Kolom Nisa Alwis: KOPI DAN RINDU

Mengajakmu lagi sebentar ke tahun 80an, kita akan mudah mendapati pepohonan kopi di kebun-kebun belakang rumah desa kami. Tumbuh dengan ukuran batang dan ketinggian sedang. Bersama pohon-pohon lainnya yang menjulang. Ada dukuh, melinjo, durian, gandaria, dan pinang. Ada juga kebun kelapa di tanah lapang.

Di kedua sisi areanya terpasang gawang. Di sanalah para pemuda desa bermain bola. Gadis-gadis remaja dan anak-anak yang sudah wangi mandi sore berkumpul menontonnya. Di seberang area kebun kelapa terlihat rerumpunan pandan yang biasa diolah menjadi tikar. Semakin jauh nampak ilalang dan semak belukar.

Dahan-dahan kopi menarik naluri anak SD sepertiku untuk gelayutan menahan badan atau memanjat cepat. Begitulah potensi kinestetik anak desa berkembang, katanya. Di kampungku tak ada sekolah TK yang biasanya punya sarana bermain kolom-kolom besi, juga perosotan dan ayunan warna warni. Kami bermain perosotan kala hujan di jalan setapak tanjakan. Dan di belakang rumahku ada ayunan dari tambang dan dudukan kayu, digantung di dahan jambu.

Sejujurnya di pohon kopi aku pernah trauma. Saat asik nangkring di dahannya yang miring, tanganku menyentuh sesuatu yang empuk-empuk nyoi di balik ranting. Sepertinya itu ulat bulu gendut. Emaaak! Aku tak ingin tahu seperti apa mahkluk itu. Brukkk! Kakiku mendarat cepat. Kugosok berkali-kali jemariku di tanah kering, sebelum berlari pontang panting. Aku heran sendiri, mengapa sebegitu geli dengan ulat bulu, padahal ulat juga mungkin sangat geli pada tanganku.




Di kampung ini kami biasa mengolah kopi sendiri. Seperti siang itu, aku berdua teh Nining, tetangga sebelah rumah dan juga kerabat dekatku yang tinggal berdua dengan sang ibu. Kami menumbuk sebakul bulir kopi yang baru dipetik tadi. Tidak semua berwarna merah saga, ada pula Arabica hijau muda dan tua tercampur di sana. Kulit-kulit kopi segar mulai terkelupas. Tercium aroma khas. Setelah rata tergerus, nanti dijemur dan dibersihkan dari semua cangkang halus. Tinggallah biji-bijinya yang kering, siap disimpan, disangrai dan digiling.

Sambil berceloteh kami menumbuk biji-biji kopi dalam lesung batu dengan dua alu kayu. Ini bagiku sama asiknya dengan bermain halma. Hentakan-hentakan alu menjadi irama. Selain itu, ada lagi kesenangan bermain di rumah teh Nining ini. Yaitu mengamati sang ibu mengisi waktu menganyam tikar pandan. Aku jadi tahu bagaimana sejak awal daun pandan dipotong dari rungkunnya, dibuang durinya, dibuat helaian-helaian panjang, direbus di dandang, dijemur dan dikeringkan.

Lalu, satu-satu dipaut lurus dan halus, sampai siap dijalin menjadi anyaman. Satu tikar terdiri dari dua lapis berbeda atas bawah. Disatukan tepinya dengan jahitan jarum khusus, besar membawa sehelai pandan berputar. Di tiap sudutnya biasanya dipasang secuil kain warna warni untuk variasi. Tara… berbagai ukuran tikar cantik pun jadi. Dipakai sendiri, atau untuk dijual dan dibeli.

Begitu asiknya kami menumbuk kopi. Kuabaikan hentakan alu yang beberapa kali mengenai daun telingaku. Sampai kemudian aku tersadar sebelah antingku tak ada. No! Ini bukan anting biasa. Hampir semua teman-temanku dibelikan anting juga oleh orang tuanya. Tapi orangtua mereka ada. Sedang bagiku anting ini pengganti kehadiran mereka. Jika sampai gepeng bahkan lumat tergerus di lesung batu ini, sedih hatiku pasti. Ia sebenarnya buluh perindu. Tiap kali bercermin, ada kerlip tiga permata merah tua menyusun lucu di ujung telingaku. Aku seperti melihat kilatan mata ayah ibuku. Itu saja.

“Tenang. Kita cari sampai dapat,” teh Nining membantu menyibak-nyibak tumbukan biji kopi yang sudah benyek sana-sini. Aku tak jadi menangis, karena aku sudah kelas lima. Jauh lebih besar dibanding empat tahun lalu saat terakhir memeluk mamaku di Bandara Halim Perdana Kusuma. Mama dan adikku ikut Apak terbang ke negeri lain. Menemani Apak yang mendapat anugerah luar biasa, kesempatan kuliah di sana.

