Kolom M. U. Ginting: Jokowi dan Jabatan Ahok

“Ia yang mendapat mandat dari rakyat dan didaulat sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata di Republik ini saatnya mulai tegas dan garang. Jokowi harus mulai fight dan membungkam mulut kotor dan kejam lawannya. Untuk menghajar lawannya, Jokowi untuk sementara tidak memberi Ahok jabatan apapun di pemerintahannya sekurang-kurangnya hingga Pilpres 2019,” kata Asaaro Lahagu di kolomnya yang terakhir (Lengkapnya lihat di SINI).

Masuk akal dan logis memang kalau Ahok distop dulu masuk jabatan penting di pemerintahan Jokowi, mengingat selama ini sudah bikin kacau bagi Jokowi sendiri dalam usahanya melindungi orang jujur dan orang suka kerja keras kayak Ahok.

Kesimpulan yang bisa diambil selama ‘huru-hara’ Ahok ialah bahwa kejujuran dan rajin kerja, tidak cukup dalam berpolitik era sekarang, era divide and conquer neolib internasional. Malah Ahok dimanfaatkan bikin segala macam untuk menggerogoti kepresidenan Jokowi. Kejujuran dan ketulusan mengabdi pada rakyat bisa dipertahankan hanya berlaku di jaman dulu, ketika belum ada kekuasaan divide and conquer, sekarang tidak berlaku lagi.

Kalau Jokowi masih memakai kepercayaan ini, dia pasti kalah di tahun 2019. Jadi orang jujur dan rajin mengabdi pada rakyat tidak banyak artinya kalau tidak punya jabatan apa-apa. Kalau masih mau mengabdi kepada rakyat sebagai presiden, pelajaran Ahok harus bisa disimpulkan. Jangan buang tenaga memikirkan Ahok, dan sikap ‘rapopo’ yang dianggap menunjukkan kelemahan oleh musuh-musuh Jokowi diganti dengan sikap yang lebih tegas.




Memang Jokowi juga mungkin tidak berambisi mempertahankan kepresidenannya pada tahun 2019, tetapi sebagian besar rakyat Indonesia sudah mengenal Pak Jokowi yang jujur dan hanya mau bekerja mengabdikan dirinya untuk kemakmuran negeri ini. Mayoritas orang Indonesia masih menginginkan seorang Jokowi memimpin negeri ini. Tetapi, tanpa ketegasan yang dibutuhkan terutama dalam menghadapi lawan-lawan politik kejujurannya, maka kalaupun menang 2019, situasi yang sama akan melanda Jokowi dalam periode selanjutnya. Artinya demo-demo tak berkesudahan untuk mendongkrak akan terus bersemarak dan 100% akan melupakan pembangunan.

Siapa yang membangun?

Duterte punya ketegasan luar biasa, dan menantang kritikan dari seluruh dunia. Dia pandai mengorganisasi kekuatannya sendiri di sekitar kepresidenannya. Jokowi bisa belajar dari sini. Berani memilih teman dan mengganti figur yang meragukan, jangan malah merangkul dan menunjukkan kepercayaan yang terlalu jujur. Panglima TNI Gatot dalam kata-katanya juga pernah off-side, bilang bahwa panglima tertinggi adalah hukum, jadi bukan presiden.

Keberanian dan kelebihan Duterte dalam soal mengorganisasi kekuatan trasnya ialah mengganti semua pejabat yang meragukan dalam sikap politiknya. Kepala polisinya diambil langsung dari Davao, bekas kepala polisinya ketika jadi walikota di sana, walaupun banyak yang pangkatnya lebih tinggi di Manila. Soal panglima TNI harus tegas juga, sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata, tirulah Duterte. Sudah jelas dia tidak mengakui presiden sebagai panglima tertinggi. Tito adalah orang setia atasan, bisa dipercaya. Menteri-menteri banyak yang pro neolib, kekuatan besar internasional sebagai pemerakarsa kudeta segala jaman.

Foto header: Aksi Kawal Sidang Ahok Pagi ini [Selasa 9/4: Pukul 08.00 WIB] (Foto: Telah Purba).








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.