Sudah lebih 20 tahun kita mendiskusikan Karo di media sosial. Awalnya ada mailing list yahoogroups dipelopori oleh Malem Ukur Ginting dari Goteborg (Swedia) dan kemudian berkembang ke yahoogroup Tanahkaro yang dipelopori oleh Herland Sembiring Meliala bersama Ita Apulina Tarigan, Rayendra Ginting dan lain-lain alumni Polimed Medan beserta Ira Munthe alumni FISIP USU Medan.
Di sana, saya pernah mengatakan kalau lokasi Istana Maimun itu adalah wilayah Urung Sukapiring (Karosekali dan Meliala).
Menurut Karl Pelzer dalam bukunya yang terkenal itu, Sultan Deli menunjuk lokasi Istana Maimun untuk menunjukan dirinya berkuasa terhadap orang-orang Karo, tidak terbatas pada orang-orang Melayu. Padahal, kekuasaannya sebelum Kolonial terbatas di kalangan orang-orang Melayu. Bila orang-orang Karo sedari dulu leluasa bergerak hingga ke laut, orang-orang Melayu akan terserang Musuh Berngi bila memasuki wilayah Deli Hulu. Termasuk Sultan Deli sendiri.
Saat itu, saya langsung dimaki-maki oleh orang-orang Karo sendiri. Dituduh chauvinist alias menghebat-hebatkan suku sendiri. Pemahaman sejarah mereka rupanya hanya sampai pada KEBENARAN MASA KOLONIAL.
Langsung maupun tidak langsung mereka menuduh saya bodoh dan tidak tau sejarah. Meskipun saat itu mereka tau kalau saya tinggal di Leiden dan berprofesi sebagai antropolog.
Sekarang, hampir semua Orang Karo tahu perihal yang saya katakan di atas. Hanya saja, masih sulit membebaskan mereka untuk siuman dari bius kolonialisme.
Kisah ini mengemuka di benak saya ketika saya menyadari tidak banyak orang paham mengenai anjuran saya kemarin agar HATI-HATI MENGATAKAN ADA ATAU TIDAK ADA TANAH ADAT di Simalungun dan Karo.
Mengapa saya katakan begitu dan mengapa pula saya merasa orang-orang kurang memahami apa yang saya katakan?
Pertama, pernyataan Dr. Sarmedi Purba tidak ada Wilayah Adat di Simalungun beresiko membuat mandul AMAN Simalungun dalam upaya melindungi hak-hak hukum Masyarakat-masyarakat Adat di Simalungun.
Ke dua, perdebatan ada tidaknya Wilayah Adat di sebuah daerah di Nusantara akan terbentur pada pertanyaan siapa yang benar dalam memahami Adat, Tanah Adat maupun Wilayah Adat sebagaimana diperkenalkan oleh kolonial, bukan sebagaimana terendap di dalam sistim sosial masyarakat setempat.
Poin ke dua mempersilahkan kita memilih salah satu diantara kedua tindakan ini:
1. penggalian/ pendalaman data/ fakta ke arsip-arsip kolonial,
2. penggalian/ pendalaman terhadap sistim sosial masyarakat setempat.
Kelompok masyarakat yang mengklaim sebagian tanah di Kabupaten Simalungun itu adalah wilayah marga mereka meski marga mereka bukan bagian dari marga-marga Simalungun punya dasar klaim yang kuat bila kita merujuk pada kebenaran yang pernah ditetapkan oleh Pemerintah Kolonial.
Seperti halnya Sultan Deli sebagai pemimpin puncak yang tunggal di Deli adalah benar adanya bila kita merujuk ke apa yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Kolonial di Masa Kolonial. Tapi, bila kita menembus tembok sejarah kolonial kita akan temukan kebenaran lain yang, ketika saya angkat sekitar 20 tahun lalu di mailing list, saya dibabi-babikan oleh orang-orang Karo sendiri.
Itulah sebabnya saya tetap bersikeras meneruskan perjuangan KBB dengan gerakan pencerahan secara tertulis, bukan dengan main pegas …. pegas …. Soal dibabi-babikan dituduh orang bodoh, sudah hal kecik bagi saya.
“Tehko nge pagi sada masa,” nina ukurku cakap-cakap la radum nuri-nuri la erteman.
Begini dia situasinya kebenaran pada tembok kolonial itu.
Sekelompok orang dari marga tertentu diarahkan oleh lembaga tertentu yang mendapat restu pemerintah kolonial untuk membuka hutan menjadi lahan pertanian mereka di Simalungun. Sekarang, Pemerintah RI di bawah pimpinan Jokowi berusaha membagi-bagi tanah ke rakyat terutama penduduk setempat (untuk tidak disikat habis oleh mafia tanah).
