Tulisan C.J. Westenberg (1902) ini menarik untuk dibandingkan dengan eksprresi puitik dari pelakunya sendiri sebagaimana mereka tumpahkan di tulisan aksara Karo pada seruas bambu yang disebut Buluh Bilang-bilang. Setelah menceritakan adanya perbudakan pada orang-orang Simalungun, Toba, dan Pakpak, Westenberg menulis:
“…. Adat Karo tidak mengenal perbudakan dan tidak akan pernah ditemukan budak atau budak perempuan dari sukunya sendiri …”
[Memang] di wilayah Karolanden ditemukan ada sedikit budak perempuan dan itu adalah orang asing, terutama dari Toba dan Pakpak …. Adat Karo tidak mengenal perbudakan namun mengenal gadai. …. Siapa pun yang menjadi gadaian akan dibebaskan kembali, tetapi setelah pelunasan utang yang telah ditetapkan dengan baik. …. Kewajiban membayar membebani seluruh keluarga sebagai hutang kehormatan ….”
Baca terjemahannya dari Bahasa Belanda oleh Edi Sembiring di Karo Siadi (lihat tautan di bawah).
Dalam Kisah Beru Rengga Kuning kita lihat bagaimana seorang perempuan (Beru Rengga Kuning) membebaskan turangna dari bayangen (pasungan) karena kalah berjudi. Konon, kisah ini pula menjadi awal dianjurkannya Sitepu tidak kawin mawin dengan Sebayang.
Kisah Beru Rengga Kuning, seorang perempuan yang menyamar sebagai laki-laki dan memasuki dunia perjudian yang diperuntukan hanya bagi laki-laki, menguatkan gambaran Westenberg.
Menariknya, beberapa puisi yang ditulis dengan aksara Karo pada seruas bambu yang tersimpan di beberapa museum di Eropah dan Amerika menuturkan mengapa melakukan perjalanan ke Karo Hilir (Karo Jahe).
Bunyi puisinya kira-kira begini:
Maka hio ari kute
Maka kubuat buluh sengawan enda
i tepi-tepi Lau Pepe
Serpan-serpang dalen ku kahe ndube
Ateku nuriken ukurku gulut jine
Engkai maka la bage ningku
O teman singelantas surat enda
Endam dalen-dalenna aku nadingken kuta
Talu erjudi ndube
Janah anak beru senina pe enggo erkinigagang
Enggo ia encaburken pinang
Kalau kita baca puisinya lebih lengkap, sepertinya dia memang sudah terlalu sering ditawan karena hutang judi dan terus pula ditebus oleh AnakBeru–Senina hingga akhirnya mereka menyatakan “ini adalah tebusan terakhir”.
Pernyataan itu mereka nyatakan dengan ritual Cabur Pinang, yaitu dengan mengambil setandan buah pinang dan kemudian menghempaskannya ke tanah hingga buah-buah pinang bertaburan lepas dari tandannya.
Mengetahui bahwa dia tidak akan ditebus lagi oleh konstitusi AnakBeru–Senina sementara dia tidak akan tahan untuk tidak akan bermain judi lagi, maka diapun:
Turun ke Karo Hilir
Mendapatkan ibu yang kidal mengikat rambut
Menarik dia menyebutkan perempuan-perempuan di Karo Hilir (Karo Jahe) kidal mengikat rambut (jaluk erlayam) karena ini mencerminkan kontras antara Dataran Tinggi Karo dengan Karo Hilir.
Bisa dibandingkan dengan penuturan ayahku, kalau di Dataran Tinggi Karo orang-orang menugal (erlebeng) dengan menggunakan 2 tugal (perlebeng) sekaligus dalam menanam padi. Sementara di Karo Hilir mereka hanya menggunakan 1 tugal.
Membandingkan catatan-catatan orang asing dengan penuturan para pelakunya sendiri akan membawa lebih banyak pencerahan Sejarah dan Budaya Karo. Hanya saja sekarang ini justru yang katanya pelaku adat (tokoh adat) belajar Adat Karo dari buku-buku yang copy-paste pendapat orang luar.
Seperti halnya yang mengaku pelaku adat Karo mengatakan tatanan sosial Karo didasarkan pada Rakut Sitelu (mirip Dalihan Natolu pada Suku Batak). Dari mana mereka pelajari itu?
Kayaknya mereka belajar dari buku-buku yang berulang kali mengcopy-paste tulisan sebelumnya. Soalnya, di dalam dunia praktek peradatan Karo tidak pernah muncul konstitusi Rakut Sitelu.
Apakah Rakut Sitelu merasa wajib menebus kerugian atau hutang piutang seseorang? Untuk itu kita tidak pernah mendengar istilah Rakut Sitelu, tapi melainkan AnakBeru-Senina atau Sangkep Nggeluh yang terdiri dari: 1. Sembuyak, 2. Anak Beru, 3. Kalimbubu, dan 4. Senina.
Dalam literatur sebelum buku P. Tamboen (1952) tidak pernah ada tercatat istilah Rakut Sitelu. Bahkan Kamus Karo–Belanda karya J.H. Neumann (1951) tidak ada istilah Rakut Sitepu.
Tersisa sebuah pertanyaan, apakah Simalungun, Toba, dan Pakpak tidak punya konstitusi AnakBeru–Senina sehingga kerabatnya dibiarkan menjadi budak?
Catatan:
Missionaris J.H. Neumann yang keahlian akademiknya Linguistik meninggal dunia di Medan pada tahun 1950 dan dimakamkan di Medan (nanti GBKP memindahkan tulang belulangnya ke Sibolangit). Kamusnya terbit setelah dia meninggal dunia.