Kolom M.U. Ginting : 2 PILIHAN JOKOWI

Duterte memenangkan pemilihan pada Mei 2016 dengan prosentase perolehan suara yang tinggi. Dibandingkan dengan Trump dalam Pilpres juga meraih kemenangan suara yang tinggi dalam perhitungan jumlah daerah electoral college. Kedua orang ini sebagai presiden sama sekali tidak mengikuti arus utama ‘aliran presiden’ sekarang ini. Presiden Trump dan Duterte banyak kesamaan dalam menjalankan kepresidenannya. Keduanya tidak biasa, dipandang dari kebiasaan, he he . . Kebiasaan apa?

Kalau di AS, kebiasaannya ialah mengikuti kehendak satu-satunya partai terbesar di AS yaitu ‘the party of money’ (istilah yang dipakai oleh penulis Gore Vidal) yang dalam prakteknya punya dua cabang yaitu partai R dan partai D. Dan ini sudah terjadi sejak era presiden Andrew Jackson, seperti dikatakan oleh Presiden Roosevelt tahun 1933:

“The real truth of the matter is, as you and I know, that a financial element in the large centers has owned the government of the United States since the days of Andrew Jackson.”

Andrew Jackson jadi presiden 1829-1837.

The ‘Financial Element’ ini sekarang dinamai neolib globalist, yang akan jadi musuh dan tantangan terkuat bagi Trump dalam usahanya melaksanakan politik nasionalismenya ‘America First’. Jadi semua Presiden AS sejak era Andrew Jackson sampai ke era Obama telah dimiliki oleh the party of money itu (neolib). Tetapi setelah kemenangan Trump maka Obama adalah ‘the last gasp of neolibebaralism’.




Setelah Trump masuk ke Gedung Putih, istilah the party of money atau neolib ini berubah menjadi ‘deep state’, istilah yang sekarang sangat populer di AS menggantikan istilah neolib atau the party of money itu. Istilah ini muncul di kalangan Trump dkk atau dikalangan orang-orang nasionalis Amerika yang sebagian besar adalah dari Partai R.

Mengapa istilah ini dipakai ialah dalam kaitannya dengan usaha menjatuhkan Trump atau mendepaknya dari Gedung Putih termasuk dengan usaha pamakzulan. Istilah deep state berasal dari kebiasaan kudeta di negara-negara Timur Tengah. Seorang presiden/ penguasa dirongrong dari dalam. Di Indonesia ada contohnya yaitu 1965, dimana Soekarno dirongrong dari dalam, di sini lewat bantuan dari luar (neolib) dengan menggunakan berbagai manuver pengalihan isu sehingga tidak ada yang tahu kalau maksudnya menuju SDA duit, duit, duit. Triliunan dolar masuk ke pundi-pundi the party of money itu. Bayangkan 50 tahun penjarahan dilakukan oleh perusahaan neolib Freeport tanpa suara!

“Saya ingin mengucapkan selamat kepada Anda karena saya mendengar soal penanganan yang hebat terhadap masalah narkoba,” lapor New York Times yang mengutip Trump, berdasarkan transkrip.

“Banyak negara yang memiliki masalah (seperti) ini, kami punya masalah, tapi hebat sekali apa yang sedang Anda lakukan dan saya ingin menelepon dan menyampaikan itu pada Anda.”

Inilah tanda kelainan dari dua orang presiden ini, Duterte dan Trump. Mana ada presiden yang begitu terus terang dan tegas memuji dan menghargai sikap politik Duterte membasmi narkoba, membunuh 1.000 orang tiap bulan. Presiden Jokowi juga belum berani menunjukkan sikap demikian dalam pertemuannya dengan Duterte tempo hari ketika Duterte berkunjung ke Jakarta. Walaupun di Indonesia kematian akibat narkoba melebihi kematian di Filipina karena di Indonesia angkanya antara 40-50 kematian tiap hari, artinya antara 1200-1500 tiap bulan, lebih banyak dibandingkan dengan Filipina.




Dalam cita-citanya yang bersih mau menghilangkan narkoba dari Indonesia, bisa diduga bahwa Jokowi tidak menentang cara pembasmian Duterte, tetapi menterapkannya di Indonesia yang sudah darurat narkoba ini, masih belum . . .

Pilihan memang cuma satu diantara dua: 1. membunuh pengedar narkoba, penyandu, dan pebisnis narkoba atau 2. membiarkan mereka hidup, yang berarti membunuh generasi manusia Indonesia yang akan datang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.