Kolom Telah Purba: PERSAUDARAAN SUKU KARO DENGAN ACEH DEMI NKRI (Kristen di Mata Saya)

Selama ini, jauh di lubuk hati terdalam saya melihat dan mengakui bahwa umat Kristen adalah umat yang saleh. Banyak sekali pelaku pekerja di ladang Tuhan yang jadi sahabat saya di Facebook ini dan tak pernah luput aktivitas yang mereka posting saya amati juga. Di masa kecil saya dulu, sering kali saya lihat pekerjaan yang dilakukan oleh pembawa Firman Tuhan ke kampung saya.


Demikian juga ketika dulu saya amat mengagumi pastor Katolik yang bermukim di Kabanjahe dan Lawe Desky di Aceh Tenggara sana. Apa yang sudah dilakukan oleh para pencari dan pelayan umat gereja ini pun tidak luput juga diperhatikan oleh masyarakat setempat.

Misalnya, pastor Katolik ini pastinya dibekali pengetahuan “mengobati” sehingga amat banyak orang yang tertolong di dalam penanganan penyakit masyarakat. Kita bisa bayangkan di zaman negara ini masih sulit, mereka sudah bisa menyediakan obat-obatan, sungguh suatu hal yang sangat luar biasa. Oleh karena itu, tidak salah rasanya jika gereja bisa mengambil hati umat di banyak tempat.




Lawe Desky, yang geografisnya di daerah Aceh Tenggara, lazim disebut daerah Serambi Mekah, menjadi sangat fenomenal bagi saya pribadi. Kini, dengan apa yang sudah dipertontonkan oleh Rizieq Dkk selama ini, kita sontak terusik semua.

Saya mengandaikan, jika saja Islam seperti pemahaman Rizieq yang dari dulu berkembang di Provinsi Aceh, tak akan mungkin bisa banyak gereja berdiri di sana.
Saya diceritakan oleh orangtua saya, di masa Agresi Militer Belanda (1947 – 1949) warga Suku Karo dari Karo Hilir (sekitar Medan, Deliserdang, dan Langkat) dan Dataran Tinggi Karo (Kabupaten Karo) berbondong-bondong mengungsi ke Aceh Tenggara.

Maksudnya adalah agar tentara Belanda mendapatkan Taneh Karo (bagian hilir dan pegunungan) kosong melompong. Ini dilakukan karena Suku Karo secara total menolak menjadi bagian dari Negara Sumatra Timur (NST) bentukan kaum feodal atas dukungan Belanda. Rakyat Karo membakari rumah-rumah mereka dan berangkat ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pimpinan Soekarno – Hatta yang terdekat, yaitu Aceh Tenggara.

Daerah tempat pengungsian orang Karo itu adalah di Sekitar Kampung Kuning sampai Bambel (dekat Kutacane) yang bersisian dengan kali atau sungai.

Lukisan Rumah Adat Karo karya AFFANDI

Ketika itu, mereka yang penduduk asli di sana adalah beragama Islam sedangkan para pengungsi Suku Karo ada yang beragama Kristen dan Pemena alias belum punya agama (hingga tahun 1967 baru sekitar 11,6% orang Karo beragama, baik Kristen maupun Islam). Masyarakat di sana menerima kedatangan orang-orang Karo layaknya sebagai saudara saja dan tidak pernah mempermasalahkan agama.

Pemimpin dari rombongan pengungsi dari Karo ini adalah kakek kandung saya sendiri, sehingga saya agak sedikit tahu soal ini. Peristiwanya sendiri adalah ketika Belanda hendak datang kembali ke Karo dan menancapkan kekuasaannya kembali, namun rakyat Karo tidak sudi untuk dijajah.

Kakek sayalah yang pertama kali membakar sendiri rumah pribadinya sebelum ditinggalkan pergi mengungsi. Lalu diikuti yang lainnya, Sehingga sampai hari ini tidaklah lagi bisa kita temukan rumah adat Karo di Desa Kuala (Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo). Sebuah pengorbanan yang sangat luar biasa untuk NKRI. Karena itu pula. Mohammad Hatta (Wakil Presiden RI saat itu) pernah berkata, semua orang Karo adalah pahlawan NKRI.

Tujuannya agar penjajah tidak menemukan apapun untuk dikuasai (Kau bisa kuasai wilayah kami, tapi kau tak kuasai jiwa kami yang telah bersumpah mati untuk NKRI). Kakek kandung saya walaupun Muslim, tidaklah mengharuskan anak-anaknya (bibi dan paman) untuk memeluk agama Islam.

Saya tahu, bahwa beliau adalah Islam Nusantara, sehingga diantara putra putrinya hanya satu yang memeluk Islam dan 4 lainnya non Muslim.

Sebuah perkampungan Karo dekat Kota Medan (Karo Hilir) sebelum Bumi Hangus di masa Agresi Militer Belanda (1947 – 1949).

Nah, kini setelah di era Presiden Jokowi di tengah kemunculan si berisik Rizieq, saya menemukan figur pemimpin pemersatu umat beragama di dalam organisasi massa Patriot Garuda Nusantara. Apa saja yang sudah dilakukan oleh NU, baik sebelum Kemerdekaan maupun sampai hari ini, apa yang sudah dilakukan oleh Abdul Rahman Wahid atau Gus Dur sebagai pimpinan NU waktu itu dan kemudian sifat Gus Dur itu pula yang diwarisi oleh Nuril Arifin yang lebih populer disebut Gus Nuril.

Gus Nuril tahu benar banyak ayat-ayat dan persamaannya diantara beberapa kitab agama Islam dan Kristen sehingga ketika berbicara soal agama sangat enak didengar. Kita harus mencatat, bahwasanya jika kita ingin bersaudara dan rukun, tentunya sifat “persamaan” yang kita tonjolkan dan bukan mempersoalkan sedikit perbedaan yang ada.

Ada satu hal yang membahagiakan hati saya, yakni munculnya Gus Nuril ini sebagai pemimpin di tengah kita, yang bertujuan merekatkan kembali keretakan antar umat beragama pasca Pilgub DKI Jakarta kemarin dan di tengah ancaman radikalisme serta intoleransi umat beragama. Rasanya Indonesia harusnya bersyukur punya putra bangsa seperti Gus Nuril ini.

Sudah pernah juga saya jelaskan di postingan yang lalu bahwa Kristen di mata beliau seperti apa. Sehingga semua agama harus hidup rukun dan saling mewarnai. Kita sebagai bangsa yang besar masih membutuhkan banyak pemimpin dan calon pemimpin yang kaya hati, agar keutuhan NKRI ini bisa tetap terjaga.

FOTO HEADER: Remaja Suku Karo. Sumber: LAMELA NGOSEI

VIDEO: Clip lagu MUSUH SUKA kolaborasi musik tradional dan modern Karo dibawakan oleh Antha Pryma Ginting.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.