Kolom Juara R. Ginting: TANEH KARO DAN PEMBAGIAN WILAYAHNYA

Mari kita sepakati dulu menggunakan istilah Taneh Karo untuk semua tanah ulayat Suku Karo, membentuk satu bagian dari permukaan bumi yang dikelilinggi oleh tanah-tanah ulayat Suku-suku Melayu, Tamiang, Alas, Pakpak, Batak, dan Simalungun. Setelah itu, kita periksa catatan-catatan/ laporan-laporan tertulis kolonial dan kepustakaan Pasca Kemerdekaan RI yang paling berpengaruh di kaum terpelajar Karo.

Untuk kemudian dari penelitian lapangan saya sendiri di tahun 1980an dan 1990an.

Di arsip kolonial, ada dua bagian Taneh Karo (Karolanden) yang kadang disebut Karo Hoogvlakte (Dataran Tinggi Karo) dan Karo Laagvlakte (Dataran Rendah Karo) atau disebut juga Karo Doesoen. Apa yang mereka sebut Karo Hoogvlakte jelas sekali adalah apa yang biasa disebut oleh orang-orang Karo sendiri Karo Gugung. Sementara sebutan mereka Karo Laagvlakte adalah yang biasa disebut oleh orang-orang Karo sendiri Karo Jahe.

Mengapa Karo Jahe mereka sebut Karo Doesoen sementara doesoen adalah kosa kata Melayu yang sebanding artinya dengan udik di Jawa? Kita sisakan ini untuk kita bahas di lain waktu. Sekarang, kita bahas saja terlebih dahulu penterjemahan Karo Gugung ke Karo Hoogvlakte dan Karo Jahe ke Karo Laagvlakte.

Penterjemahan Karo Gugung ke Karo Hoogvlakte yang dalam Bahasa Indonesia artinya Dataran Tinggi Karo menurut hemat saya sudah tepat karena gugung memang artinya dataran tinggi. Akan tetapi, penterjemahan Karo Jahe ke Karo Laagvlakte menurut hemat saya adalah salah karena jahe artinya hilir yang dalam Bahasa Belanda seharusnya benedenstroom atau dalam Bahasa Inggris downstream. Bukan dataran rendah.

Bisa jadi mereka tidak peduli dengan dengan arti semantik dari kata-kata setempat dan memberlakukan klasifikasi dari budaya mereka sendiri dimana kontrasnya dataran tinggi adalah dataran rendah.

Mungkin agak sulit bagi mereka menghadapkan dataran tinggi dengan hilir karena ini, bagi cara berpikir mereka, tidaklah logis. Logis bagi mereka adalah Dataran Tinggi vs Dataran Rendah atau Hulu vs Hilir.

Orang-orang Karo sendiri sudah banyak yang terbawa arus dengan logika Barat sehingga menganggap Karo Berneh yang arti harafiahnya Dataran Rendah Karo dihadapkan dengan Karo Gugung (Dataran Tinggi Karo).

Orang-orang di Karo Berneh, terutama generasi mudanya, lupa bahwa pergi ke Kabanjahe (dari Karo Berneh misalnya Lau Baleng) tidak dikatakan “ku Gugung” tapi “ku Julu” yang artinya “ke Timur”.

Orang-orang Karo Berneh dan Singalor Lau sering mengabaikan adanya Karo Julu yang meliputi daerah sekitar Berastagi, Kaban Jahe, Barus Jahe, Tiga Panah, Merek, Tengging, Silima Kuta, dan Dolok Silo (Silima Kuta dan Dolok sekarang masuk ke Kabupaten Simalungun).

Sering mereka menunjuk ke Karo Julu ini sebagai Karo Gugung atau ke Karo Gunung-gunung sebagai sama dengan Karo Gugung. Padahal, Karo Julu dan Karo Gunung-gunung adalah dua bagian dari Karo Gugung.

Bagian lainnya dari Karo Gugung adalah Karo Teruh Deleng, Karo Singalor Lau, Karo Berneh, dan Karo Baluren. P. Tamboen (1952) hanya menyebut Karo Julu, Karo Gunung-gunung, Karo Singalor Lau, dan Karo Berneh sebagai bagian Karo Gugung. Sementara Brahma Putro (1980) menambahkan Karo Baluren sebagai bahagian Karo Gugung.

Saya tambahkan Karo Teruh Deleng sebagai bagian Karo Gugung, meskipun penamaan Klasis Teruh Deleng oleh GBKP menjadikan Teruh Deleng seolah sama dengan Gunung-gunung.

Memang agak rumit memahami pembagian wilayah Taneh Karo ini dimana Karo Berneh (Dataran Rendah Karo) menjadi bagian dari Karo Gugung (Dataran Tinggi Karo). Kalau kita langsung menggunakan logika kita sendiri, yang nota bene sudah banyak dipengaruhi oleh cara berpikir Barat, tentu saja kita tidak bisa menerima Dataran Rendah Karo ada di (menjadi bagian dari) Dataran Tinggi Karo.

Belum lagi memahami dua pengertian Karo Julu. Untuk dialek Karo Barat, Karo Julu artinya Karo Timur sehingga Talun Kenas, Gunung Meriah, Sibiru-biru, Delitua, Dolok Silo, dan Silima Kuta ditambah Barus Jahe, Berastagi, Kaban Jahe dan Tigapanah disebut Karo Julu.

Sementara untuk dialek Karo Timur, Karo Julu artinya Karo Hulu yang daerahnya terbatas pada daerah-daerah yang ada di Karo Gugung (Berastagi, Kaban Jahe, Barus Jahe, Tiga Panah, dan Merek).

Sebagai sesama Karo Julu, dialek Petumbak sama saja dengan dialek kampung kami di Lau Riman (kaki Gunung Siosar).

Pengerana kami seri ngai da. Iyou ning kami ngatakensa lang (nogan). Enggau bagai ka kin kami Urang Julu ai.

Tapi sebagai Karo Jahe dalam dialek Karo Timur, perkawinan sesama merga agak longgar di sini. Seperti halnya keluarga raja-raja Urung Senembah (Karo-karo Barus) bisa saling kawin dengan keluarga raja-raja Urung Serbenaman (10 Kuta) (Karo-karo Surbakti).

Bukan karena pengaruh Islam meskipun Islam tentu saja merestuinya dan kemudian mengkonfirmasi di kemudian hari. Dalam tulisan lain akan saya diskusikan bagaimana perkawinan semerga di Karo Jahe dapat dibandingkan dengan kawin semerga antara Bangun dan Sebayang serta antara Sebayang dan Kutabuluh yang semuanya Perangin-angin.

Untuk ringkasnya, Taneh Karo terdiri dari Karo Jahe dan Karo Gugung. Daerah-daerah lain adalah bagian dari Karo Jahe atau bagian dari Karo Gugung.

Tulisan ini akan lebih mudah dipahami bila mampu melepaskan diri dari cara berpikir Barat dan merasa tertantang untuk menemukan SISTIM dari tatanama (nomenclature) dari wilayah-wilayah Karo.

Sistim dari tatanama (nomenclature) contohnya adalah bagian-bagian atap rumah adat Karo dengan nama-nama Tanduk, Ayo, Ipen-ipen, dan Perampu yang menunjukan bentuk (shape) dari atap itu menggambarkan anatomi sesuatu makhluk hidup.

Mejuah-juah!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.