Kolom Nisa Alwis: PERKEDEL

Saat itu, Raja Salman belum sepuh. Berumur sekitar 40. Mungkin lebih atau bisa jadi kurang. Di saat yang sama aku berusia 4 tahun. Lebih atau bisa juga kurang. Itu dalam hitungan Masehi. Saya baru saja memulai hari-hari masa kecilku di Saudi.

Perlu saya beri fakta, ketika itu Raja Salman belum jadi raja. Sang Raja adalah Fahad, putra dari Raja Abdul Aziz dan seterusnya. Apa pekerjaan Raja? Pastinya jadi Raja. Apakah beliau suka makan perkedel sambil naik mobil sedan sewaktu TK? Aku tidak pernah tahu, dan tidak pernah bertanya. Sudah kita lupakan itu. Aku ingin ceritakan cerita bagus yang lain saja.

Ini tentang roti bakar besarnya segenggam tangan orang dewasa. Berisi perkedel jagung dan daging sapi. Rasanya tiada tara. Terselip diantara dua lapis roti. Agak gosong lebih nikmat. Aroma gandumnya keluar semriwing. Itulah bekal aku saat TK, jika ibu belum memasak di rumah. Aku sering berharap ibu tidak masak. Supaya Bapakku lebih sering mampir di toko roti itu.

Aku merupakan anak paling kecil waktu itu. Diboyong pergi oleh Bapak yang mendapat beasiswa kuliah di Madinah. Dengan perjanjian hanya Bapakku yang kuliah, sedangkan aku dan Ibu menemani saja supaya Bapak tidak kesepian dan terhibur.




Tapi, ingat yah, aku anak dan Ibuku adalah istri Bapakku itu saja. Artinya kami adalah keluarga. Kedua kakak tidak dibawa sebab mereka sudah SD dan harus sekolah dengan baik di wilayah Indonesia Bagian Barat. Di kampung, mereka pasti belum tahu perkedel jagung.

Kampung yang aku tinggalkan itu jalannya indah. Berbalut tanah hitam, kadang juga merah. Kalau hujan becek, tiada ojek. Tidak ada listrik, banyak pohon besar-besar. Kalau malam sudah pasti gelap gulita. Kecuai kalau purnama dan tidak ada awan hujan. Maukah kamu tidak tidur dan melongok dari jendela melihat indahnya bulan di kampung sana?

Kembali pada perkedel nikmat. Saya bersaksi bahwasannya pertama kali makan roti lapis bakar isi perkedel itu bukan ketika pertama menginjakkan kaki di tanah Saudi. Bukan juga saat di dalam pesawat. Bukan. Aku turun lah dahulu, lalu kami melihat-lihat, berangkat, tinggal di suatu tempat. Dan besok lusanya baru makanan itu kutemukan.

Nah ternyata tempat itu adalah suatu sudut di kota bersejarah. Zaman Bapakku kuliah dan ngontrak rumah bertingkat tiga, bercat kuning kecoklatan. Berdekatan dengan tempat tinggal mahasiswa Indonesia lainnya sekitar tujuh orang, mungkin lebih mungkin kurang.

Singkat cerita, setelah empat tahun tinggal di sana aku pulang. Dengan alasan: Pertama, Bapakku ingin aku sekolah SD di kampung saja, di kampung halaman. Alasan keduanya, kuliah Bapakku sudah selesai.




Itu artinya kami sekeluarga harus pamit pada pemilik kontrakan, pada temanku Abdullah dan Abdurrahman, juga teman-teman alumni TK Raudhotul Jannah di kota Madinah angkatan 1984.

Berpisah itu menyedihkan. Terutama salam hormat ustdzahku, bu Aira namanya, yang pernah menggantikan celana basahku.

Sesampai di Indonesia, sungguh aku rindu pada perkedel itu. Aku lelah mencarinya. Juga tidak tahu itu jenis makanan apa, apa yang harus aku perbuat. Sulit diungkap, tapi ada satu keyakinan suatu saat aku akan menemukannya. Mungkin juga dengan cara aku pergi ke tempat yang sama.

Dua puluh tahun kemudian penantianku tiba juga. Tidak sia-sia aku berharap. Akhirnya aku menemukan cinta lamaku itu di sini, di Indonesia. Itu pas aku mulai kuliah.

Sungguh penantian yang lama, seingatku pandangan pertama itu terjadi tahun 2004. Terasa meyakinkan saat aku mengunyahnya betulan. Kunyahan sampai ke hati menembus nadi.

Kamu mau tahu perkedel itu apa? Dia itu nugget. Iya nugget. Kamu suka juga? Banyak anak-anak suka. Sekarang tapi aku bukan anak-anak lagi seperti waktu aku di Madinah. Sesekali aku masih suka cicip, sekedar untuk kembali ke masa dulu. Waktu Bapakku memesankan bekal untuk anaknya sekolah.

(lahul fatihah)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.