Kolom M.U. Ginting (Swedia): KBB dan Dalihan Natolu

muginting 11

M.U. GintingDua soal ini sangat menarik memang sekarang ini. Menarik karena semua persoalan yang menyangkut Karo dan Batak terpaksa muncul ke permukaan karena sebab utamanya ialah adanya gerakan KBB (Karo Bukan Batak). Tanpa KBB kemungkinan tak begitu banyak persoalan baru yang muncul dalam evolusi dua suku ini (Karo dan Batak). Saya bilang dua suku Karo dan Batak, karena yang satu mengaku Karo dan yang lain mengaku Batak, terlihat jelas dalam pengertian Taneh Karo Simalem dan Tano Batak, gendang Karo dan gondang Batak dst dst, banyak contoh lain bisa disebut. Suku ‘Batak-Karo’ tentu tidak ada karena hanya ada dua suku, yaitu Karo dan Batak, menurut pengakuan masing-masing dan juga apa yang telah diakui di mata umum.

Ada juga nyanyian/ musik Karo dan ada nyanyian/ musik Batak. Kalau dikatakan nyanyian/ musik ‘Batak-Karo’ tentu bikin kacau terutama bagi orang di luar Karo dan di luar Batak. Begitu kacaunya sehingga di Jawa tak ada yang mengerti apa itu Karo, kecuali ‘batak halus’. Bataknya yang jadi halus, Karonya tak ada sama sekali. Belakangan sudah ada yang mengenal Karo, berkat gerakan gigih pencerahan KBB. Sama sekali bukan karena penjelasan dari ‘kaum Batak-Karo’.

KBB juga sangat mengharapkan agar umat GBKP yang juga adalah orang Karo untuk bersama-sama menggerakkan pencerahan tentang Karo dalam jiwa KBB, artinya dalam rangka persahabatan dengan semua etnis, bukan hanya dengan etnis Batak. Prinsip KBB pada dasarnya ialah persahabatan berdasarkan IDENTITAS tiap etnis yang diakui dan dihormati oleh tiap etnis. Pengakuan dan penghormatan atas existensi masing-masing etnis dan identitasnya adalah dasar paling kuat untuk kedamaian bersama, artinya persahabatan sejati.

Kalau etnis yang satu harus pakai ‘pelengkap’ B atau embel-embel B di depan sukunya supaya diakui sebagai sahabat, ini bukan persahabatan yang sejati, tapi terlalu dipaksakan mengikuti kehendak sepihak. Karo tak perlu bikin begitu dan siapapun tak perlu bikin begitu. Inilah pikiran persahabatan dalam jiwa KBB. Ini tentu sesuai pula dengan perkembangan pemikiran manusia dalam tingkat sekarang, yaitu saling mengakui, saling menghormati dan saling menghargai IDENTITAS masing-masing dan juga DAERAHNYA.

Persoalan ini belum muncul di Era Kolonial maupun di Era Kemerdekaan, tapi mucul dalam era terakhir, Era Cultural Revival Dunia setelah jatuhnya Blok Soviet. Semua perubahan ini tak tergantung dari kesadaran manusia, artinya terjadi di luar kehendak manusia. Ini termasuk kontradiksi antara yang baru dan yang lama, begitu dalam pikiran dan begitu dalam tiap organisasi apapun, termasuk GBKP tak terkecuali. Begitu juga dalam partai-partai politik. Penyesuaian mungkin satu-satunya PENYELAMAT.

Rakut Sitelu, sangkep nggeluh Karo atau mulanya Daliken Sitelu pastilah sudah ada sebagai adanya daliken (3 buah tungku) untuk masak bagi orang Karo. Begitu orang Karo bisa masak dan memakai 3 tungku, ada ungkapan Daliken Sitelu, dan pastilah sudah ada begitu ada kehidupan manusia Karo. Berangsur-angsur begitu tumbuh sivilisasi dan pergaulan sosial masyarakat (sivilisasi Karo dan Gayo sudah ada sejak 7500 tahun lalu), tumbuhlah pemikiran yang menggambarkan kebutuhan kehidupan sosial, antara pemberi dara dan penerima dara. Dan, bahwa ini ada dan tumbuh dalam kehidupan, tak perlu dibuktikan. Kehidupan itu sendiri sudah jadi buktinya, artinya kehidupan berlanjut karena ada pemberi dara dan penerima dara untuk menjamin keturunan berikutnya.

