Kolom M.U. Ginting: IBU TIRI

M.U. Ginting 2ibuAnak perempuan NA 8 th itu disiram pakai minyak panas, dipukul pakai alu, disabet pisau  . . . kabur dari rumahnya di Medan Helvetia dan berkata kepada seorang ibu yang ketemu di sebuah warung: ”Tolonglah aku, Bu. Siapa yang mau pelihara aku?” katanya.

Sungguh sangat tragis dan mengharukan. Bayangkan kalau anak sendiri tertimpa nasib begitu.

Lebih dari setahun lalu juga terjadi penyiksaan atas seorang anak oleh ibu tirinya di Kampar (Riau). Siksaan terhadap Adit (Raditya Atmaja Ginting) juga sampai jadi sorotan Megawati.

“Saya melihat di televisi, seorang anak yang namanya Adit, hati saya merasa digerus,” kata Megawati di GOR Otista, Jl otto Iskandar Dinata, Jakarta [Minggu 22/12/2013].

“Ke mana kemanusiaan seseorang perempuan? Selalu dikatakan sinetron bahwa ibu tiri itu pasti jahat. Sebenarnya itu bukan masalah kandung atau tiri, tapi itu adalah masalah prikmanusiaan kita sebagai kaum permpuan. Apakah tega bapak ibu?” kata Mega.

Sangat terpujilah Ibu Mega (Ketua PDIP), sebagai seorang Ibu dan seorang perempuan,  mengkedepankan persoalan ini sebagai salah satu persoalan kemanusiaan yang di Indonesia sepertinya sudah menjadi ’tradisi ibu tiri’, tetapi tak pernah diangkat ke permukaan selama ini. Ada apa dengan ’ibu tiri’?

”Selalu dikatakan sinetron bahwa ibu tiri itu pasti jahat,” kata Megawati.

Ibu tiri memang sudah terkutuk, ditetapkan sebagai penyiksa dan orang jahat bagi anak-anak. Mungkinkah satu waktu ibu tiri keluar dari kutukan ini?

Mitos bahwa ibu tiri sebagai sumber penderitaan dan penyiksaan bagi anak tiri sudah lama. Jadi sungguh pada waktunya ’tradisi/ mitos ibu tiri’ ini dibicarakan atau dijadikan sekarang menjadi diskursus nasional untuk seluruh rakyat Indonesia. Termasuk dari kalangan akademisi tak kalah pentingnya dari segi soal-soal yang berhubungan dengan psikologi anak dan perkembangan jiwanya.

Sangat banyak kemungkinan bahwa anak seperti Adit atau NA ini akan trauma dalam jangka waktu panjang dan secara psikis bisa banyak pengaruhnya dalam proses pertumbuhannya dan bahkan sampai dewasa. Salah satu yang penting dimulai ialah tanggungjawab negara/ pemerintah untuk tak lepas tangan dari penyelesaian kejadian yang sudah menimpa seorang anak seperti Adit dan NA.

Dalam Konvensi PBB soal hak-hak anak disebutkan dalam soal ini: “State obligations to promote physical and psychological recovery of child victims of torture”.

Pemerintah RI tak bisa lepas tangan dari peristiwa nasional ini, dan yang sudah diangkat juga oleh Ketua PDIP Megawati. Ibu Mega juga bahkan mempertanyakan nasib dan perkembangan perempuan negeri ini, yang digambarkan tidak pada tempatnya oleh sinetron.

Mulai sekarang, kita mengharapkan pemerintahan Jokowi bisa juga  mengangkat persoalan penyiksaan dan hak anak ini ke kabinetnya.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.