Kolom M.U. Ginting: MENGAPA TAKUT KOMUNIS?

M.U. GintingDari segi komunisfobinya Pak Menhan ini kayaknya masih didominasi oleh bayangan era Orba. ’Komunisme’ sudah tidak ada lagi di Rusia maupun di China. Yang masih sisa hanya diktatornya saja, termasuk memenjarakan atau mengusir orang dengan pikiran beda. Indonesia tak perlu menirukan langkah seperti itu. Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika, tempat lapang dan bebas demokratis bagi segala macam ide dan pikiran.

Orang Karo (juga Gayo) sudah ada di Sumatra sejak 7.000 tahun lalu. Agamanya agama asli. Agama Pemena sudah 7.000 tahun lebih. Orang Karo tadinya tak mengenal agama import seperti Islam, Kristen, Hindu atau Budha. Kalau orang Karo tak beragama import itu tidaklah berarti mereka harus pula diusir dari negeri ini atau dipaksa memilih agama import seperti dibikin di era Soeharto.

Politik paksaan itu sudah jelas salah. Pancasila diciptakan di era perjuangan untuk Kemerdekaan. Di era perjuangan Soekarno, menentang penjajahan dan bermaksud mempersatukan Negeri Bhineka ini dalam Bhineka Tunggal Ika. Tak ada maksud lain, apalagi mengusir atau memenjarakan yang tak setuju atau tak sependapat dengan Pancasila atau menghina Pancasila seperti Zaskia Gotik atau Sahat Gurning.

Kalau mengusir orang-orang yang berbeda, itu namanya diktatoris. Tak ada bedanya dengan negara komunis tirai besi atau tirai bambu atau tirai Orba yang menyembelih siapa saja yang menentangnya.

Kalau soal adu domba atau menghasut, baguslah kalau kita sudah tahu dihasut atau diadu domba. Itu dimulai tadinya tahun 1965. Neolib ’global hegemony’ menghasut Soeharto bantai 3 juta rakyat tak bersalah. Di belakang layar, ternyata mau mengeruk emas di Papua. Sudah lebih dari setengah abad sekarang, menguasai atau mengontrol Indonesia dari segi politik dan ekonomi. Apakah ada politik penghasutan yang lebih besar dari bantai 3 juta itu?

Maju terus, Pak Menhan, jangan mau dihasut. Teliti juga hasutan lama itu, jangan sampai terhasut pula membantai 3 juta anak-anak yang pakai kaos palu arit, atau Cheguevarabantai pedagang kaos. Tak perlu lagi terjadi seperti itu.

”Komunisme Marx” (interpretasi dari tulisan Marx oleh Lenin, Stalin, dll) berkembang dan hidup dalam jaman ketertutupan abad 20, dan terutama setelah pegang kekuasaan penuh (diktatoris tanpa kebebasan dan keterbukaan) abad 20 di banyak negara sosialis/ komunis, dan juga jaman ketertutupan Indonesia Soeharto, Konggo Mobutu, Kamboja Polpot, Korea, dll.

Dalam era keterbukaan abad 21, ketertutupan semakin dibuka dan terbuka. Juga komunisme yang tertutup itu tak bisa lagi mempertahankan ketertutupannya, tak bisa lagi menutupi semua ’rahasia hidupnya’. Tak perlu pakai peraturan paksa atau senjata, komunisme yang tertutup itu tak bisa hidup dalam era keterbukaan, era partisipasi publik abad 21. Era informasi terbuka dan meluas dengan kecepatan elektronik, bikin tak ada lagi ketertutupan yang bisa bertahan. Bahkan penghasut-penghasut seperti 1965 sudah mulai ditelanjangi maksud-maksud mereka yang sesungguhnya, yaitu ’global hegemony’ (prof Chossudovsky).

