Kolom Muhammad Nurdin: JIHAD SEBENARNYA ADALAH MENGENTASKAN KEMISKINAN*

Reuni 212 telah lewat. Menyisakan beragam kesan di masyarakat. Mulai dari euforia atas meriahnya aksi tersebut, karena telah diprediksi oleh pihak penyelenggara bahwa aksi itu diikuti oleh 8 juta umat Islam. Sampai kepada meme-meme kocak yang terkesan nyentil penyelenggaraan aksi tersebut.

Kalau dikalkulasi secara kasar, reuni paling epik sedunia ini menelan biaya hingga ratusan miliar.

Uang sebanyak itu tak menyisakan apa-apa. Tak membuat orang-orang yang hadir makin dekat dengan Tuhan. Apalagi lebih dekat dengan upaya untuk memberantas musuh utama bangsa kita, ya kemiskinan.




Saat puluhan ribu, ratusan ribu, jutaan orang, atau berapa pun itu hadir di Monas untuk suatu perubahan, saya sangat terharu mendengar orang yang paling dibicarakan dalam reuni itu ada di Bogor untuk membagi-bagikan listrik gratis sebanyak 100 ribu rumah.

Jihad kita yang sebenarnya adalah mengentaskan kemiskinan. Dan itulah yang tengah dilakukan oleh orang yang paling dibicarakan dan direndahkan dalam reuni akbar tersebut. Tak ada yang dihasilkan dalam reuni tersebut selain yel-yel ganti presiden, pilih si anu, tumbangkan si fulan. Lalu diafirmasi dengan “takbir…”

Jangan pernah menutup mata atas keberhasilan pembangunan pemerintah untuk rakyat. Daratan Utara Pulau Jawa telah terhubung semua. Membuat perjalanan terasa lebih cepat, aman dan nyaman.

Pulau-pulau telah terhubung dengan tol laut yang mampu menekan biaya transportasi, sehingga harga bahan-bahan pokok tak jauh berbeda dengan di Jawa.

Daerah-daerah tertinggal seperti Papua telah dibuka akses jalan yang dulu hanya berupa hutan belantara dan jalan tanah yang becek. Hal ini membuat BBM satu harga dan harga semen dipastikan menukik tajam.

Semua kemajuan ini telah dikonfirmasi banyak pihak. Ekonomi kita menggeliat. Lapangan kerja terus dibuka. Jalan menuju pengentasan kemiskinan dibuka perlahan tapi pasti.




Dan kini kita sedang berhadapan dengan sebuah gerakan “menipu rakyat” demi kekuasaan. Mengatakan seratus ribu hanya dapat bawang dan cabai, tempe setipis kartu atm, nasi ayam di Jakarta lebih mahal dari Singapur, hidup kini lebih sulit, dan masih banyak lagi.

Tak cukup dengan itu, dipakailah sebuah gerakan keagamaan untuk memobilisasi rakyat berkumpul di satu tempat menyuarakan keresahan mereka bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Digaungkanlah spirit ganti presiden, dan pilih si anu.

Siapa yang memperjuangkan siapa? Lalu siapa pemenangnya?

Jangan sampai suara kita hanya dihargai dengan sebungkus nasi padang dengan karet dua, tandanya pakai rendang. Lalu lima tahun kita menderita layaknya warga Jakarta yang makin hari makin dongkol dengan ulah Walikota Surabaya dan Jawa Barat atas terobosan-terobosannya.

Saya khawatirnya kita tidak sedang mengetahui siapa sebenarnya musuh kita. Menjadikan presiden sebagai musuh tapi kita tidak lebih dari katak dalam tempurung yang tak berbuat apa-apa untuk negeri ini.

Tol Bocimi sudah diresmikan. Perjalanan ke Sukabumi hanya beberapa menit. Dan kita lebih banyak menutup mata dengan upaya nyata untuk mengentaskan kemiskinan ini.

Dan di tahun 2019 nanti akan dibangun sebuah bandara di Sukabumi. Sebuah mimpi yang baru bisa diwujudkan sekarang ini untuk warga Sukabumi.

Dan masih banyak orang yang menutup mata dengan semua ini. Mereka lebih suka berurusan dengan eceng gondok yang akan dibudidayakan di atas Kali Sentiong.

Saat Surabaya sudah seperti kota-koto kece di Jepang dan Korea sana, Jakarta akan kembali ke jaman saat saya masih suka mancing di empang Bang Mamat dulu waktu SD. Saat lempar kail ke empang, ternyata kail tersangkut tanaman rawa yang suka hidup berkoloni. Saat ditarik, segerombol tanaman eceng gondok ikut terbawa. Kuputuskan saja senarnya. Dengan gigi yang dulu setajam lidahnya Bahar bin Smith.

* Tulisan ini telah dimuat di Islam Ramah (Lihat di SINI)






Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.