Kolom Vian Ekaggatā: KEBHINNEKAAN DALAM PERJALANAN BATIN

Ada sekian banyak orang di dunia ini yang dalam menganut sebuah agama hanya ikut-ikutan saja, memaksakan diri tetapi sampai akhir hayatnya. Ia tidak berhasil atau tidak tahu sama sekali soal inti spiritualitas agamanya, tidak tahu menahu soal Tuhannya. Sehingga, akibat gagal dalam mengenal Tuhannya, ia malah hanya sibuk “petentang-petenteng” dengan simbol-simbol agama.

Orang seperti itu sangat banyak sekali jumlahnya dan orang seperti itu pulalah yang banyak menjadi “parasit” di negeri pluralis seperti Indonesia ini.

Padahal jauh-jauh hari, pada abad-abad yang lampau para leluhur di Nusantara ini sudah punya prinsip luhur dalam keberagamaan yang diantaranya mengatakan “agama adalah ageman”, agama adalah ibarat pakaian semata. Maka tidak elok rasanya jika kita merasa keturunan bangsa Nusantara tetapi masih suka sibuk “mengurusi” apalagi “mempermasalahkan” dan “menanding-nandingkan” ageman kita dengan ageman saudara sebangsa kita yang berlainan.

Cobalah sejenak kita buka sejarah para leluhur di Nusantara, soal kesadaran pluralisme dan toleransi tidak usahlah kita selalu menengok pada peradaban Barat. Pada abad ke-11 Masehi di Nusantara ini, tepatnya di kerajaan Kadhiri ada seorang raja yang tersohor, Prabu Airlangga. Beliau adalah seorang penganut agama Hindu mahzab Waisnawa namun beliau juga mempunyai guru kebatinan Mpu Bharadah seorang pandita dari agama Buddha mahzab Mahayana.

Jadi, bukan hal yang aneh, meski Hindu Waisnawa adalah suatu mahzab agama Hindu yang terkenal akan corak Bhakti Yoga (Devosi, pemujaan-pemujaan) seperti halnya dalam agama Kristen saat ini dan bukan seperti Hindu mahzab Syiwaisme dan agama Buddha yang terkenal dengan corak Raja Yoga (Asketisme, pertapaan).

Namun, nyatanya berkaitan dengan Prabu Airlangga sendiri. Beliau juga tercatat sangat suka melakukan laku-laku asketisme sebagaimana para Yogi. Oleh sebab itu, petilasan pertapaannya banyak ditemukan di berbagai tempat di Jawa Timur hingga Jawa Tengah. Seperti misal petilasannya di Candi Menggung, Karanganyar, Jawa Tengah.

Hal ini jelas menandakan pengaruh kuat dari guru kebatinan beliau Mpu Bharadah, sang pertapa Mahayanis. Tetapi toh di sini juga tidak ada kisah konversi ageman atau perpindahan agama dari keduanya.

Atau kita tarik sejarah kita pada abad ke-15 Masehi, pasca imperium Majapahit itu.

Di sana kita juga menemukan sepotong kisah bagaimana seorang Ki Ageng Kebo Kenongo yang menganut spiritualitas Syiwa Buddha mempunyai seorang guru kebatinan Syekh Siti Jenar yang menganut spiritualitas Tassawuf Islam. Pada waktu itu Ki Ageng Kebo Kenongo dan Syekh Siti Jenar sangat intensif sekali berdiskusi secara ilmu lahir dan secara ilmu batin perihal tuntunan kebatinan dalam Syiwa Buddha dengan tuntunan kebatinan dalam Tassawuf Islam.

Pada puncaknya beliau berdua menemukan benang merah yang sama dalam puncak kebatinan, dalam nafas tauhid ketuhanan. Oleh sebab itu hasil akhirnya mereka berdua hanya bisa “diam”, serta tidak ada konversi ageman atau perpindahan keyakinan.

Selanjutnya, coba kita tarik sejarah yang agak kekinian. Yakni pada abad ke-19 Masehi, di abad itu ada seorang pencari ilmu silat dan ilmu batin yang begitu luar biasa. Sehingga beliau sampai melanglang buana di berbagai penjuru Nusantara, mulai dari Jawa Timur, Jawa Barat, Batavia, Bengkulu, hingga sampai “putus kaji” (wisuda) dalam pelajaran ilmu lahir (Pencak Silat) di Sumatera Barat dan putus kaji ilmu batin (Tarekat) di Aceh. Beliau adalah Ki Ngabehi Surodiwiryo, sang pencetus pencak silat “Setia Hati”.

