
Kalau kukatakan Tuhannya orang-orang Kristen tidak adil. Kemudian kujelaskan mengapa aku berkata begitu. Atau, sebaliknya, kuuraikan tindak tanduk Tuhannya orang-orang Kristen dan kemudian kusimpulkan dia tidak adil. Anda boleh membantah pernyataan saya dengan menunjukkan di mana kesalahan atau kelemahan uraian saya.
Begitulah dinamika kritik di dunia ilmiah akademik.
Tapi, apa yang dilakukan oleh Rocky Gerung sehingga seorang tokoh PAN menuduhnya tidak intelek?
Saya masih ingat di televisi nasional dia mengatakan “agama adalah sama dengan ganja”. Lucunya, orang-orang pada ketawa dan di media sosial banyak yang menampilkan diri sebagai orang gamis dan berkeyakinan tebal pada Allah mendukung tingkah polah Rocky seperti itu.

Di lain waktu dia mengatakan “kitab suci adalah fiksi”. Dan banyak orang yang katanya ulama dan berkeyakinan akan masuk sorga mendukung Rocky Gerung.
Sebagian orang berpendidikan (intelektual) mengetahui pijakan Rocky Gerung mengatakan “agama adalah sama dengan ganja” dan “kitab suci adalah fiksi” dapat ditelusuri ke aliran Materialisme Marxisme. Gaya mulutnya Rocky Gerung juga menunjukkan dia sangat yakin akan pijakan pendapatnya itu.
Tapi, ada 2 hal utama yang menjadi masalah dengan pernyataan-pernyataan Rocky Gerung di televisi atau media sosial. Kedua masalah itu mengkristal pada ejekennya terhadap Presiden RI (Jokowidodo alias Jokowi) dengan menggunakan kata-kata umpatan “bajingan tolol”. Sebelumnya dia sering menggunakan kata umpatan dungu yang diarahkan kepada Jokowi.
Nanti kita kembali pada Materialisme-Marxisme, tempatnya berpijak untuk mengatakan “agama adalah ganja” dan “kitab suci adalah fiksi” alias dongeng alias khayalan belaka. Mari kita bahas sebentar ucapannya saat mengatakan Jokowi “bajingan tolol”.

Tindakan bajingan tolol menurut Gerung dilakukan oleh Jokowi karena Jokowi pergi ke China mencari investor untuk membangun IKN (Ibu Kota Negara). Dari video-video yang menampilkan ucapannya itu, saya tidak menemukan ulasannya mengapa dia menganggap tindakan Jokowi itu adalah bajingan tolol.
Di video lain dia menjelaskan konteks ucapannya itu terkait dengan ketidaksetujuannya pada IKN (Ibu Kota Negara). Tapi, pada saat dia melancarkan apa yang disebutnya kritik itu saya tidak menemukan penjelasan apa salahnya mencari investor ke China.
Mungkin dia punya pijakan yang jelas juga mengapa dia anggap itu tindakan bajingan tolol. Tapi, dia tidak menjelaskannya mengapa dia menyebut itu tindakan bajingan tolol.
Gerung diuntungkan oleh adanya publik pembenci Jokowi sehingga ucapannya itu disambut gembira oleh publik yang mendengarnya langsung maupun di media sosial.
Seperti yang dikatakan oleh Fahri Hamzah kepada Metro TV (Lihat video di bawah pada Menit 03: 40), dalam menjawab presenter yang mengatakan ada rakyat yang marah. Kata Fahri Hamzah, “di belakang Rocky juga ada orang yang bisa mengatakan ada rakyat juga yang mendukung dia.”
Mari kita mengaso sejenak di kasus “bajingan tolol” ini dengan mengambil inti sari paparan saya di atas.
Kiranya Gerung merasa tidak perlu menjelaskan mengapa tindakan Presiden RI mencari investor ke China itu adalah tindakan bajingan tolol karena dia tahu labelisasi bajingan tolol itu akan disambut banyak orang dan terus akan dikipas-kipas oleh media massa konvensional maupun media sosial.