Daliken sitelu muncul setelah bisa masak, dan sangkep nggeluh mucul begitu dirasakan kepentingan saling menghargai dalam hubungan sosial. Muncullah filsafat hidup Daliken Sitelu atau Sangkep nggeluh atau kemudian Rakut Sitelu.

muginting 12Salah satu unsur penting dalam Rakut Sitelu filsafat hidup Karo ialah KALIMBUBU sebagai Dibata Nidah (Tuhan yang terlihat). Begitu pentingnya sejak muculnya filsafat sangkep nggeluh, dan masih begitu dalam pandangan tradisional Karo sekarang juga, dimana masih terlihat dan dipakai dalam tiap upacara adat Karo.

Dialektika Karo adalah cara pikir Karo dalam memandang proses dan pertentangan dalam alam maupun dalam pikiran, sudah ada begitu muncul kehidupan dan masyarakat Karo. Karo dan way of thinkingnya sangat dialektis. Artinya, semua lewat proses pertentangan dalam satu kesatuan, begitu dalam alam dan begitu dalam pikiran manusia. Soal ini tergambar dari pepatah kuno Karo, contoh dalam pikiran seperti ‘seh sura-sura tangkel sinanggel‘ (tesis-antitesis-syntesis Karo), dan dalam alam ialah ‘namo jadi aras, aras jadi namo‘ (pantarei Karo). Keduanya menggambarkan kesatuan dari segi-segi bertentangan dan proses yang satu menjadi yang lain yang berlainan kutub.

Karena sivilisasi Karo adalah yang tertua di dunia maka DIALEKTIKA KARO juga adalah yang tertua di dunia (7500 tahun), dibandingkan dengan dialektika Tao dan Heraklitos, 500 BC. Ini tidak sesuai lagi dengan pendapat orang Barat pada umumnya dimana dikatakan Heraklitos adalah penemu pertama dialektika.

Pepatah dialektis Karo lainnya seperti ‘sikuningen radu megersing, siagengen radu mbiring‘ sangat sesuai dengan filsafat hidup dunia modern ‘win win solution‘. Ini sangat sesuai dengan filsafat Dalikan Sitelu, terutama dalam menghadapi KALIMBUBU (golongan pemberi dara) sebagai Dibata Niidah (Tuhan yang terlihat). Kalimbubu kedudukannya tetap yang dihormati dalam tradisi Karo biarpaun dia dalam proses perkembangan ketinggalan, artinya tidak menjadi orang kaya atau orang berkuasa atau orang penting lainnya dalam masyarakat.

Berlainan halnya dengan filsafat hidup yang menganggap kehidupan sebagai perlombaan, seperti yang ditulis oleh DR RE Nainggolan melukiskan orang Batak sebagai ‘manusia yang di bawah sadarnya menghayati kehidupan sebagai perlombaan’ dan dia ingin menang. Dengan sendirinya orang Batak sangat melihat ke atas terhadap orang yang menang dari segi perlombaan tadi, sangat menghormati yang menang. Dengan sendirinya kalau KALIMBUBU yang tak menang dalam perlombaan ini, tak mungkin dipandang sebagai Dibata Niidah dalam kehidupan Karo. Karena itu, Dalihan Natolu Batak tak ada kesamaannya dengan Rakut Sitelu Karo, dan tak mungkin ada persamaannya karena dasar filsafatnya berbeda atau berkebalikan.

One thought on “Kolom M.U. Ginting (Swedia): KBB dan Dalihan Natolu

  1. KBB dan Dalihan Natolu (lanjutan)

    Saya measa perlu menambahkan beberapa penjelasan untuk melengkapi berbagai pengertian dalam artikel KBB dan Dalihan Natolu, karena pasti terasa sangat kurang kalau pembacanya bukan orang Karo atau sedikit mengetahui seluk-beluk bahasa dan tradisi Karo termasuk bagi perantau anak-anak muda Karo.

    Rakut Sitelu Karo atau kalau diterjemahkan jadi ‘tiga ikatan’, terdiri dari 3 unsur yang menjadi satu kesatuan dalam satu sistem kekerabatan sosial dan cara hidup masyarakat Karo. Selain Rakut Sitelu tentu saja cocok dipakai nama atau istilah lain yang lebih modern tetapi juga tetap dalam pengertian yang sama, seperti Tritunggal Karo atau Trias Politika Karo. Semua ungkapan ini menggambarkan satu sistem kesatuan dari 3 unsur yang erat hubungannya satu sama lain, atau sistem itu hanya berfungsi jika ada ketiga unsurnya. Ketiga unsur itu ialah Anakberu, Senina, Kalimbubu (di artikel hanya tersebut Kalimbubu).

