Kolom Vian Ekaggatā: PEKIK CINTA NUSANTARA

Untukmu wahai kawan-kawanku muda mudi milenial, yang merasa mendapatkan prestise kebanggan diri ketika menjadi maniak dan tahu banyak hal tentang budaya hiburan Korea, budaya hiburan Jepang, atau soal tetek bengek cara hidup orang Arab atau orang gaya hidup orang Eropa. Saya ingin sedikit bertanya kawan, apakah ketika engkau menyaksikan situs peninggalan sejarah, bangunan suci, dan petilasan pertapaaan para leluhur kita dirusak dengan seenaknya oleh orang-orang “keblingger” yang menyembah budaya asing, atau ketika membaca berita beberapa waktu lalu mengenai anak-anak TPA di Solo yang merusak makam-makam berlambang non agama mayoritas.

Wahai kawan-kawanku tidak adakah sepercik rasa “amuk murka” di dalam dirimu?

Atau bahkan engkau saking terlelapnya dengan candu maniak terhadap hegemoni budaya kapitalis negeri-negeri asing itu, engkau jadi bersikap “bodo amat” dan akhirnya “tumpul” tali sambung rasamu dengan para leluhur dan jati diri kebudayaan bangsamu sendiri?

Sehingga bahkan engkau menjadi acuh tak acuh atau tidak tahu menahu soal masifnya vandalisme keberagamaan yang dilakukan oleh para penyembah budaya asing yang bahkan sampai aktor-aktornya adalah adik-adik kita sendiri yang telah dihack otaknya oleh mereka.

Kalau saya yang ‘ndeso’ ini kawan, saya yang tidak banyak tahu detail soal negeri-negeri asing itu. Gumpalan darah Nusantara yang mengalir dalam diri saya, darah yang bersenyawa dengan mantra “Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” tentunya serasa benar-benar dibuat “mendidih”.

Anak-anak bangsa atau lebih tepatnya adik-adik kita yang seharusnya masih berjiwa polos dan murni itu ternyata jiwanya telah diperkosa dengan sadis oleh ajaran iblis berkedok agama. Sehingga mereka merasa melakukan perbuatan terpuji dan merasa tidak bersalah sama sekali ketika merusak petilasan-petilasan suci dan bangunan-bangunan peninggalan para leluhur atau makam-makam saudara kita yang berbeda agama. Ajaran iblis benar-benar telah menjungkirbalikan definisi norma dan kebenaran luhur dalam palung jiwa adik-adik kita.

Untuk itulah menurut saya perlunya kita sebagai anak bangsa yang waras, terutama kalangan anak muda punya tanggung jawab moral untuk mensosialisasikan kekayaan ragam budaya dan mental spiritual bangsa kita yang pluralis, inklusif, sejuk, tepo seliro, tidak merasa paling benar sendiri, serta tidak berwatak “imperialis” (adigang adigung adiguna) hingga lalu merasa paling berhak sesuka hati berbuat jahat terhadap pihak lain yang berbeda.

Kiranya kita tidak perlu harus menunggu dulu menjadi duta pemuda, duta budaya, duta seni dan semacamnya. Jika kita bangga pada bangsa kita, bangga pada sejarah peradaban kita, bangga sebagai manusia yang punya adat dan budaya, bangga sebagai manusia yang memanusiakan manusia, dan bahkan bangga sebagai manusia beradab yang mempercayai Tuhan Yang Maha Welas Asih.

Untuk itu seharusnya kita punya kesadaran moral untuk total “menyatakan perang” melawan hegemoni ajaran asing yang anti keragaman, anti pluralisme, bahkan anti jati diri kebudayaan bangsa kita sendiri.

Anak muda yang nasional progresif itu semestinya tidak hanya berpikir dan berbicara tentang problem masa kini dan rancangan masa depan bangsanya saja, tetapi juga berpikir, menelisik, dan mempelajari masa lalu bangsanya. Maka mungkin di Ibukota atau di kota-kota metropolitan sana memang banyak anak-anak muda yang progresif dan yang benar-benar ‘terdidik’ dalam kampus-kampus elit.

Dokan (Kecamatan Merek, Kabupaten Karo) di tahun 1989. Foto: Juara R. Ginting

Namun sepengetahuan saya, sayangnya, kebanyakan dari mereka enggan atau lupa menenggok kejayaan dan peradaban cerdas masa lalu bangsanya sendiri. Mereka memang muda-mudi yang punya potensi unggul berupa kecerdasan di atas rata-rata, inovatif, dan progresif. Namun, sayangnya, kiblat intelektual dan kiblat politik mereka hanya saklek mengekor dari Barat.

Itulah sebabnya tidak heran jika mereka lebih kenal dan lebih fasih ketika menyebut para pemikir politik Barat seperti Antonio Gramsci atau Abraham Lincoln, namun sangat asing dengan Mpu Tantular yang merupakan sosok intelektual besar dan konseptor politik pluralis bangsa kita sendiri.

Maka sudah saatnya kita sebagai pemuda, sebagai generasi penerus bangsa melek dengan keagungan masa lalu bangsa kita sendiri. Dan menjadikan itu sebagai batu loncatan atau kompas intelektual untuk berperan memperbaiki masa kini dan merencanakan hal-hal yang lebih baik lagi di masa mendatang.

