Kolom M.U. Ginting: JENDERAL YANG TERLUPAKAN

Jenderal ini cukup harum namanya ketika menjabat Panglima TNI di permulaan babak pertama Era Jokowi. Tetapi, diduga atau tidak, Pak Gatot lebih dini digeser dari jabatannya sebagai panglima dan digantikan oleh Hadi Tjahjanto dari AU. Usaha Pak Gatot menjadi Capres atau Cawapres walaupun sudah tidak lagi jadi panglima masih terus menyala.

Semangat keprajuritannya berapi-api, semangat juang sebagai seorang serdadu nasional Indonesia patut dipuji juga.

Ketika masih menjabat sebagai panglima, pidato politiknya ke sana ke mari sepertinya memang dapat sambutan yang hangat. Sesuai juga dengan semangat yang dibawakan oleh Pak Panglima sendiri. Tetapi, entah karena apa (tentu ada sebab-sebabnya yang logis) mengapa kegiatan-kegiatan pendekatan dan kegiatan memposisikan dirinya sebagai kandidat ‘penting’ dalam bursa CapesĀ  atau Cawapres terlihat semakin redup.

Kurang mendapat respon yang diharapkan, baik dari partai-partai politik maupun dari publik atau massa publik. Seperti yang terlihat bagaimana dia mendukung atau yang mendukungnya ketika masih menjabat sebagai panglima.

Misalnya sambutan dingin dari massa/ organisasi 212. Apakah karena Indonesia inflasi jenderal, ya? Saya kira bukanlah itu sebabnya. Khusus Pak Gatot punya sebab logis yang publik maupun partai-partai politik masih sangat ingat, misalnya isu pembelian 5 ribu puck senjata polisi.


Isu lainnya lagi Pancasila jadi Panca Gila, oleh seorang personal militer Australia. Panglima Gatot lantas secara sepihak menghentikan kerja sama militer denganĀ  Australia, tugas mana sebenarnya adalah tugas Menhan dan Presiden RI.

Yang lainnya, dan yang paling ‘mantap’ ialah idenya memaksakan pemutaran kembali ‘film PKI’. Nobar di kalangan militer jajarannya dan juga sebagian masyarakat ikut nobar ‘memeriahkan’ film pembantaian itu. Pak Jokowi juga Nobar bersama panglima Gatot. Banyak juga tanda tanya mengapa presiden ikut Nobar. Tetapi, setelah banyak mengetahui pribadi Jokowi bagaimana menghadapi lawan dan kawan (sangat luar biasa), masyarakat maklum memang harus begitulah, dan kita menyicipi dan melihat sendiri hasilnya sekarang taktik dan strategi brilian yang selalu dipakai oleh Jokowi.

Semangat anti-komunis McCarthyism di AS tahun 1940-50an dikobarkan lagi oleh panglima kita 70 tahun kemudian. Tidak perlu diragukan punya tujuan tertentu dan, agaknya, sebagian besar masyarakat bisa mengerti apa maksudnya pemutaran kembali film itu. Massa anti-komunis sedang ‘turun jalan’ mencari sasaran dan mencari bakal ‘pemimpin besarnya’ yang bisa maju melawan kekuasaan yang ada.

Kalau pak Jokowi ikut nobar, ya bisa diengertilah. Dan, yang paling menyedihkan, dari semua itu ialah nasib Pak Gatot sendiri, terlihat tersingkir total dari arena pertarungan bursa Capres/ Cawapres. Ayo Pak, semangat terus!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.