Kolom M.U. Ginting: REVISI UU MD3

Dalam proses revisi UU MD3 ternyata DPR tidak melibatkan publik. Padahal, mereka adalah perwakilan publik itu sendiri. DPR secara tertutup mendiskusikan sendiri dan bikin putusan sendiri tanpa sepengetahuan rakyat. Putusan yang jelas hanya menguntungkan orang-orang atau badan DPR, bukan menguntungkan rakyat yang diwakilinya.

Rakyat atau siapa saja yang dipanggil DPR harus datang, kalau tidak disuruh tangkap oleh polisi. Tetapi sebaliknya anggota DPR tidak boleh sembarangan dipanggil karena korupsi, misalnya, tanpa seizin MKD. Dengan UU MD3 ini berarti DPR sudah melebihi badan mana sajapun di negara ini.




Bukan lagi pemerintah atau badan lain yang memerintahkan polisi supaya menangkap seseorang tetapi DPR. Wow, begini kan hanya ada di negeri diktator, hak seorang diktator. Di zaman Soeharto saja orang-orang DPR dan DPR tidak berani bikin begitu, ha ha ha. Sekarang zamannya sudah zaman keterbukaan, semua di atas meja. Apalagi UU penting yang bersangkutan dengan hak-hak rakyat, kok malah sembunyi-sembunyi disahkan tanpa dibentangkan dulu di meja publik untuk minta pendapat.

Bikin UU yang bikin DPR lebih tinggi dari badan mana sajapun. Apa DPR ini mau kembali ke era kediktatoran dan ketertutupan tak berani terbuka?

Era Keterbukaan ialah bahwa semua informasi dan pengetahuan adalah untuk rakyat/ publik dan sebaliknya juga berlaku yaitu semua informasi dan pengetahuan dari rakyat/ publik harus bisa mengalir ke semua, termasuk ke anggota dan badan DPR. Ketentuan ini tidak ada dalam UU, ini hanya kenyataan perkembangan zaman yang tidak bisa dihambat oleh siapapun, juga oleh DPR.

Era kemanusiaan sekarang ini hanya mungkin bertahan dengan cara itu. Tidak mungkin kemanusiaan bertahan dengan cara tertutup seperti era lalu Abad 20. Buktinya ini saja, UU MD3 ini, didiskusikan dan disahkan secara tertutup . . . dan hasilnya polemik yang bakal panjang. Kekalahan sudah pasti di pihak yang masih mau mempertahankan ketertutupan. Tidak mungkin di pihak publik yang mau terbuka dan tidak takut akan keterbukaan. Itulah keberpihakan perkembangan zaman. Ini satu seginya.




Tetapi, dari segi lain ialah bahwa semua usaha perpecahan yang muncul dari persoalan UU MD3 ini, sama halnya dengan perpecahan-perpecahan sebelumnya 411, 212, Saracen, HTI, Teror Thamrin, LGBT, gerakan Siksa Ulama di Jabar, tidak bisa dipisahkan dari gerakan divide and conquer dari luar (internasional). Memecah belah suatu negara, dari segi UU adalah juga cara yang lazim dilakukan oleh pemecah belah ini. Kita misalnya melihat bagaimana UU keimigrasian AS dimanfaatkan oleh deep state melawan politik nasionalis Trump dan memecah belah rakyat AS.

Di Indonesia dengan memanfaatkan badan besar dan berkuasa seperti DPR untuk menciptakan perpecahan dengan eksekutif + rakyat banyak, walaupun semua kita bisa tahu bahwa tujuan utamanya ialah power. Syarat extern bisa mempengaruhi walaupun sifatnya sementara.

Kalau pemerintah dan rakyat Indonesia tidak memahami semua ini, imbasnya memang bisa sangat besar sekali. Itulah yang mau dicapai. Bayangkanlah bagaimana DPR suatu negara besar seperti Indonesia bisa bikin UU yang bikin badan DPR lebih tinggi dari badan manapun yang lain dalam satu pemerintahan. Mereka bisa sewenang-wenang menangkap rakyat atau siapa saja dari pejabat seperti KPK, misalnya.

Luar biasa! Neolib NWO tentu tidak sayang duit untuk mewujudkan cita-cita luar biasa ini, walaupun biayanya akan jauh lebih besar dari biaya bikin ratusan ribu akun Saracen.

 

Tambahan Pelajaran Soal Kontradiksi

Kalau dilihat dari segi dialektika kontradiksi tesis-antitesis-syntesis Hegel (ini hanya tambahan extra, kaitannya dengan dialektika perkembangan) dimana sebagai tesis UU MD3 yang sudah disahkan DPR, antitesis sebagai penentangan terhadap UU itu, dan Syntesisnya . . . kita akan masih melihat proses perjuangan antara tesis dan antitesis ini harus mencapai puncaknya dulu.

Artinya, salah satu dari yang bertentangan itu harus mencapai dominasinya dimana yang satunya kalah/ lenyap.

Kita mengharapkan bahwa perjuangan ini akan dimenangkan oleh antitesis, yang menentang MD3. Tetapi ini hanya harapan, karena syarat luar/ extern tadi, bisa mempengaruhi prosesnya pada momen tertentu. Misalnya, banyaknya duit mengalir ke ‘pertempuran’ itu sehingga mampu mempengaruhi keseimbangan pejuangan intern yang mestinya alamiah.

Tetapi, dari segi kontradiksi, siapapun yang menang itulah syntesisnya, sebagai pertanda akan memasuki kontradiksi baru .. . .  berlaku juga di sini. Hegel memakai istilah an sichfür sichan und für sich bagi yang mengerti Bahasa Jerman, yang kita kenal sekarang dengan istilah tesis-antitesis-syntesis. Kalau bahasa Karo lebih gampang dalam kalimat ‘seh sura-sura tangkel sinanggel‘; tercapainya sebuah cita-cita adalah awal dari munculnya persolan [baru].








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.