Kolom Juara R. Ginting: SALAH TAFSIR

Setiap ada kasus bom bunuh diri selalu ada tanggapan “salah tafsir isi kitab”. Demikian juga ketika ada berita serombongan wisatawan Australia membatalkan kunjungannya ke Bali setelah disyahkannya KUHP Larangan Hubungan Seks sebelum Nikah. Merinding saya membaca tanggapan-tanggapan seperti itu. Mengapa?

Ucapan maupun tulisan apa saja bisa disalahtafsir. Termasuk kalimat-kalimat yang saya tulis ini bisa disalahtafsir.

Lalu, apakah saya tidak usah mengucapkan/ menulis apapun untuk menghindari salah tafsir?

Salah tafsir yang bagaimanapun tidak akan menjadi persoalan bila tidak disertai dengan sebuah tindakan yang bisa merugikan seseorang lain atau sekelompok orang maupun sebuah lembaga. Kerugian akibat tindakan salah tafsir juga ada ukurannya yang masih bisa ditolerir hingga yang absolut tidak bisa lagi ditolerir.

Seperti kasus bom bunuh diri yang mengakibatkan kematian bagi orang lain. Salah tafsir maupun sudah benar mengikuti perintah teks dari kitab, seharusnya semua orang bisa menerima itu salah total dalam kehidupan bernegara.

Mengapa tidak diberi kesempatan bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk juga salah tafsir atas kejadian itu? Mengapa pihak tertentu saja (baca mayoritas) merasa berhak melakukan tindakan salah tafsir, sedangkan pihak-pihak yang dirugikan (terutama yang minoritas) dianggap tidak punya hak salah tafsir?

Adilah sejak berpikir.

Saya tidak terkejut membaca berita pembatalan serombongan wisatawan Australia, apalagi disyahkannya KUHP Larangan Hubungan Seks sebelum Nikah itu bersamaan waktunya dengan kasus bom bunuh diri di Bandung. Televisi Belanda juga memberitakan pengesyahan KUHP baru itu.

Tanpa harus memeriksanya lebih lanjut. Kita bisa meramalkan berbagai media di negara-negara Eropah, Amerika, Australia dan Daratan Asia memberitakan hal yang sama. Tak juga heran kalau sebagian pengamat dan media-media lebih serius terus akan membahasnya.

Tidak usah saya tegaskan di sini, kita semua sudah bisa menduga kesimpulan apa yang akan muncul dari semua pemberitaan dan pembahasan itu. Terlepas apakah kesimpulan mereka itu adalah salah tafsir atau salah kaprah sekalipun.

Ujungnya, Indonesia adalah negara yang ditakuti untuk dikunjungi.

Bagaimana dengan warga Indonesia sendiri yang tinggal di Indonesia? Walaupun ada tahap sosialisasi, apakah setelah itu sudah pasti semua Penduduk Indonesia tidak lagi salah tafsir atas KUHP baru ini?

Kita belum lagi membahas penyalahgunaan secara sengaja atas disyahkannya KUHP baru ini dengan cara “membodohi-bodohi” warga yang tidak begitu paham hukum. Apalagi dikemas sebagai perintah Allah, untuk menggerebek pasangan tidak nikah tinggal bersama. Lalu membakarnya hidup-hidup sebagaimana sudah sering terjadi.

Saya jadi teringat beberapa tahun lalu sebuah undang-undang baru di Belanda dicabut setelah menyimpulkan terlalu sulit menerapkannya (dengan memikirkan untung ruginya menerapkan undang-undang itu).

Lebih saya khawatirkan lagi, dukungan partai-partai politik terhadapan pengesahan KUHP Larangan Hubungan Seks sebelum Nikah adalah bagian dari bargaining (tawar menawar) politik.

Silahkan salah menafsirkan tulisan ini. Merdeka!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.