Kolom M.U. Ginting: Lagi Tentang Pasal Penghinaan Presiden

M.U. Ginting 2presiden“Kalau saya lihat di situ justru itu untuk memproteksi orang-orang yang kritis, masyarakat yang kritis, masyarakat yang ingin melakukan pengawasan untuk tidak dibawa ke pasal-pasal karet. Jangan dibalik-balik kamu,” merdeka.com [Selasa 4/8].

Jokowi bermaksud baik, tetapi bisa malah menjerat rakyat yang kritis. Supaya rakyat yang kritis bisa diproteksi, paling sederhana ialah dengan menghapuskan pasal penghinaan itu, seperti sekarang ini pasal-pasal itu sudah ditiadakan oleh MK 2006.

Mengkritisi presiden sudah berjalan dengan baik, tanpa gangguan rasa takut dijerat hukum dengan hilangnya pasal penghinaan presiden. Kita masih ingat dulu ketika SBY dibakar patung kertasnya, demonstran dijebak dengan ‘hukum presiden’ itu. Kemudian dihapus oleh MK, tak ada soal. Jonru Ginting bebas berikan kritik menurut kemampuannya. SBY juga masih ingat bagaimana Presiden Bush ‘dikritik’ di USA. Di sana, berlaku ‘freedom of speech’. Bakar patung kertas Bush tak soal.

Tetapi, dari segi lain, menarik juga memang usul Jokowi, bikin UU untuk melindungi orang-orang kritis supaya aparat jangan pakai pasal ‘karet’ dalam UU, seperti pengaduan Sarpin ke Bareskrim sehingga KY ‘dikriminalkan’ oleh Bareskrim sehingga petinggi KY jadi tersangka pula. Ini pasal-pasal karet itu digunakan oleh polisi dan Sarpin. Lantas bagaimana cara mengatasi ini semua?

presiden 2Kalau ini yang dimaksud oleh Jokowi, betul juga. Tetapi Jokowi bukan ahli hukum sehingga bisa dibebankan semua kepadanya, diskusi dan debat harus diteruskan sehingga tercapai keputusan ilmiah dari semua kontradiksi itu.

Dari segi tingkat perubahan dan perkembangan dunia sekarang, menghidupkan lagi pasal-pasal penghinaan presiden memang sudah tak masuk akal. Jutaan rakyat sudah bisa kasih pendapat, kalau ada ‘penghinaan’ akan ada jutaan juga yang menjelaskan kalau itu bukan penghinaan tetapi perlu.

Diskusi dan dialog jalan, kebenaran akan muncul dari semua ‘pertarungan’ jutaan rakyat itu. Tidak ada pejabat atau presiden yang perlu takut suara publik itu selama dia berkeingingan menjalankan tugasnya demi rakyat, artinya bukan untuk tujuan-tujuan pribadi seperti korupsi dsb. Jaman Hitler atau Soeharto atau Polpot memang perlu UU melindungi mereka itu. Tetapi Jokowi bukan Soeharto, bukan jamannya lagi.

Kalau Jokowi bermaksud menghindari ‘pasal karet’, bukanlah soal ‘pasal presiden’, mestinya ‘pasal pejabat’ seperti Sarpin dan Bareskrim atau KY.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.