Kolom Soibah E. Sari: BUKAN ISTRI SALEH

Saya tidak selalu menuruti semua peraturan suami. Ada beberapa hal yang sangat prinsip dalam hidup saya tidak butuh pendapat suami. Saya akan melakukannya sesuai dengan kemauan sendiri. Selagi tidak melanggar norma yang berlaku di masyarakat, maka saya merasa itu bukanlah sebuah kesalahan.

Bukan berarti saya tidak menghormati suami. Tetapi, karena saya merasa bahwa hidup saya, ya milik saya. Hidup saya, ya itu hak prerogatif saya.

Pada zaman Feodal, istri itu harus tunduk pada suami. Ibaratnya suami adalah raja. Sementara istri adalah pelayannya. Semua aturan di rumah tangga, hanya tunduk pada aturan suami, anggota keluarga tinggal manut saja.

Adalah hal biasa, pada zaman itu para istri totalitas pengabdiannya pada suami tidak terbatas. Contoh: Ada istri yang menyediakan air mandi untuk suaminya, meskipun harus kesulitan karena air mandi itu diambil dengan cara ditimba secara manual. Sumur yang dalam, dan ukuran timba yang terkadang berat.

Bisa dibayangkan perjuangan sang istri ketika melakukannya? Tetapi banyak perempuan yang meyakini bahwa yang dilakukannya itu adalah bentuk pengabdian.

Bahkan, waktu kecil dulu, saya sering melihat, ibunya teman-teman saya menyediakan lauk istimewa bagi ayah mereka, ditempatkan pada wadah tersendiri dan tidak boleh dipegang atau diambil oleh anak-anaknya.

Sementara anak-anak itu sendiri makan bareng dengan saudaranya yang lain berbagi makanan seadanya. Cukup atau tidak mereka tidak boleh menyentuh bagian ayahnya. Ketika melihat semua itu, maka dalam hati saya tidak bisa menerimanya.

Bagi saya, boleh saja melayani suami, tapi harus yang masuk akal dan semestinya. Silahkan melayani suami, tetapi bukan berarti anak-anak harus terabaikan.

Menyediakan air mandi suami dengan cara menimba air dari sumur yang dalam dan timba yang berat itu kebodohan istri, bukan bentuk pengabdian. Mengistimewakan makanan suami, itu bukan hal yang patut. Justru gizi anak-anak yang wajib diutamakan.

Saya sih paham, pada zaman itu istri melakukannya karena merasa suami adalah orang yang paling bekerja keras. Bahkan dalam Islam itu suami itu adalah imam. Wajib dihormati dan diikuti semua aturannya. Jadi demi menghargainya maka harus dilayani dengan istimewa.

Tetapi banyak yang salah dalam mengartikannya. Sehingga merasa suami itu adalah orang yang harus diutamakan. Padahal seharusnyakan istri juga sadar bahwa mereka juga punya hak untuk diperlakukan sama.

Ada sebuah pola pikir yang tertanam di benak para istri zaman dulu bahwa suami harus selalu dinomorsatukan. Suami adalah orang yang paling capek dalam bekerja.

Padahal kenyataannya pada saat itu juga istri ikut mencangkul ke sawah. Ikut mengangkut padi yang akan dibawa ke mesin padi. Ikut menebang pohon dan menebas rumput liar ketika ingin membuka lahan baru.

Bahkan banyak istri pada zaman dulu yang baru melahirkan tiga hari sudah mencuci popok dan pakaian kotor sendiri. Syukur-syukur di rumahnya ada kamar mandi. Justru saat itu orang pergi ke sungai untuk melakukan mandi dan mencuci.

Saya juga banyak menemui kisah beberapa wanita yang habis melahirkan pergi berdagang atau langsung mencangkul di sawah. Bayinya diayun di gubuk yang dibangun di tengah sawah.

Saya juga pernah melihat seorang pedagang sayur menaruh anaknya yang baru berusia seminggu di dalam keranjang bekas dagangannya. Diberi alas seadanya, dan mengikatkan payung dengan tiang kayu seadanya agar bisa menaungi anaknya. Bisa jadi sampai di rumah mereka juga mesti memasak dan mengurus rumah.

Artinya, pekerjaan wanita itu doble, sementara suami sampai di rumah duduk ngopi sambil bersantai. Itu realita!

Dulu, di daerah Batak, ada sebuah kenyataan yang terlihat miris. Para suami punya kebiasaan berkumpul di lapo untuk minum tuak. Sementara para istri pergi ke sawah atau ke kebun untuk mencari nafkah. Itu adalah pemandangan biasa dan umum ditemui di daerah tersebut. Suami adalah raja!

Masyarakat di India juga menganggap suami mereka adalah Dewa. Sehingga mencuci kakinya bagi mereka itu adalah sebuah berkah. Bahkan jika suami bersikap kejipun mereka wajib menerimanya. Melayani suami dengan tidak terbatas bagi mereka sudah mendapatkan surga.

Pola pikir feodal itu masih melekat kuat di benak mereka. Meskipun dari beberapa data yang saya baca, sudah banyak gerakan yang dibangun untuk mengedukasi wanita-wanita di India tadi.

Saya sangat menghormati RA Kartini yang sudah jadi pelopor agar wanita bisa berpikiran maju. Jasanya dalam mengedukasi para wanita dalam gerakan emansipasi sungguh inspiratif. Sehingga di zaman ini para wanita sudah banyak yang sadar akan kedudukannya. Sudah paham akan potensinya.

Sudah berani bersuara dan menunjukkan bahwa posisi laki-laki dan perempuan itu harus sejajar. Punya kesempatan dan hak yang sama.

Fyi, saya sendiri tidak termasuk kategori istri shalehah seperti persepsi orang pada umumnya. Karena saya merasa saya punya hak dan otoritas pribadi yang wajib saya beri batasan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.