Kolom Vian Ekaggata: MEMBACA ALAM –Kearifan dari Ranah Minang

Orang Minang itu sejak dahulu terkenal sebagai orang-orang yang cerdas dan mempunyai tingkat budaya dan intelektualitas yang tinggi. Bahkan di Indonesia ini kebanyakan diplomat-diplomat yang hebat berasal dari orang Minang.

Lalu apakah sebab dari kecerdasaan orang Minang itu?

Apakah karena terinspirasi oleh ajaran keagamaan Islam Wahabi sebagaimana yang diklaim hari-hari ini oleh generasi muda “jenggoters” dan “cadaris” yang buta sejarah bangsanya dan penuh kedangkalan dalam pengetahuan?

O sama sekali tidak! Islam ala Wahabi itu malah hanya menyumbangkan “kebodohan” di negeri manapun mereka bersemayam. Jauh sebelum kecamuk perang Paderi yang dilatari permusuhan terhadap kaum adat yang mana terinspirasi oleh semangat puritan ajaran Wahabi, Orang Minang dahulu adalah orang yang begitu berdaulat dengan jati diri kebudayaan leluhurnya sendiri.

Sistem adat kekeluargaan yang diwariskan turun temurun oleh leluhur mereka adalah sistem “matrilineal”, yang mana tentunya sangat menjujung tinggi keberadaan seorang Ibu (Perempuan).

Sistem kekeluargaan leluhur orang Minang yang seperti itu jelas bertentangan dengan sistem kekeluargaan “patrilineal-patriarki” yang ekstrim ala leluhur bangsa Arab yang mendewa laki-laki dan merendahkan perempuan serendah-rendahnya. Hingga sampai tahap menganggap perempuan sekadar alat pemuas seks dan sarana beternak anak belaka.

Maka perempuan pun dihilangkan hak-hak kemanusiaannya. Ia dilarang untuk mempunyai kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, memutuskan perkara, berpolitik, dan sebagainya.

Untuk pertanyaan di awal tadi, tentunya jawaban yang paling sahih adalah karena orang Minang itu intesif belajar kepada alam. Belajar pada gunung, sungai, benda-benda langit, pergerakan hewan, pepohonan, dan sebagainya. Untuk itu mereka pun mempunyai filosofi “Alam Takambang Jadi Guru”, alam terkembang menjadi guru.

Dari berguru kepada alam lah mereka menciptakan berbagai artefak budaya yang adiluhung seperti silek, tarian, makanan khas, senjata karambit, rumah gadang, dan bahkan hingga aspek nilai-nilai kehidupan seperti bagaimana menghormati perempuan dan bagaimana tetap “sambung batin” dengan para leluhur.

Dalam tuturan para leluhur Nusantara, alam itu adalah perguruan/ universitas yang sejati, siapa pun yang mau mengakrabi, berguru, dan berkontemplasi “sambung batin” kepada alam, maka ia pasti akan dikucuri oleh banyak pengetahuan yang kreatif dan penuh kedalaman makna.

Orang Minang dengan hasil kebudayaannya yang tinggi, sudah membuktikan hal itu sejak jauh-jauh hari.

Maka, untuk itu, meski saya orang Jawa, tinggal di Jawa, dan tidak mempunyai darah dari Minang, tetapi saya mempunyai kekaguman yang besar terhadap saudara-saudaraku dari ranah Minang beserta seperangkat kebudayaannya.

Terlebih menenggok dari khazanah tradisi silek yang mereka tularkan, saya sendiri selamanya akan tetap merasa sebagai murid dari orang Minang, dari khazanah pengetahuan yang dicetuskan orang-orang Minangkabau.

Maka jika suatu saat ada saudaraku dari ranah Minang yang bertanya, “Apa bukti kebanggaanmu terhadap Minangkabau?” Maka saya akan jawab, “Saya mewarisi ‘sepersekian kecil’ ilmu silek yang bersilsilah dari Ki Ngabehi Surodiwiryo yang berguru kepada Datuk Rajo Batuah.”

Dan jika saudaraku dari Minang itu bertanya kembali, “Apa bukti Ki Ngabehi Surodiwiryo pernah berguru silek kepada Datuk Rajo Batuah di Tanah Minang?” Maka akan kutunjukkan salam silek ala pencak silat SH, gerak putar gelanggang Solok Minangkabau, permainan bungus, permainan kucingan, langkah Fort de Kock (simpie), prinsip langkah sitaralak, jurus Padang Panjang, Padang Siranti, Padang Alai, alang lawas, simpai Minangkabau, permainan pisau karambit, dan lain-lainl.

Semuanya menunjukkan jejak-jejak keterpengaruhan yang sangat kuat dengan aliran Silek Minangkabau.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.