Itu biasa kalau manusia menggunakan kata-kata di dalam bahasanya tanpa harus lagi memikirkan apa keistimewaan kata-kata yang dipergunakannya di dalam bahasanya itu. Keistimewaan sebuah bahasa adalah perbedaan dan persamaannya dengan bahasa-bahasa lain.
Itulah maksud saya dengan dua tulisan sebelumnya di dinding fb saya: IMBUHAN CI dan IMBUHAN KALIM ATAU KALIN.
Dengan memulainya dan mengajak para pembaca berpartisipasipasi di dalamnya, saya berharap para pembaca saya yang kebanyakan orang-orang Karo berpikir apakah gejala bahasa yang sama didapati pada bahasa-bahasa lain di sekitarnya. Apabila tidak, atau sangat sedikit, berarti Bahasa Karo istimewa.
Demikian juga beberapa kosa kata Karo yang juga terdapat di bahasa-bahasa sekitarnya. Apakah kesamaannya terkait dengan keikutsertaan Karo dalam Rumpun Bahasa-bahasa Melayu atau lebih luas lagi Rumpun Bahasa-bahasa Austronesia atau sama-sama resapan bahasa luar; Arab, India, Sansekerta, China, Belanda, Inggris, dan lain-lain.
Misalnya saja kosa kata “dalan” yang juga kita dapati di Bahasa-bahasa Simalungun, Pakpak, Batak, dan Mandailing. Juga Alas, Gayor, dan Singkel. Orang-orang yang menganggap Batak adalah asal dari suku-suku bertetangga ini akan langsung mengklaim kosa kata “dalan” sebagai Bahasa Batak dan suku-suku yang menggunakannya adalah Rumpun Batak.
Padahal. bila kita menoleh sedikit saja ke Bahasa Melayu, maka kita temukan kosa kata “jalan”. Di Bahasa Jawa kita temukan pula kosa kata “dolan”. Dalan, jalan, dan dolan adalah varian-varian Bahasa Austronesia. Dengan mengetahui ini kita lolos dari perangkap Batak yang semuanya mau mereka batakkan.
Itulah keistimewaan Bahasa Karo. Selain bagian Rumpun Bahasa-bahasa Melayu, Bahasa Karo adalah juga bagian Rumpun Bahasa-bahasa Austronesia yang persebarannya meluas di Asia Tenggara, Taiwan, Madagaskar, dan Polynesia.
Kita perlu mengapresiasi suku kita sendiri yang berbeda dari suku-suku tetangganya, tapi juga adalah bagian dari wilayah persebaran bahasa yang luas. Namun begitu, kebanggaan terhadap budaya atau atau suku sendiri perlu punya jarak.
Di bawah ini saya akan menunjukkan sebuah contoh bagaimana mencintai budaya sendiri tanpa jarak dalam rangka membuat jelas mencintai budaya sendiri dengan jarak.
Suatu kali saya menulis kalau orang-orang Karo baru saja mengenal kosa kata “adat”. Hingga Tahun 1950an, orang-orang Karo masih menggunakan istilah “bicara” untuk yang nantinya digantikan dengan istilah “adat” yang diperkenalkan oleh Pemerintah Kolonial terutama melalui Hukum Adat (Adat Recht).
“Kosa kata adat sendiri berasal dari orang-orang Arab yang merujuk ke salah satu Hukum Islam,” tulisku di grup itu.
Seorang perempuan Karo mengamuk sekali padaku. Katanya, dia selama ini sangat menghargai Adat Karo. Dari semua perkataannya terkesan dia sangat kecewa pada saya karena:
1. Mengatakan Adat Karo adalah sesuatu yang baru.
2. Mengatakan istilah adat diperkenalkan oleh Pemerintah Kolonial
3. Mengatakan adat aslinya merujuk ke salah satu Hukum Islam.
Seorang laki-laki Karo menuduh saya merusak Adat Karo.
Ini semua apa yang mau ditunjukkan sebuah film yang berjudul Forbidden Love, seorang pelukis komik yang menganggap ceritanya hidup dan jatuh cinta pada tokoh perempuan yang diciptakannya sendiri.
Sementara saya memaparkan 1) apa yang ditulis oleh missionaris J. H. Neumann, 2) apa yang saya dengar dari generasi seusia orangtua saya, 3) dari beberapa informan yang masih terbiasa mengatakan Bicara Urang Julu, Bicara Gunung-gunung, dan lain-lain yang maksudnya sama dengan pengertian kita Adat Urang Julu dan Adat Gunung-gunung.
Forbidden Love atau Cinta Buta bukanlah produk Budaya Karo itu sendiri. Budaya-budaya tradisional di dunia tidak mengajarkan fanatisme bagi para pengikutnya. Fanatisme adalah ajaran agama-agama Samawi.
Sepertinya ketika saya menulis tentang penemuan Balai Arkaelogi Aceh–Sumut terhadap tulang belulang manusia purba yang telah berusia lebih dari 5 ribu tahun di Gayo. Saya pun diejek-ejek dengan mengatakan usia Adam saja tidak lebih dari 5 ribu tahun.
Bagaimana kita menanggapi penemuan tulang belulang yang usianya lebih dari 60 ribu tahun di Eropah? Apakah kita harus mengejek-ejek para arkeolog Eropah ini tidak mengetahui usia Adam?
Usia Adam sendiri, bagaimana kita bisa mengetahuinya kalau tidak pernah menemukan fosilnya? Apakah kalau seorang ulama mengatakan begitu sudah pasti benar?