Aneh kalau Fahri Hamzah memberi penekanan kedudukan Rocky Gerung sebagai seorang akademisi dalam melayangkan “kritik” terhadap presiden. Anehnya di mana?
Kritikan dari seorang akademisi bukan dengan tuduhan-tuduhan tanpa penjelasan mengapa seseorang atau sebuah lembaga tertentu dituduh bajingan, tolol ataupun dungu. Kalaupun dianggap ada yang kurang baik atau tidak baik sama sekali, paling-paling kaum akademisi menggunakan kata bodoh, kurang pintar, tidak bijaksana, ceroboh atau sembrono.
Dia sengaja mengganti kata-kata bodoh, kurang pintar, tidak bijaksana, ceroboh dan semborono itu dengan kata-kata dungu, tolol, dan bajingan. Dalam pergaulan sosial, istilah bodoh biasa diarahkan kepada orang-orang yang setara. Dalam politik, tuduhan bodoh juga masih wajar diarahkan kepada seorang penguasa seperti halnya halnya pemimpin negara.
Sementara kata-kata dungu, bajingan, dan tolol hanya digunakan kepada orang-orang yang kedudukannya dianggap jauh lebih rendah daripada pembicara. Istilah-istilah sangat banyak digunakan dalam sistim perbudakan atau menyerang mental musuh dalam perang maupun konflik.
Begitulah cara Gerung meninggikan dirinya tapi lupa dia merendahkan seorang pimpinan negara. Dia pura-pura tidak mengerti kalau banyak rakyat tersinggung karena dia memang menggunakan istilah-istilah itu untuk menambah tuba pada sambal terasi yang dibuat. Orang-orang jadi lupa itu hanya sambal terasi karena terlalu disibukkan oleh nyengatnya rasa tuba sambal itu.
Itu adalah strategi menutup kelemahan sendiri tapi ingin bergaung menjadi pembicaraan publik.
Dalam video lain, Rocky menjelaskan kalau dia sudah memilih kata-katanya untuk melayangkan kritikan tajam. Tentu muncul pertanyaan, apakah tuduhan “bajingan tolol” tanpa penjelasan itu adalah kritikan tajam seorang akademisi?
Di kesempatan yang sama, Rocky menuduh pencarian investor ke China itu adalah cara Jokowi mendapatkan legasinya sendiri setelah nanti masa jabatannya usai.
“Dia akan menjadi rakyat biasa sehabis masa jabatannya. Dia hanya memikirkan nasibnya sendiri, sama sekali tidak memikirkan rakyat,” katanya.
Nanti dia mengatakan tuduhannya itu “tidak diarahkan pada pribadi presiden Jokowi tapi pada kabinet sebagai sebuah lembaga pemerintahan” (Lihat di video di bawah Menit 01.45). Di sini nampak sekali tabiat asli Rocky Gerung yang tidak sadar sudah berbohong.
Apakah menuduh tindakan “mencari investor ke China demi legasinya sendiri sehabis masa jabatannya,” tidak diarahkan ke pribadi Jokowi? Bagaimana dengan kalimat “dia akan menjadi rakyat biasa sehabis masa jabatannya”? Siapa maksudnya itu kalau bukan Jokowi?
Apakah maksudnya legasi semua orang yang duduk di dalam kabinet atau kabinet aansich sebagai sebuah lembaga? (Saya gunakan istilah “aansich” kali ini karena Rocky sering menggunakannya).
Salah satu tipe pembohong terlihat pada ucapan Rocky pada video yang sama (Lihat pada menit 1.05). Dia mengatakan “secara metodologis, saya hubungkan dengan pernyataan Pak Moeldoko ….. dan seterusnya”. Saya tidak menemukan relevansi istilah “secara metodologis” dalam kalimatnya ini.
Tapi, dengan mengatakan begitu dia sudah memukau orang-orang yang memang tidak tahu apa itu metodologis.
