Sekarang terjadi kebingungan di kalangan Karo tentang mana yang benar antara “jenda nari ku pudi” (dari ini ke belakang [hari]) atau “jenda nari ku lebe” (dari ini ke depan). Kebingungan terjadi sejak orang-orang Karo menggunakan cara berpikir Bahasa Indonesia dalam menggunakan kata-kata Karo. Dalam Bahasa Karo tulen, “jenda nari ku pudi” (dari sini ke belakang).
Tapi, orang-orang Karo sendiri mengkritisi penggunaan Bahasa Karo ini karena, menurut mereka, hal-hal yang belum ada di masa depan kita sementara hal-hal yang sudah terjadi ada di belakang kita.
Tidak ada minat menelitinya lebih dalam karena kita sudah dicekoki pula pikiran evolusionistis kalau tradisi Karo termasuk bahasanya adalah peninggalan masa lalu. Maka, apa yang berlaku di dalam Bahasa Indonesia adalah yang benar, apalagi bahasa-bahasa Eropah seperti Inggris berpihak ke Bahasa Indonesia.
Mengapa makhluk umang telapak kakinya terbalik?
Lagi-lagi orang-orang masa kini langsung punya jawaban bahwa itu 1) takhyul belaka, 2) itu benar-benar memang begitu makhluk umang.
Tidak ada yang menduganya kalau itu adalah metafor dari “berjalan ke masa lalu” sebagaimana posisi Anak Beru Tua yang berasal dari hubungan kekerabatan kuno yang diperbaharui.
Demikian juga halnya dengan istilah “hamil tujuh bulanan”. Ini bukan istilah Karo tapi dianggap itulah yang paling benar menjelaskan ritual yang disebut “mbaba manuk mbur” (membawa ayam gemuk) atau “mbesur-mbesuri” (memberi makan hingga kenyang).
Padahal perhitungannya upacara itu diadakan pada kehamilan 200 malam.
Bagaimana pula dengan kalimat ini?
“Aku e denga i juma nari” yang kalau diterjemahkan kata demi kata ke dalam Bahasa Indonesia adalah “aku barusan ladang dari”. Tata bahasa seperti ini hanya terdapat pada Karo di Indonesia. Tidak ada juga pada Simalungun, Pakpak, Batak maupun Mandailing.
Di dalam Bahasa Inggris kita kenal “where are you from?” (mana kamu datang dari).
Apakah Bahasa Karo salah atau ketinggalan jaman sebagaimana teori evolusi membisikkan?
Kamu aja yang sudah duluan menganggap rendah budayamu sendiri demi membanggakan budaya-budaya dari luar sehingga tidak lagi tertarik mempelajari Budaya Karo.
Saya jadi teringat sebuah peristiwa di kampung Karo. Ayahnya meninggal dunia. Malamnya setelah pemakaman diadakan ritual Perumah Begu (memanggil roh orang mati kembali ke rumah). Roh ayahnya bertanya (melalui spirit medium) di mana putra bungsunya.
Saudari-saudari ayahnya datang memanggil putra bungsunya untuk berbicara dengan roh ayahnya. Dia menolak sambil berkata, “tidak ada itu roh orang yang sudah mati bisa berbicara dengan kita. Itu hanya dramatisasi medium.”
Para bibinya serentak berkata,. “apakah kamu baru tahu itu adalah dramatisasi medium? Ke mana kamu selama ini, nakku?”