Aku tahu kenapa waktu itu mama tak menoleh lagi padahal aku masih melambaikan tangan. Kudengar di sana mama juga sering tak enak makan. Hidangan-hidangan lezat tak membuatnya selera kala teringat di kampung sang buah hati makan apa. Sudahlah mama. Kami baik-baik saja. Tapi sebetulnya aku menyesalkan mengapa aku dan kakakku tak dibawa serta. Mungkin karena ongkosnya tak ada. Berdamailah. Apak pasti sudah menimbang semuanya.

Dan kami baik-baik saja. Tinggal di sini bersama Ende Dones, dan kakak sepupu yang sudah menikah. Para paman, bibi dan kerabat yang tinggal di desa lain kerap datang memberi perhatian, atau sesekali mengajak kami bepergian. Bersama Ende Dones dan ibu Fatmah untuk pertama kalinya aku diajak naik kereta api menuju rumah seorang keluarga di Parung Panjang dari Stasiun Kadu Kacang, yang kini tinggal legenda. Wow, aku melihat dari jendela saat kereta bergerak pohon-pohon jadi berjalan semua. Hahaa…

Kami baik-baik saja Apak-Mama sayang. Sekolahku lancar. Pulang sekolah aku berkelana ke kebun mencari cecenet, parasi, atau salak. Ke sawah mencari ikan kecil, keong, tutut, dan belut. Mandi-mandi basah di sungai, menyelinap pergi bila ada teman oleh ibu-bapaknya dimarahi. Aku hampir tidak pernah dimarahi. Rambut ikalku pirang alami, tersinar matahari. Temanku kadang membawa serta kambing-kambingnya ke lapangan bola. Jika ada kapal udara, kami berlarian menatap angkasa “kapal menta duit sarebu lima ratus, kapal menta duit sarebu lima ratus…” kami tak mengharapkan jawaban sungguhan. Meski kadang membayangkan ada lambaian tangan. Nyatanya yang di atas selalu hanya menderu, sekedar melintas.

Usai magrib, teman-temanku biasa membawa obor mengaji ke rumah guru. Aku tidak. Nenekku sendiri di rumah yang mengajari. Usai mengaji, bila sedang terang bulan, biasanya kami keluar bermain di halaman. Mencari jamur glow in the dark, yang kami sebut “supa caang”, ia biasa tumbuh di tunggul pohon yang ditebang. Aku sering memandang bulan, membayangkan cerita Nini Anteh jadi betulan. Seorang nenek baik yang menanam pohon merambat hingga tinggi menembus awan. Dan saat bulan terang, dia masih terlihat duduk di sana dengan kucingnya hingga sekarang.




Apak-mamah, aku sering dilanda rindu pada kalian. Aku menghayal andai masuk dalam koper besar, dan entah bagaimana caranya aku bisa sampai di dekatmu dalam keadaan sadar. Tidak pingsan atau mati. Lamunanku biasanya buyar sebatas itu. Lalu aku berdoa dipanjangkan usia, setidaknya sampai bertemu lagi dengan Apak dan mama. Dan aku tidak sendirian. Saat sedang bersama teteh pekerja dapur, kakakku berujar “teteh kelihatan mirip mama, mirip mama” oh dear! Rindu.

Tapi tahukah Apak dan Mama, aku ingin mengadu. Kak Udong tuh nakal, masih SD ketahuan merokok. Kak Udong juga mainnya terlalu jauh, sampai bulan lalu dua kakinya melepuh. Dia bermain di penggilingan padi, melangkah naik ke gunung sekam. Tidak tahu ada bara yang menyala di dalam. Ka Udong terjebak di sana, dan kakinya terbakar luka-luka. Berhari-hari terbaring di ruang tengah dan aku hanya bisa mengipasinya saja. Tahukah lagi, Apak Mamah… banyak yang terjadi, selama kalian pergi.

Sebelah anting itu masih dicari. Anting yang membawaku teringat malam-malam beberapa bulan silam. Ketika pintu depan diketuk seseorang mengucap salam. Kami sudah di ambang tidur.

“Wa’alaikumsalam. Saha?” Ende balik bertanya, sambil beranjak ke pintu.

“Ehm, Amin, Bu!” suara dari luar terdengar khas.

“Hah! Amin?! Nu bener?! Amin mana?” Ende tak sembarang percaya. Aku dan Kak Udong bengong, cepat keluar kamar. Betul saja. Itu Apak!! Melepas tas besar yang dibawanya dan merangkul kami semua. Ia pulang berlibur beberapa waktu, tanpa disertai adik dan mamaku.

