Kolom Juara R. Ginting: MEMPRETELI LITERATUR KOLONIAL SEBAGAI HOAX

Laporan awal Belanda mengenai Dataran Tinggi Karo menyebut kampung-kampung sekitar Barus Jahe sebagai wilayah Urung Si Pitu Kuta. Nantinya mereka menyadari kalau Urung Si Pitu Kuta beribunegeri Tengging dengan wilayahnya meliputi kampung-kampung sekitar Tengging seperti Sikodon-kodon, Sibolangit, Pengambaten, dan Garingging.

Tidak lama kemudian, mereka dihadapkan pada kenyataan adanya 2 urung yang bernama Si Pitu Kuta.

Selain Si Pitu Kuta Tengging terdapat Urung Si Pitu Kuta yang beribunegeri di Ajinembah dengan kampung-kampung yang menjadi wilayahnya adalah Talinkuta, Lauriman, Singa, Kacinambun, Manukmulia, Kubu, Cungcang (sekarang Suka Mandi), Negara, Naga Lingga, Pancurbatu, Pertibi, Dokan, Raja Kinayan (sekarang Muliarayat).

Progres yang terjadi di dalam Kepustakaan Kolonial di atas menunjukan bahwa data dan informasi yang telah dipublikasi belum tentu benar sepenuhnya. Pada kasus di atas, Pemerintahan Kolonial sendiri kemudian menyadari sesuatu yang lebih benar, sementara kesalahan sebelumnya hanya diakibatkan kurangnya pengetahuan tentang daerah itu.

Ada berbagai sebab timbulnya kesalahan di dalam literatur. Selain ketidaktahuan, kesalahan bisa terjadi karena keteledoran, singkatnya waktu mendapatkan data/ informasi sehingga terjadi kedangkalan pengetahuan serta termasuk pula kasus-kasus yang memang sengaja dibuat salah demi kepentingan tertentu.

Sengaja atau tidak sengaja, data/ informasi kepustakaan maupun arsip dapat dikatakan hoax ketika data/ informasi itu dijadikan rujukan untuk menyimpulkan sesuatu sedangkan data/ informasi itu sudah jelas-jelas salah atau kebenarannya tidak pernah terbukti.

Contoh kasus yang pertama adalah keterangan di sebuah foto lama (dijepret di Masa Kolonial). Captionnya menjelaskan kalau foto adalah Rumah Batak yang terdapat di Siantar. Sementara semua kita bisa melihat kalau itu jelas-jelas Rumah Karo yang tidak mungkin bisa didapati di Siantar pada masa itu sampai sekarang.

Banyak sekali foto-foto dari Masa Kolonial yang jelas-jelas sekali bagi banyak Orang Karo yang melihatnya adalah Rumah Adat Karo tapi disebut Batak House atau Batak Huis. Ini adalah contoh kasus dimana data/ informasi ditampilkan atas dasar kedangkalan pengetahuan.

Karena mengetahui foto itu berasal dari Langkat, misalnya, maka disebutnya itu Batak House atau Batak Huis berdasarkan pengetahuannya yang dangkal mengenai daerah itu. Pada dasarnya ini bukan hoax meskipun sekarang ini ada Gerakan KBB (Karo Bukan Batak). Ini menjadi hoax ketika seseorang atau sekelompok orang merujuk ke data/ informasi ini sebagai bukti bahwa Karo adalah Batak.

Mengapa itu kita anggap hoax?

Jelas-jelas data/ informasinya dangkal alias berdasarkan ketidaktahuan, tapi dijadikan sebagai bukti keras untuk menyimpulkan Karo adalah Batak. Kalau itu dijadikan bukti betapa minimnya pengetahuan banyak orang asing mengenai perbedaan suku-suku di Sumatera Utara tentu saja data/ informasi itu tidak perlu kita anggap hoax.

Jadi, dalam kasus terakhir, bukan penginformasi awal yang menyebar hoax. Orang-orang yang merujuknya sebagai bukti sebuah realitas, padahal data/ informasi itu didapat melalui proses kedangkalan pengetahuan, itulah si penyebar hoax.

Demikian juga halnya dengan teori yang dilontarkan sekitar 5 Orang Karo di medos bahwa, pada awalnya, hanya Karo yang disebut Batak. Tapi kemudian, menurut teori itu, orang-orang Toba mencaplok identitas Batak itu dari Karo sehingga seolah-olah merekalah awalnya Batak.

Argumen mereka adalah bahwa Karo mengenal ritual Mbatak-mbataki. Padahal, kalau kita kaji ritual ini, maka kita tiba pada kesimpulan bahwa kata dasar Mbatak-mbataki bukan Batak tapi “mbatak” yang artinya mencetak sesuatu menjadi setepek. Dengan kata lain, kosa kata yang sama atau mirip belum tentu punya arti yang sama.

Kalau kita tinjau literatur, maka kita temukan Karo yang disebut Karaw baru muncul di buku William Marsden (1811) THE HISTORY OF SUMATRA. Itupun hanya satu kalimat tok sedangkan buku tebal itu berulangkali menyebut adanya orang-orang Batak di sekitar Danau Toba.

“Nun jauh di sana ada Karaw, Riah, dan Achin,” demikian kira-kira Marsden menulis dalam bukunya yang sangat tebal itu yang menunjukan dia sudah kenal Batak sebelum mengenal Karo.

Sebelum buku Marsden itu, tak ada satupun kepustakaan maupun arsip yang menyebut Karo. Ini membuktikan bahwa asumsi Karo adalah Batak yang sebenarnya, kalau terus diulang-ulangi di medsos tanpa elaborasi yang lebih mendalam dan dianggap pula sebagai kebenaran absolut, dapat kita katakan hoax.

Inti dari tulisan ini adalah bahwa kepustakaan dan arsip kolonial maupun pre kolonial bisa salah. Sepanjang belum bisa menunjukan keberadaan faktanya tapi sudah dijadikan rujukan utama untuk menyimpulkan sesuatu atau terus diulang-ulangi tanpa pernah sekalipun menunjukan ada faktanya maka itu semua adalah hoax.

Menyebar hoax adalah perbuatan hina dina.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.