Sangat logis bila warga setempat itu mengklaimnya adalah wilayah marga mereka karena nenek moyang marga mereka yang membukanya DARI HUTAN MENJADI HUTA. Apalagi kalau mereka tergabung dalam AMAN TANO BATAK.
“Simalungun masuk Tano Batak atau bukan?” Sebuah pertanyaan yang bisa muncul di suatu saat nanti dan saya tidak mau menjawabnya karena saya bukan Orang Simalungun dan saya juga bukan Orang Batak.
Masalahnya lagi, di Hindia Belanda hanya ada 3 jenis pemilikan tanah:
1. Tanah Negara
2. Tanah Raja
3. Tanah Rakyat yang pengelolaannya diatur oleh Adat setempat
Inilah yang pernah menjadi masalah hingga pada puncaknya pecahlah Perang Sunggal. Pihak perkebunan membayar sewa konsensi tanah pada mulanya hanya kepada Sultan Deli padahal berada di wilayah salah satu Urung Karo.
Setelah pecah Perang Sunggal, Pemerintah Kolonial banting setir dengan membagi sewa tanah 1/3 ke Sultan Deli, 1/3 ke Raja Urung Karo setempat, dan 1/3 ke pengulu-pengulu Karo setempat. Perang Sunggal gelombang ke 2 pecah lagi.
Masalah yang belum tuntas dengan pembagian sewa 1/3 itu, kata Pelzer, adalah diabaikannya nilai ekonomis hutan bagi penduduk sekitar. Misalnya pohon tualang (compassiana atau bee tree), kata Pelzer, bernilai ekonomi karena di situ lebah bersarang sehingga menghasilkan madu.
Saya pikir Pelzer terlalu berlebihan mengkajinya dari pendekatan Materialisme. Saya justru melihat pohon tualang (ingat Tualang Si Mande Angin dari Pawang Ternalem) bernilai religius. Kapan-kapan saya akan paparkan bagaimana konsep Kepala Madu yang diberikan kepada Pengulu Silebe Merdang (pemimpin urung di tingkat kuta) yang diterapkan dalam pemberian Mas Kawin bernama ULU EMAS.
Terpenting di sini adalah bahwa pemahaman kita mengenai HUTAN sampai detik ini belum merdeka dari ketetapan Jaman Kolonial. Kebanyakan hutan dicaplok oleh Pemerintah Kolonial menjadi Tanah Negara dan sebagian lagi menjadi Hutan Lindung.
Dalen Kuda adalah jalan setapak agar polisi hutan bisa mengawasi perluasan pertanian rakyat ke arah hutan dan sekaligus mencegah kebakaran hutan.
Sebenarnya tulisan ini awalnya hendak saya beri judul: PENGUDAI PEMETEHNDU KERNA TANEH KARO. Karena saya mau menganjurkan agar kita menembus tembok kolonialisme untuk tidak menjadikan ciptaan-ciptaan kolonial sebagai kebenaran abadi atas keberadaan kita sebagai bagian dari sejarah yang panjang dari kehidupan ini.
Di atas tadi saya ingatkan adanya 2 jenis penggalian/ pendalaman mengenai tanah: 1. ke arsip-arsip kolonial, 2. ke sistim sosial masyarakat setempat.
Kalau kita katakan Simalungun tidak punya wilayah adat dan Karo punya wilayah adat, apakah wilayah adat atau tanah adat itu termasuk hutan? Jelas tidak?
Undang-undang perlindungan masyarakat adat dan organisasi AMAN serta gerakan Pemerintah RI memperkuat rakyat dengan membagi-bagi lahan tidur memberi peluang ada AMAN tertentu yang non Karo mengklaim hutan tertentu di Tanah Karo wilayah adat marganya.
Padahal, kalau kita menembus tembok sejarah kolonial, abaikan sementara konsep kolonial atas Tanah Adat, kita dapati adanya:
1. Taneh Kuta (meliputi pemukiman dan areal pertanian intensif/ juma buaten plus pulo-pulo kuta)
2. Taneh Urung (meliputi hutan dan wilayah pertanian berpindah-pindah/ juma ngumbung)
Mari kita mentahkan (pengudai) pemahaman kita mengenai Adat dan Tanah Adat. Kita kocok ulang agar Tanah Adat di Karo tidak hanya terbatas pada tanah garapan komunal, tapi mencakup wilayah pemukiman, pertanian dan hutan.
Ini adalah salah satu bagian dari RETHINKING KARO SOCIETY.
Salam mejuah-juah, salam dibabi-babikan lagi.