Kolom Juara R. Ginting: PEMILIH TRADISIONAL

Saya tahu status di facebook itu tidak sangat serius atau bahkan sekedar iseng. Tapi, saya juga sadar, status seperti itu bisa memakan banyak korban. Dikatakannya: “Ganjar akan kalah telak di Pilpres 2024.”

Kemungkinan kalah tentu tetap ada bagi semua Capres.

Tapi, mengatakan Ganjar akan kalah telak, jelas sekali tidak melalui perhitungan politik yang rasional. Soalnya, Ganjar dicalonkan oleh sebuah partai yang didukung oleh para pemilih tradisional. Kelihatannya, PDIP juga hendak melakukan koalisi dengan beberapa partai Islam yang mengandalkan para pemilih tradisional; seperti PPP, PAN, dan PKB.

Sementara lawan-lawannya hampir tidak ada didukung oleh para pemilih tradisional. Koalisi pendukung Anies Baswedan terdiri dari partai-partai baru seperti Nasdem dan PD. PKS juga sebenarnya adalah sebuah partai relatif baru yang para pemilihnya datang dari para pemilih tradisional partai-partai Islam lama seperti PPP, PAN, dan PKB yang mendompleng ke NU secara tidak langsung.

Demikian juga halnya kalau Prabowo Subianto jadi Capres lagi. Gerindra sendiri adalah partai sangat baru. Kemungkinan berkoalisi dengannya adalah Partai Umat dan PKB.

Meskipun ada ketokohan Amin Rais, Partai Umat sangatlah lain dengan PAN yang dulunya didirikan oleh Amin Rais juga. Tapi, partai ini menurut perhitungan saya memiliki sedikit pemilih tradisional yang tersisa dari PAN.

Pemilih tradisional itu biasanya terdapat di desa-desa ataupun sebuah kota bersejarah secara politik. Di Masa Orde Baru, PDI (bukan PDIP) sering menang oleh karena para pemilih tradisional yang setia kepala Gubernur DKI (Ali Sadikin).

Kemenangan PDIP pada masa Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI adalah kelanjutan dari ketokohan Ali Sadikin. Hanya saja, pada masa Ahok, PDIP kalah yang menurut saya adalah akibat hengkangnya putra Ali Sadikin karena bukan dia tapi Ahok yang menjadi calonnya PDIP untuk Gubernur DKI Jakarta.

Kekalahan PDIP lainnya di DKI Jakarta adalah kelalaiannya menguasai sarikat buruh. Dulu PDI yang menguasai sarikat buruh, sehingga disebut juga ‘Partai Wong Cilik’, belakangan justru partai baru yang punya banyak modal (Gerindra) yang menguasai sarikat buruh di DKI Jakarta.

Taneh Karo (Kabupaten-kabupaten Langkat, Deliserdang, Dairi, Simalungun, dan Kota Medan bagian Selatan) selalu dimenangkan oleh PNI dan nantinya PDI yang kemudian digantikan oleh PDIP. Soekarno yang disebut oleh orang-orang Karo Pa Guntur menjadi panutan yang sosoknya berhasil dihadirkan oleh Megawati dan Jokowi.

Memang money politic sempat mengalahkan PDIP akhir-akhir ini, tapi itu hanya terjadi pada tingkat kabupaten maupun provinsi. Tidak untuk tingkat nasional. Untuk tingkat nasional, tidak ada “bandar” yang mampu menghamburkan uang untuk Pemilihan Presiden sehingga PDIP tetap pemenang di Taneh Karo untuk Pemilihan Presiden.

Prilaku pemilih tradisional hanya bisa diubah oleh money politic. Ini terutama terjadi di Kabupaten Karo dimana banyak Caleg mau Cabub yang berani memberi Rp. 150 ribu/ pemilih. Bayangkan bila dalam satu keluarga ada 5 pemilih. Maka keluarga itu menerima Rp. 750 ribu/ keluarga.

Tanpa money politic, pemilih tradisional akan tetap memilih seperti pilihan orangtuanya. Apalagi bila di desanya dominan satu partai tertentu. Berastepu, Batukarang dan Juhar, misalnya, dari dulu terkenal sebagai lumbungnya suara PDIP.

Secara historis ketiga kampung Karo yang lumayan besar itu adalah basis para pejuang yang menentang Penjajahan Belanda. Berastepu adalah basis perjuangan Pa Garamata dalam menyerang Belanda memperluas kekuasaannya di Dataran Tinggi Karo.

Putranya (Payung Bangun alias Pa Berontak) melanjutkan Berastepu sebagai basis Barisan Harimau Liar (BHL) semasa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Batukarang adalah awal meledaknya Revolusi Sosial di Sumatera Timur yang menjalar ke Langkat hingga Deli.

Ditandai dengan tewasnya putra mahkota Kesultan Langkat yang juga sastrawan nasional (Amir Hamzah). Selanjutnya menjalar pula ke Simalungun dan Asahan.

Revolusi Sosial di Batukarang digerakan oleh putra tertua Pa Garamata (Koda Bangun).

Juhar adalah tempat pelarian Nabung Surbakti, panglima perang Datuk Sunggal dalam melawan perluasan perkebunan asing di Karo Hilir. Dia juga piawai melakukan kaderisasi sehingga Juhar merupakan lumbung suara PDIP terutama untuk Pilpres.

Saya pikir, ini adalah salah satu kelebihan PDIP dibandingkan dengan partai-partai lainnya yang kebanyakan baru. Hal seperti ini tidak hanya terjadi di DKI Jakarta dan Taneh Karo, tapi juga banyak tempat lainnya di Indonesia.

Partai Demokrat (PD) terlalu mengandalkan ketokohan SBY sebagai presiden dan terlalu asyik bermain di atas dengan menyerahkan kemenangan partai di daerah pada orang-orang yang mau menghamburkan uangnya untuk posisi mereka masing-masing.

Nasdem lebih taktis sedikit daripada PD dengan mengedepankan para simpatisan PDIP yang tidak pernah dapat entry di PDIP atau “pelarian” dari PDIP. Memang orang-orang PDIP di daerah agak angkuh karena terlalu takut posisinya goyah bila terlalu terbuka terhadap orang baru.

PKS coba mengalihkan para pemilih tradisional dari partai-partai Islam lama. Tapi, tentu saja ada titik jenuhnya dimana partai-partai Islam lainnya itu tidak mau tinggal diam saja. Tergantung juga siapa pemimpin panutan (bukan sekedar Ketua Umum) partai ini.

Menurut saya, koalisi mereka dengan Nasdem dan PD akan menghempas partai ini tidak hanya dalam Pilpres, tapi juga untuk Pileg di tingkat nasional maupun provinsi atau kabupaten/ kota.

Mengenai Gerindra, saya masih meramalkan kalau akhirnya Prabowo menerima tawaran Cawapres.

Akhir dari tulisan ini, saya berkata, terlalu sembrono mengatakan Ganjar akan kalah telak di Pilpres 2024.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.