Bahwa neolib atau ’the finance element large centers’ (istilah presiden Roosevelt 1933) berada di belakang semua politik adu domba dan penghasutan, seperti mengeruk emas di Papua (Freeport). Terakhir Freeport juga berusaha bikin PENGALIHAN ISU, mulanya gelap-gelapan seperti kasus Setnov, tetapi kemudian jadi terbuka bagi publik. Blok Masela mau dibikin off-shore, putusan gelap tanpa setahu publik, juga akhirnya terbuka dan diputuskan secara terbuka oleh Jokowi akan dibangun di darat, supaya memungkinkan kontrol publik dan mengikutkan perusahaan nasional dalam pembangunannya, hal mana tadinya tak mungkin kalau dibikin off-shore.

komunisBahwa teori kontradiksi dan dialektika dipakai secara ’fasih’ oleh orang-orang komunis abad 20, sudah menjad ciri utama orang-orang komunis dalam benak orang banyak bukan komunis. Orang-orang komunis juga berbuat seakan-akan merekalah yang punya teori itu dan hanya mereka pulalah yang mengerti dan menguasainya. Karena itu, terlihat juga bahwa pada mulanya kejatuhan negar-negara komunis (Blok Timur) publik dunia masih enggan mendengar apalagi memahami dan mempelajari teori kontradiksi dan dialektika itu yang sebenarnya adalah teori yang bisa mengembangkan dan memajukan pikiran manusia, karena mempelajari dan menjelaskan perkembangan segi-segi bertentangan dalam alam dan pikiran.

Lebih menarik lagi ialah bahwa orang Karo sudah mengembangkan teori itu sejak ribuan tahun dalam Pantarei Karo; ”Aras jadi namo, namo jadi aras” (dialektika alam) dan dalam thesis-syntesis-antitesis Karo ”seh sura-sura tangkel sinanggel” (dialektika pikiran).

Di milis Karo sejak era Reformasi sudah dikembangkan teori kontradiksi/ dialektika itu dengan ungkapan yang sudah terkenal ”kontradiksi adalah tenaga penggerak perubahan dan perkembangan”. Sudah banyak contoh jelas yang menunjukkan kebenaran teori ini ditunjukkan di milis, seperti kontradiksi (pertentangan, konflik) di dalam PD yang kemundian membongkar Hambalang ke permukaan, kontradiksi di PKS yang membuka korupsi daging sapi, gaduh menteri yang bikin jelas Blok Masela dan Freeport, dsb.

Semuanya telah menunjukkan dengan jelas bagaimana kontradiksi itu bikin pencerahan terang benderang bagi publik dan menambah pengetahuan publik sangat mendalam. Itulah kontradiksi sebagai tenaga penggerak perubahan dan perkembangan. Di sini perubahan pikiran dan pembaruan yang dilahirkan dari situ.

Berlainan dengan milis Karo, dalam era komunisme abad lalu, teori ini tidak dimanfaatkan untuk pencerahan dan perkembangan kemajuan cara pikir publik. Melainkan, hanya dimanfaatkan oleh seglintir teoretikus partai untuk kepentingan elit pimpinan partai seperti terjadi di Soviet PKUS dan China PKT. Bahkan terlihat juga jelas di kalangan parti-partai komunis yang tidak berkuasa dalam satu negara, di Eropah maupun di Asia. Elit ini sangat takut dengan perubahan dan apa saja yang baru.




Sangat menarik memang kalau diteliti kembali bagaimana perkembangan elit teoretikus ini dengan teori-teorinya menjelang keruntuhan Uni Soviet dan kontradiksi intern PKT pada tahun-tahun terakhir ketua Mao, menjelang pemusatan kekuasaan ke tangan Lin Piao dan, setelah Lin Piao terbunuh, kekuasaan ke tangan Teng Siao Ping. Semua terlihat memakai teori-teori yang sangat tinggi, tetapi tak berguna bagi publik, hanya untuk kepentingan elit partai. Kontradiksi sebagai tenaga penggerak perubahan sangat terlihat, tetapi kontradiksi itu tidak dimanfaatkan untuk pencerahan dan peningkatan kesedaran pengetahuan rakyat banyak. Sebab utama ialah tak adanya KETERBUKAAN dan memang juga masih abad KETERTUTUPAN. Dunia belum memasuki era digital informasi, internet.

Kembali kita ke kekhawatiran pak Menhan itu . . . tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam era KETERBUKAAN. Era Partisipasi Publik.

Taruh semua soal-soal kemanusiaan di atas meja, publik akan mencari dan pasti akan mendapatkan solusi! Karena sekarang tak ada lagi yang mungkin ditutupi terus. Institusi bank, pajak dan neolib adalah benteng terakhir ketertutupan. Institusi ini masih bertahan, tetapi berapa lama.

Ayo pak Menhan, mari terima pembaruan dunia.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.