Untuk itu mau tidak mau, kita sebagai muda-mudi Trah Nusantara ini harus punya nyali “cancut taliwondo” melawan bajingan-bajingan tengik pengusung halusinasi khilafah atau “negara dominasi satu agama” yang terus bergerilya massif memberangus keragaman luhur kebudayaan bangsa kita.

Kita harus siap dan mampu bertarung baik itu secara ide maupun dalam pengertian yang paling primitif yakni baku hantam secara langsung. DNA bangsa kita adalah DNA kombinasi dari DNA “bangsa pemikir dan DNA “bangsa petarung”, yang mana kombinasi dua jenis DNA itulah yang dahulu membuat para leluhur kita punya harga diri yang sangat tinggi dan disegani oleh bangsa asing.

Seperti yang dikisahkan, jauh sebelum Sang Mahapatih Gajahmada menjalankan politik sumpah palapa, pada abad ke-13 Sri Maharaja Kertanegara dari kerajaan Singhasari sudah mengkonsep mengenai “Cakrawala Mandala Dwipantara”, politik penyatuan kerajaan-kerajaan di kepulauan Nusantara.

Juga bahkan dalam beberapa catatan sejarah diceritakan pada tahun 1289 datang utusan kaisar Kubilai Khan yang bernama Meng Khi, meminta agar Sri Maharaja Kertanagara dan Singhasari tunduk kepada kekaisaran Mongolia serta wajib menyerahkan upeti setiap tahunnya. Sri Maharaja Kertanagara yang merupakan keturunan dari Ken Arok ini seketika langsung naik pitam mendengar permintaan utusan imperialis Mongolia ini, bahkan beliau langsung memotong salah satu telinga Meng Khi.

Berkaca dari itulah kita bisa mengambil spirit keteladanan dan keberanian dari Sri Maharaja Kertanegara itu dalam melawan militansi sengit para pengusung khilafah yang anti kebudayaan Nusantara. Tanamkan kuat-kuat dalam palung jiwa kita, bahwasanya kita adalah bangsa yang pemberani dan punya harga diri yang teramat tinggi.

Kita bukan bangsa pengekor mentah-mentah ideologi asing, apalagi kacung rendahan yang tidak kreatif yang hanya membebek buta pada tatanan peradaban lain yang dicekokkan pada kita.

Secara sederhana dan pada tahap awal kita bisa melawan mereka dengan dimulai dari secara pribadi melek literasi terhadap keagungan sejarah peradaban bangsa kita, kemewahan beragam warisan seni dan budaya kita, lalu selanjutnyu kita bisa mensosialisasikan itu lewat sosial media dengan cara kita masing-masing.

Percayalah, jika generasi muda-mudi bangsa kita benar-benar melek terhadap sejarah keagungan bangsa kita, kemewahan beragam seni budaya bangsa kita, mereka tak akan pernah kepincut dongeng sampah ala khilafah, juga dongengan omong kosong soal surga yang tiketnya adalah mengebom banyak nyawa itu.

Memang sejauh ini saya amati vaksin yang terkuat dalam menghabisi ide sampah khilafah adalah spirit kebanggaan terhadap estetika budaya dan keluhuran mental spiritual bangsa kita sendiri.

Di sisi lain, kita mungkin memang bisa mendapatkan antibodi “kontra ideologi” dari racun khilafah itu lewat jalur menjadi aktivis pada ormas yang kontra terhadap ajaran teroris pengusung khilafah, atau menjadi intelektual freethinker yang tekun dan getol pada diskursus-diskursus filsafat Barat.

Namun sejauh pengamatan saya, vaksin tiada bandingan dan paling sederhana dalam mengahalau sihir hitam khilafah itu adalah kebanggaan melekat terhadap keunikan dan jati diri bangsa kita sendiri, terlepas apapun agama dan pandangan politik kita.

Dan menyimak diksi tulisanku ini kawan, mungkin engkau jadi bertanya-tanya, mengapa disitu tercium bahasa amarah yang menyambar-nyambar?

Ya, itulah bentuk kecamuk muak dan kegerahan batiniahku kawan, melihat tatanan indah di bumi surga Nusantara ini selalu diricuhi oleh pembual-pembual tengik yang hanya bisa mendongeng soal surga dan neraka semata lalu memonopoli kebenaran dengan semangat yang intoleran dan penuh kebencian.

Bahkan semangat intoleran-kebencian yang disebarkan mereka itu sudah massif meracuni generasi bangsa kita mulai pendidikan paling dini dan paling dasar, seperti PAUD, TK, SD, dan juga seperti lembaga TPA penghasut vandalisme di Solo yang terciduk beberapa waktu lalu itu.

Oleh karenanya perlu juga kita secara massif menghalau ideologi idiot barbarian mereka itu dengan jalan mensosialisasikan secara massif keluhuran dan keragaman kebudayaan kita yang kaya estetika, serta bercita rasa seni dan spiritual yang tinggi.

Wis wancine sing waras ora ngalah, tapi wani maju ning palagan!”

Salam Nusantara Jaya!

———-

Ngawi, 23.06.2021 (repost tulisan lama)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.