Juara R. Ginting: “Pemprovsu Diminta Kembalikan Tanah Ulayat Warga Desa Bandarbaru”

imanuel 36
Material bangunan yang ditelantarkan.

IMANUEL SITEPU. SIBOLANGIT. Banyak persoalan tanah selama ini susah kita rembukkan karena masih banyak orang  yang lebih mempercayai sejarah yang dibuat oleh penguasa dan orang-orang berkuasa sedangkan sejarah yang sebenarnya dianggapnya hanya romantisme sukuisme semata.


“Padahal, lahan perkemahan Pramuka di Desa Bandarbaru sejak dulu sudah dikuasai masyarakat di sana. Artinya, pihak pemerintah hanya memiliki status pinjam pakai. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Pemprovsu sebaiknya  mengembalikan tanah Ulayat warga Desa Bandarbaru,” kata Juara R. Ginting [Kamis 30/5] ketika diminta tanggapanya terkait sengketa tanah di lokasi Perkemahan Bumi Pramuka di Desa Bandarbaru.

Dijelaskan Ginting, berdasarkan laporan-laporan pemerintah kolonial, lahan bumi pramuka yang saat ini diklaim Pemprovsu sempat menjadi persoalan besar di masa kolonial bukan saja melibatkan desa-desa sekitar Bandarbaru.  Tapi juga antara Sibayak Raja Berempat dari Karo Gugung (saat ini Kabupaten Karo)  dengan Resident Van Oostkoest van Sumatra pada masa penjajahan.  Kala itu juga, pernah diadakan pertemuan di Sibolangit antara pemerintah kolonial dengan keempat sibayak yang masing-masing disertai oleh 1.200 orang pengikut sehingga total utusan dari Tanah Karo  adalah 4.800 orang. Pertemuan itu terkait protes masyarakat setempat terhadap pembukaan kebun tembakau dari perusahaan perkebunan Belanda Betimoes Estate.

Sibayak Raja Berempat membantah kalau kawasan Sibolangit sekitarnya  adalah di bawah kekuasaan Sultan Deli sebagaimana diklaim oleh Sultan Deli. Karena pemerintah kolonial tidak memperhatikan sanggahan Raja Berempat, Perang Sunggal tetap berkecamuk bukan hanya sebagai perlawanan Datuk Sunggal terhadap pemerintah kolonial atas pembalakan hutan keramat mereka, tapi perlawanan seluruh Karo yang juga melibatkan semua warga Dataran Tinggi Karo.

“Bila Pemprovsu juga tidak memperhitungkan sejarah hak ulayat warga setempat terkait Bumi Perkemahan Pramuka Sibolangit, warga Desa Bandar Baru sepertinya tetap akan menjadi korban pembangunan, seperti dari jaman kolonial hingga sekarang,” cetus Juara Ginting yang juga peneliti sejarah Karo ini.

Lebih jauh dikatakanya, sesuai dengan ketentuan, Tanah Ulayat, adalah hak mendasar bagi warga adat setempat, pengkaburan sejarah disinyalir adalah sebuah politik orang yang berkepentingan untuk menguasai Tanah Ulayat. Seperti halnya Tanah-tanah Ulayat Karo lainnya  banyak diklaim oleh banyak pihak. Bila kita perhatikan secara seksama sejarah Karo banyak yang dibelokkan. Apa yang melatar-belakanginya, tuturnya lagi.

Ironisnya lagi, katanya, banyak persoalan selama ini susah kita rembukkan, seperti kasus tanah Bumi Pramuka Bandarbaru. Akibatnya, tak bisa kita pungkiri, Bisa saja perusahaan besar akan berdiri di Bumi Perkemahan Pramuka atau mungkin saja sebuah taman rekreasi atau perumahan atau perkebunan. Tapi, siapa yang akan mendapat keuntungan dari proses jual beli lahan itu? Rakyat pemilik hak ulayat kah atau siapa?

“Mereka yang memiliki kepentingan akan tetap  mencari celah agar dapat menguasai tanah tersebut. Tanah di situ merupakan lokasi strategis, karena di lokasi tersebut juga terdapat jalan tembus ke Kecamatan  Pancurbatu dan objek wisata Air Terjun Dua Warna,” tuturnya mengakhiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.