Kelebihan Rocky Gerung memang dalam memukau orang-orang yang tidak terbiasa dengan dunia ilmiah akademik. Demikianlah dia berhasil mendapat tepuk tangan dan dukungan publik tertentu ketika dia mengatakan “agama sama dengan ganja” dan “kitab suci adalah fiksi”.
Kaum intelektual kita banyak yang kenal ungkapan “agama adalah obat bius” tapi belum tentu semuanya memahami apa yang dimaksud oleh Karl Marx saat mengatakan itu dalam bukunya Das Kapital.
Lucunya, Gerung disambut hangat oleh para pembenci Jokowi saat dia mengatakan “agama sama dengan ganja” sementara pendukungnya itu kebanyakan adalah kaum gamis. Di situlah letaknya apa yang tadi saya katakan kalau Gerung itu diuntungkan oleh posisinya sebagai salah seorang terdepan dalam mengumpat Jokowi.
Ucapan “kitab suci adalah fiksi” memang kurang dikenal di Indonesia sebelum Gerung menggaungkannya lewat televisi. Tapi itu sangat dikenal di kalangan Marxisme. Coba bayangkan, mengapa tidak ada satupun dari kelompok Islam yang melaporkan Gerung ke polisi atau setidaknya menggugat balik saat Gerung mengatakan “kitab suci adalah fiksi”?
Kaum muslim moderat dan agama-agama lain menganggap itu tidak penting-penting amat apalagi bisa memancing kemarahan kaum muslim radikal. Sementara kaum muslim radikal sudah terbius oleh rasa benci terhadap Jokowi.
Rasa benci terhadap Jokowi itulah modal utama Rocky Gerung membuat seolah-olah dia adalah pengkritik yang mewakili ilmuwan akademik. Padahal, dia sama sekali tidak mempertanggungjawabkan keakademikan tuduhan-tuduhannya itu dengan cara memberi penjelasan, misalnya, dia mengutip pendapat siapa ungkapan “kitab suci adalah fiksi” dan apa maksudnya penulis yang dikutipnya itu dengan fiksi. Apakah bisa kita artikan dongeng atau khayalan belaka tanpa ada nilai sejarahnya?
Tapi, gejala yang terlihat oleh saya, apa saja yang diucapkan oleh Gerung yang berbau tudingan dan umpatan terhadap Jokowi akan disambut gembira dan didukung oleh orang-orang yang memang telah duluan membenci Jokowi. Sampai-sampai mereka tidak sadar kalau sebenarnya ucapan Gerung “agama sama dengan ganja” dan “kitab suci adalah fiksi” sudah menghina agama mereka sendiri.
Masalah ke dua yang dihadapi oleh Rocky Gerung tanpa disadarinya adalah bahwa ucapan-ucapannya yang hanya menjamah permukaan itu tidak mewakili keseluruhan dunia ilmiah akademik. Dengan gaya mulutnya sambil berkata-kata itu dia coba meyakinkan publik kalau pendapatnya itu mewakili dunia ilmiah akademik secara keseluruhan.
Ada dua aliran utama di dalam Ilmu-ilmu Sosial, Budaya, dan Politik, yaitu Materialisme (Marxisme) dan Strukturalisme (Paris-Leiden-London). Untuk menjelaskan perbedaan utama dari kedua aliran utama ini saya jelaskan terlebih dahulu pendapat Jan Breman, seorang Materialis Marxis dari Universitas Amsterdam.
Jan Breman mengatkan “tidak ada lagi perkampungan Indonesia”. Apa yang kita katakan kampung atau desa maupun village sekarang ini adalah ciptaan kolonial.
Sebagai contoh kecil, di masa Pre Kolonial, kampung besar maupun kecil statusnya sama. Ini sebuah kuta (kosa kata Karo untuk desa), itu juga sebuah kuta meski 5 kali lebih besar. Sekarang, Kuta Juhar dimekarkan ke dalam beberapa desa sementara kuta-kuta lain di sekitarnya masing-masing tetap berdiri sebagai satu desa.

