Kolom M.U. Ginting: Perbandingan dengan Afrika Selatan

Penjelasan Allan Nairn soal peristiwa 1965 bisa juga mengingatkan kita akan cerita memilukan kekejaman kekuasaan apartheid di Afrika Selatan atas penduduknya yang mayoritas orang kulit hitam. Merek memenjarakan pemimpinnya Mandela selama 27 tahun. Kejahatan rezim apartheid dibalas oleh Mandela dengan ‘reconciliation’ yang umumnya diterima dan disambut oleh penduduk negeri Afrika Selatan. 

Badan rekonsiliasi ini yang dinamai dengan TRC (Truth and Reconciliation Commmission) memang tidak berjalan lancar pada mulanya, tetapi bisa jalan pada utamanya, terutama karena faktor Mandela sendiri dan sebagai presiden. Dalam TRC, di situ ada Truth (kebenaran) dan ada Reconciliation (hasrat untuk berdamai). Keduanya harus ada. Tidak mungkin berdamai kalau tidak menyinggung kebenaran, dan begitu juga tidak mungkin menyinggung kebenaran kalau tidak ada hasrat untuk berdamai.

Dari keduanya berangsur-angsur harus terlihat supaya yang lebih dipentingkan iyalah rekonsiliasinya, karena itulah yang utama sehingga seluruh nation bisa bergerak bersama. Setapak demi setapak memajukan negeri dan membangun. Bahu membahu diantara semua golongan. Suku/ daerah atau ras atau agama, satu kekuatan, yang kalau di Indonesia menjadi satu kekuatan nasional yang dalam sejarahnya juga telah terbukti bisa mengusir penjajah dan membebaskan Indonesia dari cengkraman 350 tahun kolonial.

Sebagai faktor Mandelanya sudah ada dalam diri Presiden Jokowi yang juga seperti Mandela sudah terbukti selalu lebih mengutamakan kepentingan bersama rakyat negeri ini (kepentingan nasional).




Dasar rekonsiliasi di Afrika Selatan memang jauh lebih rumit, lebih banyak kesulitannya dibandingkan dengan Indonesia. Di Afrika Selatan tantangan bagi rekonsiliasi datangnya dari dalam sendiri (sistem apartheid), di Indonesia persoalanya dicetetuskan oleh orang luar (kekuatan neolib) penyerakah SDA. Apartheid selain kekejamannya telah membawa ketidakadilan luar biasa bagi penduduk Afrika Selatan, seperti golongan kulit putih penduduk penduduk minoritas negeri, memiliki 87% tanah dan 95% kekayaan seluruh negeri. Badan Rekonsiliasi TRC pada dasarnya bertugas memulihkan keadilan bagi mayoritas penduduk Afrika Selatan (kulit hitam), terutama dalam soal reformasi kepemilikan tanah atau landreform.

Ekonomi negeri ini banyak tergantung dari hasil buminya yang mayoritas diusahakan oleh penduduk orang putih sebagai pemilik sebagian besar tanah negeri ini dengan pekerjanya orang kulit hitam. Itulah problemnya rekonsiliasi Afrika Selatan. Tetapi relatif bisa berjalan sehingga pepecahan dan permusuhan masa lalu relatif terhindarkan.

Artinya, dalam mengkombinasikan Truth dan Rekonsiliasi tadi, rakyat dan pemimpin Afrika Selatan yang pada mulanya dipelopori oleh Mandela, bisa mengutamakan Rekonsiliasinya. Ini luar biasa memang, mengingat penindasan dan kekejaman apartheid saat dia berkuasa.









Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.