“Sadayana daramang? Embay, Udong?” ia menatap lekat aku dan kakakku. Kurasa inilah kejutan favorit seumur hidupku. Di zaman pra-telepon, inilah konsekuensi manis: a surprise.




Lampu cempor tambahan dinyalakan, agar tidak samar memandang yang baru datang. Seisi rumah, termasuk paman dan bibiku kami duduk melingkar malam itu. Apak membukakan album kecil, berisi foto-foto keluarga. Mama dan Enung, juga adik baru kami yang lahir di sana, Nurbaitillah namanya. Sedang piknik di taman, terlihat di belakangnya mobil sedan. Mobil Apak. Aku jarang sekali naik mobil, apalagi sedan. Tak terbayang rasanya seperti apa.

Ada pula foto kegiatan Apak sebagai aktifis ketua Perhimpunan Pelajar. Bapakku gagah dan banyak kawannya. Pikirku. Semua mengagumkan. Ada pose bersama seorang jendral ternama masa itu, Jendral M. Yusuf. Ada foto suasana belajar. Apak pakai mantel sedang menulis, raut mukanya lurus serius. Pada dinding di sisinya tertempel bacaan “kapan lagi mau belajar”, “jangan berisik lagi pusing”, tak mudah tentunya jadi pelajar di sana ya Pak. Harus sungguh-sungguh.

Pagi harinya, Apak membuka oleh-oleh lain di box kecil. Sepasang anting lucu, khusus untukku. “Ini mama yang pilih. Bagus?” aku mengangguk. Ia membantuku memasangnya di kedua telinga. “Terima kasih” senangku tertahan. Saking lama tidak bertemu, pada Bapakku aku sungkan. Apak tahu aku gembira, menggelengkan kepala ke kiri dan kanan. Ada sensasi yang aku rasakan. Ya, anting baru ini istimewa. Tanda rindu dan cinta. Apakah ia sekarang tertumbuk dan remuk? “pasti aya!” teh Nining meyakinkanku lagi, sambil terus mencari menyibak lagi tumbukan biji-biji kopi.

Mengetahui kepulangan Apak, para tetangga dan kerabat mulai berdatangan. Bapak-bapak berkopiah dan bersarung, sedangkan kaum ibu berkebaya dan selendang panjang tersampir di kepala. Semuanya tetangga, biasa berkumpul ikut jamaah majlis taklim yang Apak bina. Selama ditinggalkan, pengajian diteruskan oleh ustadz Enday, sepupu sekaligus sobat seperjuangannya. Semua senang mengobrol dan menikmati hidangan khas oleh-oleh Arabia.

Sebagai anak kecil, kerjaku hanya menikmati suasana ramai, keluar masuk rumah saja. Ada oleh-oleh kacang, kurma dan kismis yang aku bagi untuk teman-temanku. Mereka menunggu di gardu. Selintas aku mendengar kuliahnya Bapak tinggal dua semester lagi. Tahun depan, sekeluarga sudah akan pulang ke sini. Aku sungguh tak sabar membayangkan itu. Setelah hampir empat tahun berpisah, senangnya jika kami bersama lagi. Aku kangen adikku juga, dulu dia gembul. Sekarang katanya dia sekolah TK dan sering dipuji oleh guru-guru Arabnya. Teman karibnya orang Arab juga, bernama Abdullah. Kalau pulang main Mama akan langsung mengguyurnya mandi, supaya bau wangi. Bukan bau kambing atau matahari. Itu cerita dari Apak.

Hanya dua pekan Apak liburan. Dikunjungi dan mengunjungi sanak famili, bersilaturahmi. Sebelum kembali, Apak memintaku dan kakakku mengaji, juga bernyanyi. Apak merekamnya. Kata Apak suaraku merdu. Apak tidak tahu aku pernah ikut lomba menyanyi tingkat kecamatan diutus sekolah, walaupun kalah. “Ini nanti Apak simpan, kalau kangen kasetnya bisa diputar” aku tersipu. Lagu-lagu yang kunyanyikan lumayan banyak, yaitu lagu-lagu wajib nasional… Hee.

Kulihat sesuatu berkilau, yes! “Ketemu, teh!” aku kegirangan. Si anting nongol dan sudah bersemu kehitaman. Kuamati bentuknya, sempurna. “Alhamdulillah, dicuci pasti bersih lagi” teh Nining ikut lega. “Ayo lanjut?” ia menggodaku menyodorkan tongkat alu. “Nanti saja” aku memilih pergi, menghentikan lamunan, menggenggam anting kesayangan. Ya, beberapa purnama lagi aku akan bertemu semua keluargaku. Rindu.






Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.