Pemekarannya didasarkan pada besarnya populasi (jumlah penduduk). Jadi, apa yang dimaksud dengan desa sangat tergantung pada jumlah penduduk alias wujud nyata fisik material.
Beda dengan Strukturalisme. Kaum Strukturalis mengakui adanya perubahan desa-desa Karo secara fisik material. Dulu, setiap pemukiman yang berstatus kuta dikelilingi oleh pagar (bide kuta) dengan dua gerbang utama. Satunya disebut kerabangen, dan lainnya bakal.
Kaum Strukturalis setuju dengan kaum Materialis Marxis seperti Jan Breman, tapi perhatian utama kaum strukturalis adalah apa yang ada di kepala para manusianya secara sistemik (bukan pikiran individual).
Mari kita tinjau dua gerbang utama kuta Karo itu. Dalam upacara-upacara ritual, gerbang bernama kerabangen menandai pemukiman kuta sebagai sebuah kebun rempah-rempah/ obat-obatan (reba), sedangkan gerbang bernama Bakal menandainya sebagai karang kerbau.
Masuk dari kerabangen dalam ritual-ritual adalah mewakili leluhur (dunia kematian), sementara masuk dari bakal mewakili dunia kehidupan. Oleh karena itu, pemakaman desa biasanya ditempuh dari pemukiman dengan melintasi gerbang bernama kerabangen.
Walaupun materialnya tidak lagi bisa dilihat sebagai sebuah gerbang, tempat itu masih ada dan dalam ritual-ritual diaktifkan sebagai jalan menuju tempat tinggal leluhur.
Jadi, kuta itu belum berubah kata saya yang melakukan penelitian mengenai Karo Settlement dengan pendekatan Struktural.
Penuturan saya mengenai Karo settlement itulah yang Karlm Marx sebut fiksi dan Bapak Antropologi Struktural (Claude Levi-Straus) mengatakan kajian kita memang fiksi yang “hidup” menggenggam hampir semua sendi kehidupan masyarakatnya.
Demikian juga kisah Adam dan Hawa, kaum Strukturalis setuju dengan kaum Marxis kalau itu adalah fiksi. Tapi, itu bukan khayalan belaka melainkan cara sebuah agama menggambarkan struktur sosialnya. Itu yang disebut oleh Levi-Strauss, The Science of Mythology.
Tiba di titik itu, kaum Strukturalis tidak setuju “agama adalah obat bius”. Jadi, jangan anggap pendapat bahwa “agama adalah sama dengan ganja” mewakili pendapat semua aliran dalam dunia ilmiah akademik.
Bahasa tubuh Rocky Gerung mengingatkan seolah-olah kebenaran agama dipatahkan oleh kebenaran ilmiah akademik karena, konon, dia mewakili para ilmuwan akademi. Padahal, dia hanya mewakili Materialis Marxisme. Masih ada aliran lain yang justru sependapat dengan kebenaran agama secara ilmiah akademik.

Secara tidak langsung Gerung menuduh kaum beragama (semua agama) adalah korban dongeng atau korban khayalan atau lebih kerasnya lagi adalah mistik. Tapi mengapa sebagian kaum agama bertepuk meriah menyambut ucapan-ucapan Gerung?
Kiranya, apa saja yang dimuntahkan oleh Gerung akan dijilat oleh para pembenci Jokowi. Di titik ini, kita bisa menyimpulkan Rocky Gerung telah dengan sengaja dan sadar sesadarnya bermaksud menabur benih kebencian di tengah-tengah masyarakat. Bukan memberi pencerahan kepada publik atas adanya hal yang tidak beres di dalam pemerintahan kita.
Tingkat kritik yang disampaikannya tidak lebih daripada mengulangi berita media dan diimbuhkannya kata-kata umpatan pada pengulangan berita itu agar orang-orang kepedasan setelah menjilat muntahannya itu.