Kolom Sri Nanti: MOBIL TAMBANG

9 Oktober 2000, turun dari bus ALS di terminal Kota Bangko. Kota kecil di Jambi bagian Barat. Waktu itu belum ada HP. Saya hanya ngabarin kakak lewat telepon wartel sebelum berangkat dan kakak saya memperkirakan estimasi perjalanan bus untuk menjemput saya di terminal yang jaraknya 30-an km dari rumahnya. Untungnya perjalanan bus lancar jadi estimasinya tepat.

Saat saya turun dari bus kakak saya sudah dada dada di depan warung nasi uduk di samping terminal.

“Kita naik apa habis ini?” Tanya saya sambil menurunkan ransel berat dari pundak.

“Tunggu mobil tambang. Satu jam lagi.”

“Hahh… Mobil tambang? Tambang apa?”

“Tambang emas,” jawab kakak saya sambil menjinjing tas ransel dan kardus menuju tempat teduh. Saya mengikuti sambil memikirkan mobil tambang dan membayangkan habis ini mau ke tempat macam apa sampai harus naik mobil tambang.

Menunggu satu jam sambil makan sisa cemilan dari perjalanan 3 hari 2 malam menyusuri sepanjang Jalur Pantura dan sebagian jalur lintas Sumatera. Sebagian cemilan sudah mlempem tapi tetap enak. Tiba-tiba mendekat sebuah angkot warna kuning yang lumayan kotor. Seperti habis kecipratan lumpur.

“Ayo naik!” Kakak saya mengangkat ransel dan kardus lalu masuk ke dalam angkot.

“Katanya mobil tambang! Kok angkot?”

Seisi angkot tertawa, saya nggak tahu di mana lucunya. Tapi saya ikut tertawa juga. Lalu kami melanjutkan perjalanan bersama-sama. Butuh sekitar 3 jam untuk menempuh jarak 30 km karena jalannya kurang lebih seperti di gambar.

Ternyata mobil tambang itu ya angkot. Dan sampai sekarang saya nggak faham kenapa angkot disebut mobil tambang. Lebih nggak faham lagi kenapa kondisi jalan yang saya lewati dulu tidak jauh berubah setelah 24 tahun berlalu. Coba, yang nggak berubah kulit dan rambut saya. Pasti seru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.