Kolom Marx Mahin: RITUAL POLITIK DI TITIK NOL

Bagaikan pertunjukan teater. Presiden Jokowi menerima satu persatu utusan dari 34 provinsi yang membawa air dan tanah dari tempat masing-masing. Penyiar televisi yang meliput kegiatan menyebutkan acara itu sebagai Prosesi Penyatuan Tanah dan Air Nusantara.

Air dan tanah disatukan dalam satu wadah semacam gentong yang disebut Bejana Nusantara.

Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo menyebutkan kegiatan tersebut sebagai “bentuk kebhinekaan dan persatuan” bangsa Indonesia.

Dari pinggiran Kota Palangka Raya, kota yang pernah digadang-gadang oleh Presiden Soekarno menjadi Ibu Kota Negara, saya menatap nanar tayangkan kegiatan yang disebut “prosesi” itu. Bersamaan dengan itu, pikiran saya mengembara ke tulisan Clifford Geertz (1980) yang berjudul “Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali”.

Dalam buku itu, Geertz mengatakan bahwa kekuasaan simbolik itu sangat penting dan untuk membangun kekuasaan semacam itu perlu dilakukan berbagai macam upacara, prosesi atau ritual.

Dengan cara itu maka kekuasaan tidak ditampilkan dalam bentuk tirani, penaklukan, atau sistem administrasi yang baku, namun dibangun lewat kekuasaan puitik (poetics of power) lewat berbagai macam upacara — di mana semua partisipannya adalah pemegang-pemegang peran (roles), baik sebagai pemimpin upacara, pengatur panggung, pelayan, pemain, dan lain sebagainya.

Walaupun didera terik matahari khatulistiwa, Presiden Joko Widodo dengan agung menerima satu persatu paket tanah dan air dari tangan para gubernur yang datang dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, untuk disatukan di gentongan kuningan yang diberi nama Kendi Nusantara.

Ini pertunjukkan yang sangat dramatis, karena mampu memperlihatkan betapa tingginya loyalitas politis para gubernur seluruh Indonesia kepada ide Ibu Kota Negara (IKN) yang diusung oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Sangat menakjubkan, mereka datang dari berbagai penjuru Indonesia, dengan penuh pengabdian menenteng 1 liter air dan 2 kilogram tanah untuk dicampur menjadi satu di titik nol Ibu Kota Negara.

Apakah ini sekedar simbol “persatuan dan kesatuan”? Menurut saya tidak sekedar itu.

Meminjam perkataan Clifford Geertz (1973), Presiden Joko Widodo hendak “saying something of something” (mengatakan sesuatu dari sesuatu). Minimal ia hendak mengatakan betapa seriusnya proyek pembangunan Ibu Kota Negara, karena itu ia berkemah dan mengadakan ritual awal penyatuan tanah-air Nusantara.

Ini adalah bahasa simbolik, getaran halus atau sinyal yang ditujukan kepada kelompok tertentu. Mungkin kepada para investor agar tidak enggan dan sungkan berinvestasi. Ini sesuai dengan thesis Geertz bahwa NEGARA adalah THEATRE STATE, yang memerintah dengan simbol dan ritual, bukan dengan kekuatan yang memaksa.

Tentu saja, dalam setiap pertunjukan tidak hanya terdapat panggung depan (front stage) juga terdapat panggung belakang (back stage). Menurut Goffman (1956) panggung depan adalah tempat untuk manajemen kesan, sementara panggung belaka adalah dunia nyata atau dunia apa adanya.

Sungguh, saya tidak tahu banyak tentang sesuatu yang sedang terjadi di panggung belakang. Secara samar-samar Koran Tempo 14/04/2022 menyebutkan tentang kaburnya para investor yang pernah berjanji untuk mengucurkan dana untuk pembangunan IKN yang baru. Ini artinya megaproyek Ibu Kota Negara akan bergantung pada anggaran negara dan utang.

Hal ini menakutkan. Akronim IKN oleh para netizen yang nyinyir dapat saja diplesetkan menjadi Ibu Kota Ngutang.

Dalam pengaruh Clifford Geertz, saya ingin menyimpulkan bahwa bangunan kekuasaan puitik (poetics of power) itu memang indah bahkan penuh pesona, sehingga mampu menyembunyikan kenyataan yang paling meresahkan.

Ia dapat menjadi semacam karpet mewah untuk menutupi lantai yang paling kotor, kasar dan berdebu. Begitu juga dengan ritual politik di titik nol. Sangat teaterikal dan menjual, namun juga menyembunyikan rasa perih misterius yang menikam dada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.