Kolom Eko Kuntadhi: MENGULITI ANIES

Program unggulan Anies Baswedan yang disemburkan saat kampanye mulai dikuliti satu-satu. Sejak awal Anies bicara program-programnya emang isinya mirip bungkus chiki, tampilan doang yang besar. Isinya kebanyakan angin. Saat itu saya sudah yakin programnya bakal gak jalan. Wong isinya angin. Cuma ngomong sekebon.

Program rumah DP 0% misalnya.

Dari target 232 ribu unit rumah yang akan dibangun Anies 2017-2022, yang baru terealisasi hanya 1000 unit. Gak sampai 1%. Padahal sekarang sudah 2021. Bahkan dari 1000 unit itu, yang dihuni paling hanya 200-an.

Lihat saja apartemen Pondok Kelapa, yang kini mirip rumah hantu, kosong melompong. Kegagalan program ini ditambah lagi dengan kasus korupsi. KPK sudah menjadikan direktur Saraja Jaya sebagai tersangka. Duit Rp 270 miliar untuk pengadaan tanah gak jelas juntrungannya. Pemiliknya belum sepakat, duitnya sudah dibayarkan ke calo.

Sarana Jaya sebagai BUMD milik Pemda DKI memang bertugas menyediakan tanah untuk proyek rumah DP 0%.Yang baru kebongkar memang untuk kasus pembelian tanah di Pondok Ranggon, Cipayung, Jaktim. Padahal ada 9 bidang tanah lagi yang diperuntukan buat program bungkus Chiki itu.

Lain lagi sama program penanganan banjir. Sebetulnya program ini sudah ada rencana besarnya. Pemerintah Pusat membangun bendungan di bagian hulu untuk menahan air masuk Jakarta. Sementara Pemda DKI diminta mengurus aliran sungainya. Dua bendungan di Bogor sedang dalam proses penyeselasaian akhir sekarang. Lokasinya di Sukamahi dan Ciawi. Gimana pengurusan soal sungai?

Inilah masalahnya. Waktu jaman Ahok, sungai-sungai itu ditangani dengan normalisasi. Pinggiran kali dibeton, dibuatkan jalur inspeksi di kiri kanannya. Dari 33 KM aliran kali di Jakarta, sudah 16 KM yang dikerjakan. Waktu itu masyarakat yang tinggal di pinggiran kali, direlokasi ke rumah susun sewa murah.

Sewanya ada yang hanya Rp180 ribu sebulan. Lengkap dengan furniture.

Lalu Anies datang. Menolak normalisasi. Ia mau melakukan naturalisasi. Idenya tidak membeton pinggiran kali, tapi dibiarkan natural. Masalahnya rencana ini membutuhkan pinggiran kali yang melandai. Butuh lahan sangat luas di kiri kanan kali. Sedangkan kali-kali Jakarta pinggirannya sudah padat penduduk.

Jika mau melakukannya, Anies harus membebaskan tanah lebih luas. Warga yang dipindahkan lebih banyak. Tapi gimana cara mindahinya, wong kalau mau menghuni rumah DP 0% mereka kudu bergaji Rp 7 juta. Dalam Pergub DKI No. 31/2-19 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumberdaya Air dengan Konsep Naturalisasi.

Uniknya, ada klausul bahwa revitalisasi itu dilakukan dengan syarat lahannya tersedia. Kalau tidak ada lahan? Ya udah, nggak usah kerja. Pergub itu didramatisir oleh Dinas Sumber Daya Air dengan ketentuan teknis bahwa turap beton gak bisa lagi digunakan.

Turap harus batu bronjongan yang landai selebar 12 meter. Lantas, ada jalur hijau penahan erosi, jalan inspeksi. Kalau harus memenuhi kaidah ini, sempadan dan badan Sungai Ciliwung lebarnya paling kurang 75 meter.Jelas tak ada tanah nganggur selebar itu di DKI.

Jadi, Pergub itu seperti pembenaran bagi Anies untuk tidak melakukan apapun di Kali Ciliwung, Kali Krukut, Kali Pesanggrahan dll.Resikonya, kalau hujan deras Jakarta tetap banjir. Wong gak ada aksi sama sekali. Jualin Yusuf, Kadin SDA Pemda DKI yang sudah pasang badan buat program bungkus Chiki itu, dicopot.

Pas ketika Jakarta dilanda banjir Januari kemarin. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono saja sampai puyeng menghadapi rencana kerja Anies yang gak jelas. Ia mengaku tidak mengerti konsep naturalisasi yang dimaui Anies. Basuki mengaku sudah berkali-kali minta penjelasan teknis soal naturalisasi. Hasilnya bodong.

Cuma sesumbar di atas kertas. Belum lagi soal sodetan Ciliwung yang sebetulnya tinggal beberapa ratus meter lagi. Guna sodetan itu untuk membagi arus air ke Banjir Kanal Timur. Jadi gak numpuk di Ciliwung. Pembangunan sodetan itu tugas Pemerintah Pusat. Tapi pembebasan lahannya tugas Pemda DKI.

Nah, sampai sekarang gak kelar-kelar juga. Salah satu alasannya gak ada budget. Padahal hanya Rp 160 miliar. Sialnya, Pemda DKI bisa tuh mengalokasikan budget buat tanda jadi Formula E yang entah kapan terlaksana. Duit yang sudah keluar Rp 560 miliar.

Mikir gak sih, masa buang-buang duit buat kegiatan yang gak ada manfaatnya bisa dilakukan. Tapi membebaskan lahan sodetan Ciliwung ngakunya gak punya duit? Kalau cuma Rp 160 miliar, deviden yang didapat Pemda dari saham perusahaan bir selama dua tahun rasanya bisa deh, buat nutupin biayanya.

Masalahnya ada kemauan gak?

Mungkin sadar program bungkus Chikinya gak bisa jalan. Wagub DKI Ariza kemarin menyatakan normalisasi akan dilakukan tahun ini. Nah, balik lagi kan. Normalisasi. Karena memang langkah itu yang paling memungkinkan buat Jakarta.

Untuk melakukan normalisasi, terpaksa Gubernur harus merevisi Pergub naturalisasi yang penuh hayalan itu. Sebetulnya masih ada Oke-OC yang dulu juga jadi program andalan ketika kampanye. Entah gimana nasibnya sekarang. Sejalan dengan mundurnya Sandi jadi Wagub.

Itulah resikonya kalau memilih Gubernur yang programnya mirip bungkus Chiki. Keliatan gede. Isinya cuma angin doang.

“Omongan Anies kayak tante Mirna tetangga kita ya, mas. Semok, putih, mulus. Tapi gak bisa dipegang,” ujar Abu Kumkum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.