Kolom Aspipin Sinulingga: KRITIK KENDI HINGGA PAWANG MANDALIKA

Seruput dulu kopi, di cangkir kaleng legendaris Tanah Bumi Pertiwi. Sebab, otak juga perlu asupan energi yang kaffein beri dalam secangkir kopi. Mungkin juga ini sebab Christiano Ronaldo (CR7) pada momen Piala Eropa tempo waktu silam membuat geger dengan menyingkirkan minuman bersoda sebagai official partner Piala Eropa dan menggantikannya dengan sebotol air mineral sambil berkata: “Minum ini, baik untuk anda.”

Orang kita kurang minum air putih dan kopi, akibat terlalu gandrung minum-minuman bersoda demi gaya. Hasilnya jadi bodoh.

Lucu, melihat laman media masa beberapa minggu ini yang tiba-tiba memunculkan sejumlah besar personal dengan nilai keimanan yang diobral seperti sempak Monza di Pasar Melati (Medan); salah satu pusat barang bekas komersil yang berada dekat rumah awak.

“Ini kaak, Sempaak Monzanya; 6 buah seharga Rp. 10.000!!!!”

Kritik pedas dengan polesan keimanan dan syariat mereka lontarkan kepada ritual “Kendi Tanah Air Nusantara”nya Jokowi saat meresmikan permulaan pembukaan Ibukota Baru NKRI. Sesat, Syirik, dan melanggar Syariat.

Bahkan seorang Ketua MUI dari Provinsi Sumatera Barat dengan pongah mencibir Gubernur mereka yang ikut membawa tanah dan air dari Bumi Sumbar untuk disatukan dalam Kendi Nusantara Jokowi bersama tanah dan air dari 34 Provinsi lainnya. Bagi awak aksinya itu sekedar pansos agar ratting nya sedikit naik di ruang publik.

MIRIS…

Suara miring terkait Kendi Nusantara Jokowi juga keluar dari seorang yang mengaku “ALUMNI 212” bernama Novel Bakumin; sosok yang bikin dahi awak mengerenyit berkerut karena berpikir keras tentang level ke “tolol” an mereka yang mengaku beragama namun kesulitan mencerna dan memahami bahwa sosok Novel adalah seorang pembual dan pelawak yang punya side job mengaku ulama.

Yah, 11 – 12 dengan Pelawak yang ngaku Presiden Ukraina lah ; Vladimir Zeylensky. Bedanya Zeylensky dipilih jadi Presiden Ukraina, Bakumin memilih jadi Free Bacot Pasukan Nasi bungkus

Sampai disini sindiran senior sekaligus mentor awak Troy Sirait jadi sangat benar: “Orang beragama kok ngaku mampu berlogika?”

Lha iya, agama kan Dogma, musuh utamanya Nalar dan Logika

Kendi Nusantara adalah kesesatan, adalah nalar yang jika diterima maka hal itu menunjukan bahwa “Tuhan” benar-benar sudah mati, seperti puisi Nietzsche berbunyi.

Para ulama MUI yang terganggu manuver nakal Menteri Yaqut nya Jokowi tentu saja wajar jika olah berbagai wacana untuk menggambarkan bahwa Jokowi dan jajarannya adalah “Thogut” (sesat), “lari dari jalur Syariah”.

Awak heran, apakah kita semua lupa, bahwa ini negara namanya NKRI bukan NSRI?

Jadi, “Praktik Sesat Tak Sesuai Syariah MUI” wajar saja dipraktikan di negara ini. Jika MUI tidak terima, dalam konstitusi sepertinya ada kok ruang untuk MUI menyatakan diri bukan bagian dari NKRI dan mendeklarasikan berdirinya NSRI.

Monggo atuh, Pak Abbas.

Lalu masuk ke fenomena “pawang hujan” di Mandalika. Berserak komentar miring dari nada cibiran para bocah yang tak bangga punya budaya hingga cercaan manusia-manusia yang mabuk iman dari konsep dogma agama.

Bukankah justru atraksi “pawang hujan” menjadi nilai lebih dari pagelaran Motor GP Mandalika? Buktinya, saat ritual itu dijalankan, jurnalis luar dan dalam negeri antusias meliput. Sayangnya mata dan nalar “tolol” netizen Indonesia tidak mampu melihat bahwa publik global mendapat sajian “ektraordinary” yang jauh berbeda dari sirkuit-sirkuit MotoGP lainnya.

Orang kita, karena terlalu mendewakan eksakta, kelupaan bahwa Ilmu Humaniora dan Budaya merupakan Ruang Intelektual paling mahal sedunia, dilihat dari basis Individu.

Pawang Mandalika adalah “aset” bagi Indonesia dalam pagelaran kelas global seperti Pagelaran Balapan sekelas MotoGP. Bahkan secara pribadi awak ingin diadakan ritual klenik yang lebih terkonsep dan terrencana secara sistematis tiap pagelaran diadakan. Itu akan menjadi nilai jual dan daya tarik tersendiri bagi mata global untuk datang ke Indonesia.

Toh Pagelaran MotoGP adalah hiburan, kita butuh sesuatu yang “beda” sehingga punya kelas tersendiri dari seluruh yang sama.

Dus, awak malas memperdebatkan “sesat-tidak sesat” dalam perspektif agama, karena pasti berbenturan. Toh kebenaran diakui semua agama sebagai sesuatu yang mutlak hanya milik Tuhan.

Maka suara-suara sumbang manusia soal kesesatan atas sebuah ritus yang dipercaya agama lain sebagai sesuatu yang sakral, itu sama seperti “kentut” seseorang di tengah kerumunan. Berguna bagi duburnya, tidak bagi lainnya….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.