    Kalimbubu adalah golongan pemberi dara dalam perkawinan atau rumah tangga keluarga. Dari sini juga harus dilengkapi dengan Puang Kalimbubu, artinya kalimbubu dari kalimbubu.

    Anak beru ialah golongan penerima dara dari perkawinan atau rumah tangga. Disini masih harus dilengkapi dengan Anakberu Menteri, yaitu anakberu dari anakberu.
    .
    Senina atau Sembuyak ialah golongan yang bersaudara dalam arti seibu-sebapa, semarga, Senina bagi orang Karo punya pengertian yang lebih luas, seperti senina sipemeren, dan juga siparibanen.

    Dengan sistem kekeluargaan yang begitu lengkap dan kompleks ini, ditambah lagi dengan keluarga dari Nini Bulang dan Nini Tudung dari pihak ibu dan ayah, seorang manusia Karo disedari atau tidak, diketahui atau tidak, dikenal atau tidak, bisa punya jumlah anggota dalam lingkungan kekeluargaannya sekitar 100 orang. Dan ini semua bisa ditelusuri dengan ERTUTUR, menyelusuri saling hubungan secara lisan, dan bisa sampai beberapa generasi kebelakang. Dan ini bukan yang tidak biasa bagi orang Karo dan masih berlaku dizaman modern ini juga. Barangkali ini jugalah salah satu sebabnya mengapa orang Karo jarang menuliskan asal-usulnya.

    Bagi orang diluar Karo perlu juga dijelaskan bahwa tiap orang Karo pada gilirannya adalah anakberu, adalah senina, adalah kalimbubu, karena tiap manusia Karo, seperti juga tiap manusia dalam hidupnya akan pernah jadi golongan penerima dara, maupun pemberi dara.

    Dalam Dalihan Natolu orang Batak, anakberu-senina-kalimbubu menjadi Boru, Dongan sabutuha, Hula-hula. Di Batak urutannya lain, Kalimbubu atau Hula-hula yang pertama, menjadi Hula-hula, Boru, Sabutuha atau kalimbubu, anakberu, senina. Hula-hula jadi urutan pertama di Batak, katanya golongan itulah yang ‘tertinggi’. Bagi Karo dalam ungkapan anakberu-senina-kalimbubu, dalam urutan pertama ialah anakberu. Bisa jadi karena tanpa anakberu tak ada pekerjaan adat yang bisa terlaksana. Anakberu adalah pekerja yang mampu dan harus menyelesaikan semua persoalan kerja adat. Inilah keaslian Rakut Sitelu Karo, peran utama dan petugas dan penanggung jawab utama pekerjaan adat ada ditangan anakberu. Kalimbubu hampir tak berperan dalam tugas-tugas fisik, tapi tetap sebagai penasihat utama dan tempatnya tersedia ditempat ‘terhormat’. Senina/Sukut adalah penanggung jawab dari segi material/peralatan yang kalau sekarang lebih tepat dari segi ekonomi/finansial, istilah mana belum ada 7500 th lalu. Karena itu urutan anakberu-senina-kalimbubu adalah gambaran yang mencerminkan bagaimana sistem ini muncul dan lahir secara natural. Anakberu inilah yang pertama berinisiatif mencari dara penerus kehidupan, artinya kebutuhan utama manusia menjamin kelangsungan generasi berikutnya. Sangat natural.

    Ikatan kekerabatan sosial atau sistem kekeluargaan orang Karo didasari oleh filsafat hidupnya ‘sikuningen radu mengersing, siagengen radu mbiring’ atau secara modern disebut win win solution, atau benang merahnya ialah selalu mengusahakan supaya semua bisa menang. Ini jugalah salah satu sebab mengapa sistem kekerabatan Karo itu bisa bertahan sampai ke era modern walaupun sudah berumur sangat tua. Pemikiran dialektis Karo atau Dialektika Karo juga merupakan satu sebab penting bertahannya sistem kekluargaan Karo. Dialektika adalah satu cara pikir, analisa perubahan dan perkembangan darisegi kontradiksi. Dan tak ada perubahan tanpa kontradiksi. Karena itu way of thinking Karo bertahan, berubah dan berkembanga sesuai dengan hukum-hukum kontradiksi.

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.