Kolom Juara R. Ginting: LABO

Setelah menaikan berita Harga Cabe Dinihari [Senin 28/11], saya menyaksikan berita TV terakhir menjelang tengah malam di Belanda [Minggu 27/11]. Kebetulan berita mengenai tanah longsor di Italy. Seorang lelaki tua berkata, “pohon-pohon ditebangi di tebing itu.”

Sebuah kosa kata Karo meloncat dari benakku, labo, yang biasanya diucapkan laboh.

Bila diterjemahkan secara gamblang, labo berarti “tidak akan terjadi”. Tapi, sebenarnya, selalu di dalam nada keraguaan sehingga ada baiknya diterjemahkan “semoga tidak akan terjadi”.

Lalu, saya ingat sebuah ceramah untuk kami para bekas pasien “hard infarct” yang sedang menjalani revalidasi. Menurut penceramah, saat ini, hard infarct tidak lagi masalah besar asalkan saja pasien sempat tiba di rumah sakit.

“Persoalan utamanya adalah sering kali pasien sudah meninggal dunia sebelum sempat tiba di rumah sakit,” kata dokter itu.

Selanjutnya dia mengatakan, itulah sebabnya LUMC (Rumah Sakit Universitas Leiden) mengupayakan perbaikan demi perbaikan di dalam sistim ambulans agar pasien secepat mungkin mendapat pertolongan.

Suatu ketika, saya mendapatkan keluhan nafas pendek. Saya terengah-engah berat saat pendakian di sebuah jembatan (bersepeda). Dokter saya mengontak cardiolog di LUMC untuk memeriksa jantung saya.

Tapi dokter itu memarahi saya.

“Mengapa tidak saat mendapat keluhan langsung menelepon ambulans?!” katanya sedikit marah campur mencemaskan kondisi saya.

Untung saja cardiolog menyimpulkan tidak ada masalah besar dengan jantung saya. Adanya cairan di kantong jantung (bukan di dalam jantung) kemungkinan akibat hadirnya virus di kantong jantung.

Saya jelaskan itu kepada dokter saya sambil menambahkan bahwa saat itu kiranya saya terserang oleh Covid. Tapi dokter saya tetap marah dengan mengatakan agar sekali lagi saya langsung menelpon ambulans.

Saya pun jadi teringat ceramah dokter saat kami menjalani revalidasi. Katanya, lebih baik menelpon ambulans meskipun hasilnya adalah “fals alarm” daripada terlambat tiba di rumah sakit sehingga berakibat kematian.

Meski Rumah Sakit Universitas Leiden sudah mengingatkan, dan dokter sudah marah pada saya, saya tetap tidak melaksanakannya. Dalam hati, saya berkata pada diri sendiri, labo.

Saya pikir, bukannya tidak ada yang tahu kalau penebangan hutan kelanjutannya bisa berakibat bencana alam dengan korban jiwa seperti di Italy barusan. Manusia tidak sebodoh itu untuk tidak memahaminya. Hanya saja, ini persoalan psiko-kultural untuk berpikir, labo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.