan Pengulu Seberaya. Karena Nini Naga makanannya daging ternak, maka dia menghabiskan ternak warga untuk memberi makan Nini Naga. Ini berujung kemarahan warga dan meminta pengulu mengusir Putri Hijau beserta kedua saudaranya dari kampung itu.
“Padahal, dengan menyajikan Cimpa Embun-embunen sudah cukup,” kata para penutur cerita kepada saya.
Cimpa Embun-embunen adalah cimpa matah 4 kepal dihidangkan di atas ujung daun pisang dengan posisinya membentuk segi empat. Lalu, di tengahnya diletakkan bertih beras (sejenis pop corn tapi bahannya dari beras).
——————————-
SELINGAN
Bertih ini sampai sekarang masih merupakan sajian penting saat orang-orang Melayu di seluruh Nusantara memberi sajian kepada Mambang (sebutan Melayu) untuk Nini Naga dalam ritual Jamuan Laut.
—————————–
Penjelasan penutur kisah dari Karo itulah yang menurut guru besar antropologi dari Universitas Harvard (Jearaja Tambiah) perbedaan antara Karl Marx dan Claude Levi-Strauss. Menurut Marx, kata Tambiah, “animal is good to eat” sementara menurut Levi-Strauss “animal is good to think”.
——————————-
SELINGAN
Good dalam Bahasa Inggris bisa juga berarti barang (komoditas) yang dalam Bahasa Belanda disebut goederen.
——————————-
Orang-orang Kristen biasanya menggunakan istilah “santapan rohani” untuk hal-hal non benda yang dikonsumsi oleh pikiran. Tapi, maksud Levi-Strauss adalah hal-hal benda itu khususnya makanan ritual bukanlah dikonsumsi hanya untuk memenuhi kebutuhan perut, tapi untuk asupan pikiran.
Saat upacara-upacara Karo dilakukan dengan menyembelih seekor kerbau atau lembu, maka bagian-bagian tertentu dihidangkan kepada orang-orang tertentu sesuai perannya di dalam masyarakat si punya hajatan (sukut sierkerja). Keempat tulang paha bagian atas (tulan putur), misalnya, diberikan kepada Sembuyak, Anak Beru, Kalimbubu, dan Senina. Dengan begitu, Karo Society merasuk ke dalam pikiran para konsumennya.
Tapi, coba saja sekarang ini seorang generasi muda Karo menemukan Cimpa Embun-embunen di sebuah persimpangan jalan di luar kampungnya, bisa ribut satu kampung. Bisa pula berkembang cerita “kurasa Nande Sianu yang meletakkannya tadi malam”. Bisa-bisa seluruh keluarga Nande Sianu diusir dari kampung atau rumahnya dibakar.
Itu jelas bukan pikiran asli Karo, tapi melainkan agama-agama Samawi yang menjanjikan kemajuan (memasuki peradaban lepas dari kebiadaban) dan membebaskan orang-orang Karo dari kegelapan dengan membawa terang.
Adalah pikiran Evolusionisme yang menganggap kehidupan tradisional orang-orang Karo sebagai sesuatu yang tertinggal. Sehingga, segala sesuatu yang terkesan bagian dari tradisi Karo dianggap sebagai bagian dari dunia kegelapan.
It is good to think!