Kolom Muhammad Riza: JIHAD KEINDONESIAAN

Masyarakat Indonesia yang memiliki banyak suku, ras, agama dan aliran kepercayaan, akan selalu memilik daya tarik tersendiri. Multikulturalisme dan gaya beragama inklusif adalah ciri khas beragama bangsa Indonesia. Di samping budaya beragama yang baik di atas, masyarakat Indonesia kini dihinggapi fenomena beragama yang dapat mencoreng dan menghilangkan eksistensi dan jati diri Islam.

Dengan payung kitab suci mereka melaksanakan puritanisme, ekstremisme dan radikalisme yang bias konflik dan perpecahan antar sesama warga negara.

Jihad keindonesiaan menjadi solusi dari dua kutub antara beragama kalangan yang mendengungkan pemurnian agama (Islam puritan) dan beragama kalangan radikalisme (Islam garis keras). Gerakan puritan mempunyai ciri khas yaitu: Identik dengan sikap intoleran; merasa paling benar dalam beragama dan orang lain yang tidak se-ideologi akan diberikan stempel sesat, kafir atau murtad; pengungkungan terhadap eksistensi perempuan; antirasionalisme dan memahami teks kitab suci dengan sangat harafiah (tekstual).

Bukti sejarah mencatat, khalifah ke empat sayidina Ali bin Abi Thalib yang wafat pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H di tangan Abdurrahman bin Muljam, dari kaum Khawarij, seorang yang taat dalam beragama. Dia selalu melakukan shalat tahajud, jidatnya hitam, sering berpuasa dan seorang penghafal Al-Qur’an.

Alasannya, dia membunuh sayidina Ali dikarenakan Ali telah menyepakati dan menerima hasil rapat pada saat itu. Ali diberikan stempel kafir oleh Muljam, dan seorang kafir darahnya halal dibunuh.

Fakta di atas merupakan gerakan puritan paling ekstrim dalam catatan sejarah umat Islam. Eksklusifitas beragama menjadi gaya tersendiri bagi mereka. Gerakan puritanisme menjadi hantu tersendiri buat masyarakat Indonesia, hal ini tidak lain bisa menimbulkan orang-orang yang lebih kejam. Pemahaman yang dangkal akan mampu melahirkan terorisme, puritanisme dan terorisme bisa dikatakan berawal dari pemahaman Islam tekstual yang salah kaprah.

Keintiman dan persahabatan antar sesama Muslim seperti terasa nihil, bagaimana mungkin kita bisa menuju keintiman beragama dengan non-Muslim. Setidaknya, faktor penyebabnya bersumber dari pemahaman agama yang tidak komprehensif, pengimplementasian dari pemahaman tekstual yang lepas dari budaya dan kondisi masyarakatnya, serta kepentingan politik yang terdapat dalam kelompok puritan tersebut.

Puritanisme dan terorisme harus diobati dengan jihad keindonesia. Ciri Islam ala Indonesia yaitu “pribumi” dan pluralistik, baik dalam bentuk ekspresi dan hubungan intim dengan agama lainnya. Tidak ada bedanya antara Islam dan Indonesia. Sejarah Indonesia adalah juga sejarah Islam dan kebudayaan Indonesia juga kebudayaan Islam, seperti manhaj dakwah Walisongo.

Sikap-sikap beragama ala Aswaja yang moderat seperti tawasuth, i’tidal, tasamuh, tawazun, amar ma’ruf nahi munkar dan istiqamah harus terus dibumikan demi menangkis bahayanya radikalisme agama.

Dengan mengandalkan Islam keindonesiaan, maka: ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antar muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan berbangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan) – ketiganya jangan dipertentangkan, karena ketiganya memiliki kesinambungan antar dimensi dan buah dari Islam Rahmatan lil Alamin – dapat terealisasi di Indonesia.

Catatan redaksi: Di bawah ini ada 3 pilihan model hubungan antara Indonesia dan Islam. Silahkan buat pilihan anda di kolom komentar: A, B, atau C

Gambar mungkin berisi: 2 orang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.