Kolom Melati A. Sitepu: TRAGEDI AREMA

Setelah membaca berbagai sumber saya merasa bahwa FC Arema gagal mendidik para Aremania. Pertandingan di kandang sendiri, suporter lawan dilarang menonton, ketika timnya kalah mereka menyerang tim dukungannya sendiri.

Egois sekali, bukan, orang yang turun ke lapangan itu?

Bisa jadi yang menyerang itu bukan Aremania yang sebenarnya. Bisa jadi hanya perusuh yang kalah taruhan dan sebagainya. Tapi, dari sini kita bisa melihat bahwa banyak orang Indonesia yang belum bisa menikmati olahraga sebagai permainan. Ekspektasinya terlalu tinggi maunya timnya selalu menang.

Belum paham bahwa dalam pertandingan pasti ada kalah dan yang menang. Tim dukungannya tidak bisa selalu menang. Lagipula, suporter berasal dari kata support artinya mendukung. Tugas suporter ya mendukung, mendukung saat menang juga mendukung saat kalah supaya berikutnya bisa menang.

Kelalaian panitia penyelenggara, kesalahan polisi menembakkan gas airmata dll semakin memperkeruh kondisi ketika terjadi masalah di lapangan.

Indonesia perlu belajar dari Jepang, latihan menangani masalah sebelum masalah terjadi. Seharusnya pihak polisi dan penyelenggara melakukan latihan di lapangan. Karena ini menyangkut jiwa raga puluh ribuan penonton. Jangan menghadapi penonton bola seperti menghadapi pendemo di jalanan. Pikirkan tindakan penanganan yang tidak menimbulkan kepanikan.

Bila terjadi kerusuhan harus siap siaga pengelola yang menjaga pintu utama dan pintu darurat. Beri petunjuk jalan menuju pintu utama juga pintu darurat supaya bila ada kerusuhan penonton bisa menyelamatkan diri.

Panitia yang berjaga di pintu masuk juga harus tegas menyeleksi barang yang bisa dibawa masuk ke stadion. Harus punya aturan yang jelas dan taat pada peraturan itu.

PSSI punya tugas berat membuat sepakbola menjadi tontonan berkelas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.