Kolom Muhammad Nurdin: TIDAK ADA YANG MUSTAHIL

“Untuk teman-teman yang lain, terus berjuang, tidak ada yang tidak mungkin,” ungkap seorang atlit Indonesia yang baru saja menerima medali emas.

 

Rasa haru masih menguasainya. Bagaimana tidak, ia menjadi sebab “Indonesia Raya” menggema untuk yang kesekian kali. Kita mesti bersyukur. Asian Games menyulut semangat nasionalisme kita. Membakarnya, sampai-sampai kita mencuri-curi waktu untuk menonton pertandingan. Live atau streaming, atau mantengin tivi berjam-jam di rumah.

Asian Games menyatukan kita lagi. Melupakan sengitnya Pilpres 2019. Menenggelamkan perkara-perkara tidak penting, semisal stuntman.

Cobalah. Tengok sedikit warkop Bang Jali yang biasa ramai bahas politik. Kini, tiap malam orang-orang khusyuk nonton Asian Games. Mendukung para atlet yang tak kalah serunya dengan penonton di venue.

Entah. Saya sendiri sangat masygul mengikuti Asian Games tahun ini. Saya selalu punya alasan untuk berlama-lama menonton. Semua dimulai sejak opening ceremony.

Sebelum Asian Games digelar, saya agak pesimis, sebab persiapan di Ibukota terlihat lamban. Bahkan, Menteri PUPR harus blusukan di Sudirman untuk membantu percepatan persiapan. Apalagi ada dagelan “jaring” yang menutup Kali Sentiong. Belum lagi, bendera negara-negara Asia yang diikat pada sepotong bambu, yang dibelah pula.

Jangankan saya, bahkan Roy Suryo sudah pesimis dengan Asian Games. Ia malah mengkritik target Presiden, 16 emas dan 8 besar. Sangat beralasan jika Roy Suryo menyarankan pemerintah untuk realistis. Pasalnya, saat dirinya menjadi Menpora, pada Asian Games 2014 di Korea, Indonesia hanya berhasil mendapatkan 4 medali emas.

Target Presiden yang sampai 16 emas sangat tidak realistis, sekaligus ancaman bagi Roy. Empat kali lipat dari perolehan sebelumnya, ini seperti tamparan emak-emak kepada suaminya yang ketahuan selingkuh.

Mungkin bagi Roy, “Bisa apa Indonesia?” pikirnya dengan nada nihil asa. Sayangnya. Prediksi Roy meleset. Sampai tulisan ini dibuat. Indonesia sudah meraih 22 emas. Dan berada di peringkat 4 klasemen sementara. Perolehan ini sudah melampaui target Presiden. Perolehan ini pastinya membuat Roy Suryo susah tidur. Ia sudah memprediksi, dirinya bakal habis dibully.

Tapi begitulah politisi (oposisi) kita. Apapun target pemerintah akan dianggap tidak realistis, tidak rasional, tidak masuk akal.

“Jangan cuma kerja, kerja, kerja…” kritik mereka kepada pemerintah. “Perkara membangun, Fir’aun juga tak kalah hebat dalam membangun,” permisalan tidak kreatif yang biasa dipakai.

Padahal, jika para atlet tidak bekerja/ latihan (secara intensif) takkan jauh beda dengan Asian Games 2014. Terus bekerja adalah gambaran bahwa kita sedang berlari menjemput perubahan.

Banyak cakap, banyak teori, banyak berfasih-fasih kata takkan jauh hasilnya dari mahakarya untaian bambu di atas sebidang tanah, di Bunderan HI. Setidaknya. Para atlet kita telah membuktikan bahwa tidak akan rugi bermimpi besar dan berharap setinggi mungkin. Sebab, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.

2014 lalu kita menjadi saksi. Seorang pendatang baru, tukang kayu dari Solo, kecil, kerempeng. Diterpa isu PKI, China, non-Muslim. Badai hoaks berusaha meruntuhkan elektabilitasnya. Fitnah keji atas ibunya. Tapi justru, ia bertahan dan menang.

Kini, ia telah membuktikan bahwa ia bisa membangun Indonesia. Ia perlu lima tahun lagi untuk mempercepat pembangunan.

Dan.
Tidak ada yang mustahil untuk itu.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.