Kolom M.U. Ginting: BIAYA TERRORISME

dana-terrorisme




Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) mengaku menerima subsidi lebih dari Rp 100 miliar untuk biaya pengerahan M.U. Gintingratusan ribu orang ke Jakarta dalam rangka demo melawan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 4 November 2016. Pengakuan ini disampaikan oleh KH Bachtiar Nasir (GNPF-MUI) dalam konferensi pers di Hotel Grand Sahid, Jakarta [Selasa 1/11] (indonesiaSatu.co). Inilah soal yang lebih penting untuk dilacak, dari mana uang sebanyak itu bisa dikumpulkan dalam tempo sesingkat itu?

Apalagi bila dikaitkan dengan pernyataan tegas Panglima TNI bahwa terorisme di Indonesia dibiayai dari Australia, Malaysia, Brunei, dan juga Filipina (Filipina pasti sebelum Duterte berkuasa). Kalau terorisme dibiayai begitu diketahui jelas dari luar, tak perlu juga diragukan kalau gerakan terselubung makar 212 bisa dibiayai juga dari luar. Tujuan teroris dengan tujuan makar kan itu-itu juga, pecah-pecah dan kuasai, dan keruk SDAnya, bangkrutkan negaranya, rakyatnya suruh perang dan saling bunuh.

Aparat dan pemerintah dibikin sibuk menuruti kehendak grup makar terselubung ini, karena aparat sangat defensif. Pertahanan yang lebih baik selalu harus ada ofensifnya. Sambil mematuhi kehendak kaum makar ini, aparat jangan lupa mencari fakta dari mana uang sebanyak itu untuk membiayai demo. Kalau lewat bank, tentu bisa dilihat dari Badan Pengawas aliran duit.

Kalau Ahok dijadikan tersangka karena ‘menodai agama’ dan yang belum tentu benar terutama kalau dilihat dari segi gramatika bahasa dan sekarang dituntut lebih jauh lagi untuk ditahan atau dibui, kan sudah keterlaluan itu namanya. Aparat dan penegak hukum mau dikendalikan seenaknya saja, karena menjaga sopan santunnya.




‘Sopan santun’ pendemo dengan orasinya mau ‘menjatuhkan Jokowi’, atau ‘anjing’, melukai 18 orang polisi, bakar 2 mobil polisi, dll, jelas melanggar hukum, melanggar ketertiban apalagi melukai orang lain (aparat). Ini jelas bersalah dan melanggar hukum. Bukan sopan santun dan damai, tTetapi malah orang-orang ini menyalahkan presiden pula, karena tidak di’sambut’ oleh presiden, katanya.

Kan sudah sangat keterlaluan. Kalau aparat atau pemerintah masih senang menjaga sopan santunnya pada hal sudah ditekan dan dipermainkan sejauh itu dan sekasar itu. Patutnya sikap itu diubah.

Kekurangajaran tidak bisa dilayani dengan sopan santun atau seperti ‘pukul pipi kiri kasih pipi kanan’. Cara ini tidak bisa dipakai dalam menjaga keutuhan NKRI, melawan usaha perongrongan dari pihak manapun, dengan memcah belah dan terutama dari pihak luar seperti membiayai terorisme di Indonesia dan yang sudah dijelaskan oleh Panglima TNI. Apalagi sudah jelas disinyalir oleh Kapolri bahwa gerakan 212 ada kaitannya dengan gerakan makar.





Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.