Dan yang menarik dalam sejarah pengembaraan ilmu di Sumatera Barat, beliau juga berguru ilmu batin pada I Gusti Nyoman Gempol, seseorang yang berlatar belakang kebatinan Hindu dan berasal dari Pulau Dewata, Bali. Kisahnya pada waktu itu, Ki Ngabehi Surodiwiryo muda atau yang masih memiliki nama Muhammad Masdan jatuh cinta pada seorang gadis yang merupakan putri ahli ilmu kebatinan Tassawuf di Minangkabau. Dan sang gadis itu pun rupa-rupanya juga seseorang yang menekuni ilmu Tassawuf, bahkan mempunyai ilmu Tassawuf yang tinggi.

Oleh karenanya sang gadis baru akan mau menerima sepenuh hati Muhammad Masdan manakala bisa menjawab beberapa pertanyaan kebatinan Tassawuf Islam. Muhammad Masdan pada saat itu “kelabakan” ternyata ilmu-ilmu keagamaan yang telah didapatkannya dari para guru di pondok pesantren di pulau Jawa belum cukup memadai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kebatinan tingkat tinggi itu. Oleh sebab itu, karena saking cintanya pada sang gadis itu, Muhammad Masdan pun bertekad kuat untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kebatinan tingkat tinggi itu.

Lalu, beliau ke sana kemari mencari seorang guru yang ahli dalam ilmu batin, sampai akhirnya beliau berjumpa dengan I Gusti Nyoman Gempol atau yang mempunyai gelar abhiseka “Raja Kenanga Mangga Tengah”, beliau seorang punggawa besar kerajaan Bali yang diasingkan penjajah Belanda ke Sumatera Barat karena memimpin pemberontakan-pemberontakan yang sangat merepotkan para penjajah.

Meski berbeda latar belakang keyakinan, I Gusti Nyoman Gempol menerima permintaan berguru dari Muhammad Masdan. Selama 7 hari 7 malam Muhammad Masdan “diwejang” ilmu kebatinan tingkat tinggi yang berkaitan dengan ilmu mengenal diri dan ketuhanan. Referensi pelajaran kebatinan Hindu dari I Gusti Nyoman Gempol ini ternyata secara prinsip bertemu dan tidak bertentangan dengan pelajaran Tauhid dalam kebatinan Tassawuf Islam.

Hasil akhirnya sama, hanya beda soal cara atau metode. Meskipun begitu Muhammad Masdan tetap beragama Islam dan tidak berganti ageman (baju) Hindu. Sebab Muhammad Masdan tentu menyadari jika “Tuhannya dirinya” dan “Tuhannya I Gusti Nyoman Gempol” tentunya adalah satu dan sama.

Bahkan Muhammad Masdan yang beragama Islam ini bisa tahu dan kenal dengan Tuhannya justru dari ajaran kebatinan Hindu I Gusti Nyoman Gempol, meskipun selain daripada itu juga mendapatkan pelajaran ketuhanan yang sama yang berbasis Islam dari gurunya yang lain seperti Datuk Rajo Batuah dan Teungku Cik Bedaya. Berkat ilmu kebatinan dari I Gusti Nyoman Gempol itulah akhirnya Muhammad Masdan bisa menjawab semua pertanyaan kebatinan dari gadis pujaan hatinya itu.

Kebatinan Tassawuf Islam terjawab tuntas dalam kebatinan Hindu I Gusti Nyoman Gempol. Muhammad Masdan pun akhirnya bisa bersama secara lahir dan batin dengan gadis Minang pujaan hatinya yang juga merupakan seorang salik (pejalan batin).

Itulah beberapa gambaran indah tentang hubungan kebatinan para guru-murid yang berbeda agama tetapi tanpa saling mengkonversi agama. Dan menilik dari kisah-kisah orang hebat ini, tentunya kita para generasi Nusantara bisa mengambil sebuah “kebijaksanaan sikap”, bahwa sejak dahulu di Bumi Nusantara ini bukanlah sebuah hal yang “tabu” ketika kita mempunyai seorang guru atau teman diskusi soal kebatinan/spiritual yang berbeda latar belakang agama/keyakinan dengan kita.

Justru hal itu bisa menjadi medan penziarahan spiritual yang sangat memperkaya batin dan kesadaran. Karena kembali lagi pada kebijaksanaan sikap orang Jawa tadi, bahwa pada hakikatnya agama adalah soal ageman atau pakaian. Maka semisal kita memakai pakaian yang dimana kita “buta” tentang pakaian itu (baik tentang ukuran atau kecocokan), maka sama saja hal itu akan tidak banyak bermanfaat/berguna.

Sekalipun bilamana kita ganti pakaian lantas kita juga “buta” tentang pakaian yang baru itu, ya sama saja juga akan buang energi dan percuma. Tetapi seandainya jika kita memakai pakaian dan tahu (makrifat) dengan pakaian itu atau kita ganti pakaian dan menjadi lebih tahu (lebih makrifat) tentang pakaian yang digunakan itu, maka tentu saja itu adalah baik dan sah-sah saja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.