Kolom M.U. Ginting (Swedia): Sejarah Singkat Pemekaran Sumut

M.U. Ginting

Akhir tahun 1950-an sampai permulaan 1960-an ada gerakan pemekaran propinsi Sumatera Timur. Ketika itu penggerak utama ialah orang-orang Karo. Dua suku lainnya, Melayu dan Simalungun, juga memilih mendukung gerakan ini. Orang-orang Karo yang sangat antusias ketika itu, selain orang-orang politik juga sangat antusias, ialah para pengusaha Karo yang ada di Medan.

muginting 20
Ibu Karo pedagang sayur dan gula merah di Pekan Pancurbatu (Deliserdang). Hari pekannya adalah Sabtu Click foto untuk ukuran besar (Foto: Ita Apulina Tarigan).

Gerakan ini belum jadi gerakan yang merata di kalangan suku-suku pendukungnya, dan juga tak banyak informasi dari segi argumentasi kebutuhan maupun alasan-alasan yang bisa berkembang ketika itu. Tabu ‘sukuisme’ dan ’primordialisme’ lebih cepat mendominasi pemikiran umum daripada kegunaan praktis pemekaran Sumtim.

Partai-partai politik yang sangat menonjol dan terdepan menentang pemekaran itu ialah PKI ketika itu, dan juga ada penentangan atau keberatan dari pihak PNI tetapi tak besar pengaruhnya. Bos PNI di Sumut ketika itu ialah Selamat Ginting, dan dia tidak menentang Sumtim.

Para penentang malah menyamakan Sumtim dengan NST (Negara Sumatra Timur) buatan Belanda pada awal kemerdekaan. Suku-suku yang paling menentang ialah orang Batak dan orang Mandailing. Dua suku ini kemudian setelah reformasi malah berlomba bikin propinsi sendiri dan yang sudah berhasil sekarang ialah Protab (ex Taput orang Batak).

Thomas Sinuraya sebagai golongan pemuda komunis ketika itu berada di depan menentang terus terang pendirian Sumtim. Thomas dan PKInya sangat menentang ‘sukuisme dan primordialisme’, aliran politik populer pada zaman itu (Orla). Bagi mereka ‘internasionalisme’ sangat lebih penting dari primordialisme atau sukuisme. Bagi mereka lebih populer semboyan ’proletar seluruh dunia bersatulah’. Pemekaran Sumtim dengan dukungan suku-suku tertentu terutama karena didominasi suku Karo atau ’borjuasi Karo’ kata mereka, sangat tidak masuk akal dan harus dilawan keras.

Thomas Sinuraya kemudian sekolah dan tinggal di Moskow, akhirnya  menjadi satu-satunya perwakilan PKI di LN setelah Peristiwa 1965. Uni Soviet mengakui Thomas Sinuraya sebagai perwakilan PKI, tetapi China tidak mengakuinya karena harus mengakui Jusuf Ajitorop  sebagai perwakilan yang sah PKI dan yang ada di Peking ketika itu. Dua macam pengakuan ini berakar dari pertengkaran ideologi yang sudah lama terjadi (memuncak pada permulaan 1960-an) antara dua partai komunis yang besar itu (Uni Soviet dan China).

Karena itu, di dalam tubuh PKI juga terjadi walaupun masih belum sempat terbuka, perpecahan ‘ideologis’ yang sangat deras. Ketika itu terkenal dengan sebutan ‘jalan damai’ atau ‘jalan revolusi’. Jalan damai dimaksudkan jalan ‘revisionis’ Soviet, dan jalan lain yang didukung oleh China yaitu jalan revolusi artinya dengan kekuatan senjata, ‘kekuasaan lahir dari laras senapang’, seperti yang sudah terjadi dengan sejarah kekuasan di China atas pimpinan Mao Tse Tung, begitu juga Vietnam. Polpot di Kamboja adalah salah satu yang mempraktekkan teori kekuasaan laras senapang ini, tetapi gagal total.

Teori laras senapang ini juga dipakai jenderal Soeharto dalam merebut dan mempertahankan kekuasaannya, bahkan diikuti dengan pembunuhan besar-besaran (3 juta lebih) yang belum pernah ada bandingannya dalam sejarah kemanusiaan dunia. Soeharto tidak pernah sedetikpun berani lepas dari laras senapangnya. Dia sangat ketat pegang teori ‘laras senapang’. Karena itu soal pemekaran daerah di sini tak pernah ada yang berani menggubris, termasuk pemekaran Sumtim. Bahkan Soeharto dengan ‘laras senapang’ juga menambah propinsinya yaitu Timor Timur.

Baru setelah Soeharto lengser pada era reformasi mulai lagi pembicaraan Sumtim, dan yang kemudian diikuti oleh suku-suku lainnya. Yang sudah berhasil ialah Nias dan Protap dengan putusan DPR RI 2013. Penggerak propinsi orang Mandailing (Sumtra/ Tapsel) kelihatannya ‘tenang-tenang’ saja. Sejak semula juga mereka ini ada keraguan, karena telah keenakan jadi pemimpin turun-temurun Sumut.

Sepanjang sejarah Sumut bisa dilihat juga bagaimana etnis-etnis Sumut naik-turun singgasana kekuasaan di Sumut.

Karo pernah juga naik singgasana ini, ketika Ulung Sitepu dan Djamin Ginting, intermezo sementara menggantikan dominasi Mandailing yang setelah kemerdekaan secara ’turun temurun’ mendominasi kekuasaan di Sumut. Bahkan setelah reformasi orang Mandailing Tapsel masih ngomong mau meneruskan jadi pemimpin Sumut seperti dikatakan oleh orang Tapsel drs. H. Rahmad Hasibuan: “Yang harus kita dorong agar bersama-sama mengangkat citra Tapsel, yaitu kembali menjadi pemimpin Sumut dari Tapsel sebagaimana yang telah ditunjukkan sejumlah mantan Gubsu yang berasal dari Tapsel” (SIB 09 Oktober 2006):

http://groups.yahoo.com/neo/groups/tanahkaro/conversations/messages/37475

 

Teori

Abad 20 adalah abad persamaan, berkembangnya ‘teori persamaan’, seperti multi-kulturalisme dll. Dalam abad ini manusia berusaha mencari persamaan di mana-mana dan menghindarkan sejauh mungkin perbedaan.

Abad 21 adalah abad perbedaan, meluasnya ‘teori perbedaan’, di mana-mana manusia berusaha menjelaskan perbedaan terutama dari segi kultur/budaya. Penulis dunia mencoba menggambarkan dengan berbagai tema, seperti Huntington, Moisi dll.

yoona gif photo:  2nsnokz.gif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.