Seseorang membuat komentar seperti ini:
“Kata para peneliti, bahwa masyarakat pedalaman dan hidup di pegunungan yang masih suuUuuaaAaangaaAaat primitif…. yang hidup di sekitar Danau Toba. Lalu mereka dikelompokkan dalam penyebutan suku bangsa “bata” yang kemudian hari berubah dengan sebutan populer suku bangsa BATAK”. Saya langsung saja menghadapkannya dengan penemuan-penemuan terbaru yang membuat teori lama itu terhuyung-huyung untuk nantinya kembali membahas mengapa teori lama itu terus diulang-ulangi seolah-olah tidak ada perkembangan ilmu pengetahuan.
Baru-baru ini Balai Arkeologi Aceh dan Sumatera Utara menemukan tulang belulang manusia purba di Loyang Mandele (Gayo, Aceh Tengah).
Menurut Radiocarbon (14C) dating, tulang belulang itu berasal dari manusia purba yang hidup lebih daripada 5 ribu tahun lalu. Bahkan ada yang berasal dari manusia purba yang hidup lebih daripada 7 ribu tahun lalu.
Selanjutnya tim Balai Arkeologi Aceh–Sumut melakukan Test DNA terhadap tulang belulang itu. Kiranya, DNA mereka dekat orang-orang Gayo dan Karo masa kini. Tapi, jauh dari orang-orang Batak [Toba].
Sejauh ini, penelitian arkeologi itu mengingatkan kalau Karo bukan keturunan orang-orang Batak [Toba].
Kebetulan pula beberapa tahun lalu Pemkab Samosir meminta Balai Arkeologi yang sama mengadakan penelitian berapa tua usia kampung Sianjur Mula-mula. Permintaan ini sebenarnya terkait dengan usaha pengembangan pariwisata Samosir dan jatidiri Suku Batak.
Menurut mitologi asal muasal Orang Batak, Sianjur Mula-mula adalah kampung pertama yang didirikan oleh nenek moyang orang-orang Batak.
Hasil penggalian menyimpulkan kalau kampung Sianjur-mula berusia hanya 800 tahun. Jauh lebih muda daripada nenek moyang orang-orang Gayo dan Karo yang telah hidup di Pulau Sumatra lebih 7 ribu tahun lalu.
Sekarang saya ajak pembaca kembali ke awal tulisan ini dengan membaca ulang komen di atas, yang mengisyaratkan kalau orang-orang Batak [Toba] adalah nenek moyang dari suku-suku sekitarnya seperti Karo, Simalungun, Pakpak, Mandailing, Alas, Gayo, dan Singkel.
Mari kita ikuti lanjutan komennya:
” …. Anak turunan si Raja Batak, ada yang migrasi ke Tanah Karo. Beranak pinak, berassimilasi menyesuaikan diri dengan sosial budaya setempat dan mereka menamakan diri batak yang bermukim di tanah karo dan menamakan diri BATAK KARO ….”
Komennya yang pertama di atas tidak teruji secara ilmiah. Hanya saja terasa logis oleh banyak orang Kelogisan itu adalah karena kita sendiri diajarkan di sekolah teori Evolusi yang dapat teman karib dari Materialime Karl Marx.
Salah satu bentuk teori Evolusi yang diajarkan ke kita di sekolah dan sangat melekat bagi banyak orang adalah Evolusi Religi. Banyak para ahli mengatakan bentuk religi yang paling awal adalah kepercayaan terhadap adanya jiwa (Teori JIwa) sehingga religi tertua disebut Animisme.
Salah seorang penganut Teori Jiwa yang terkenal adalah A.C Kruyt dengan istilahnya dalam Bahasa Belanda Zielstof (Zat Jiwa). Kebetulan A.C Kruyt adalah paman dari missionaris yang pertama datang ke Tanah Karo, yaitu H.C. Kruyt.
Tulisan ini tidak untuk mengkritik Teori Evolusi yang manapun, tapi melainkan mengkritik opini-opini yang dengan mudahnya menempatkan sebuah fenomena ke kerangka Teori Evolusi. Demikian sering kita lihat di media sosial yang menempatkan upacara Perumah Jenujung dan Ercibal pada Suku Karo sebagai peninggalan Animisme.
Sama dengan komen di atas yang mengatakan “masyarakat pedalaman dan hidup di pegunungan yang masih suuUuuaaAaangaaAaat primitif.”
Mari kita bandingkan dengan pandangan orang kebanyakan di Indonesia bahwa Melayu lebih maju dari suku-suku pedalaman karena Melayu memiliki kontak dengan berbagai budaya lain sementara Karo berada di pedalaman.
Sejak kapan ada pandangan seperti itu?
Kita ikuti perjalanan John Anderson ke Sunggal pada Tahun 1823 dalam laporannya Mission to the East Coast of Sumatera in 1823 (terbit 1826 dan terbit ulang 1971). Setelah menginap semalam dan bertemu Sultan Deli di daerah pemukiman Melayu Deli, Anderson berangkat menuju Sunggal.
Menurut dia, rumah-rumah di Sunggal (sebuah kampung Karo) jauh lebih besar, lebih kokoh, dan lebih rapi arsitekturnya daripada rumah-rumah Orang Melayu termauk rumah sultannya. Anak-anak di pemukiman Melayu biasa bertelanjang badan karena miskin, sementara anak-anak di pemukiman Karo mengenakan baju dan celana.
Sekali lagi, saya tidak mengajak siapa-siapa berdebat mengenai Teori Evolusi. Saya hanya menggunggat terlalu mudahnya menempatkan keterisolasian sebagai tanda keprimitifan.
Orang-orang Batak sangat bangga dirinya sebagai sisa-sisa manusia primitif sehingga mereka bisa mengklaim kelompok tertua di daerah itu. Klaim yang sangat lemah pula.
Singkat cerita, mereka ternyata jauh lebih muda dari orang-orang Karo. Maka, mereka pun terhuyung-huyung dua tiga tombak jauhnya.
Foto cover: WISATA GUA SEJARAH DI LOYANG MENDALE – Cerita Wisata (hotelmurah.com)