Sampai sekarang masih terasa kalau orang-orang Batak merasa lebih paham Sejarah Karo daripada orang-orang Karo sendiri. Mengapa sampai begitu? Ada beberapa sebabnya, tapi saya awali terlebih dahulu dengan perbedaan kontras kepribadian Karo dengan kepribadian Batak. Batak punya kepribadian Extrovert, apa di benak itu yang diucap.
Sementara Karo kepribadiannya Introvert, suka meragukan pikirannya sendiri sehingga kurang berani mengucapkannya.
Sebab ke dua adalah bahwa pertanyaan tentang “siapa kita” di Indonesia cenderung mengarah ke pencarian asal usul. Kaum intelektual Karo pernah mencobakan teori lama “Gelombang Migrasi dari Asia Daratan ke Asia Kepulauan” dengan mengasumsikan Karo berasal dari Suku Karen (Burma). Ada juga yang mengasumsikannya dari Yunan (China Selatan).
Di saat kaum intelektual Karo mengalami kebuntuan mencari asal usul Karo di Asia Daratan, orang-orang Batak menyebarluaskan Tarombo Siraja Batak karya W.M. Hutagalung yang terbit pada pada awal abad lalu. Penyebarluasan Tarombo Siraja Batak terkait erat dengan kebutuhan di perantauan untuk mencari marga-marga apa saja yang masih bisa dipersatukan sebagai bersaudara. Misalnya saja, ada marga-marga yang tergabung ke Siraja Oloan atau Parna, dan lain-lain.
Di sisi lain, para generasi muda Batak cenderung mencari “Tanah Harapan” di luar Bona Ni Pasogit alias merantau. Baik melalui pendidikan lebih tinggi, mencari pekerjaan, dan lain sebagainya. Atas dorongan itu pula, para generasi muda berupaya mempelajari Tarombo Siraja Batak, baik dari publikasi buku-buku maupun internet. Wajar saja banyak para generasi muda Batak sangat hapal hubungan marga-marga.
Karena Tarombo Siraja Batak juga menyertakan nenek moyang marga-marga suku-suku sekitarnya yang berasal dari Batak, maka dorongan mempelajari Tarombo Siraja Batak menyebar keluar dari pemahaman lama bahwa Batak terbatas pada Toba, Samosir, Humbang, dan Silindung.
Mereka juga tertarik mempelajari legende-legende marga-marga suku-suku sekitarnya seperti halnya Karo. Mereka kiranya bukan hanya mempelajari, tapi juga mencipta dengan asumsi dasar “semuanya berasal dari Pusuk Buhit” dan itu artinya Batak Toba, Batak Samosir, Batak Humbang atau Batak Silindung.
Ketika mereka menemukan nama marga/ merga Purba di Karo dan Simalungun, maka mereka merasa bisa memastikan nenek moyang Purba Karo dan Purba Simalungun berasal dari Batak. Setiap ada kesamaan atau kemiripan nama marga mereka pastikan berasal dari mereka. Apalagi kalau ada merga Karo yang menurut mitologinya berasal dari salah satu daerah di Tano Batak. Misalnya merga Sinurat di Karo diclaim dari Urat di Samosir (bagian Toba).
Di pihak lain, selain berkepribadian Introvert, tradisi Karo memang tidak sangat antusias mencari garis keturunannya lebih dari 7 generasi. Beberapa kali saya menulis kalau hubungan SEMBUYAK tidak pernah keluar seasal-usul URUNG. Beda urung tidak bisa lagi berhubungan sembuyak kecuali SENINA.
Persoalannya tambah lagi, perbedaan SEMBUYAK dengan SENINA juga mulai kabur di Karo sejak Karo ikut-ikutan menganut Rakut Sitelu. Sembuyak dan Senina dianggap sama.
Dari gambaran di atas kita mulai bisa merasakan bagaimana mereka “merajalela” mendikte orang-orang Karo. Semakin hari mereka semakin bangga adanya Tarombo Siraja Batak yang menjadi pegangan utama mereka. Sampai-sampai mereka suka mengatakan, “kalau Karo bukan Batak, dari mana asalnya orang-orang Karo?”
Mereka taunya hanya Tarombo Siraja Batak, orang-orang Karo berhasil dibuat ciut.