MENUJU TANAH KARO YANG MENDUNIA

Oleh: R. Rafael Tarigan Tambak

Hampir dua tahun lalu, tepatnya, tanggal 5 Juli 2018, sekitar pukul 17.00 sore, aku dan istri turun dari bus Almasar. Bus yang membawa kami dari Bandara Kualanamu menuju Kabanjahe. Angkutan yang mengharuskan kami berdesakan akibat barang bawaan penumpang tak tertampung seluruhnya di bagasi mobil.

Jadilah kami berebut tempat dengan puluhan koper dan buntelan-buntelan kardus milik penumpang lain.

Perjalanan menuju Kabanjahe ini memang agak terlambat, akibat armada angkutan pertama yang kami tumpangi tiba tiba mogok di tengah jalan dan memaksa kami menunggu armada pengganti.

Keterlambatan itu membuatku sedikit gelisah. Pasalnya, sehari sebelumnya, aku telah membooking sebuah penginapan murah meriah di sekitar Kuta Peceren (Berastagi) lewat sebuah aplikasi travel. Dan jam booking yang aku janjikan pada receptionis sudah melewati batas waktu.

Aku khawatir, jangan-jangan kamar pesanan kami sudah dialihkan ke pemesan lain, pikirku kalut. Dihubungi via telepon pun percuma, karena dua HP kami mati total sejak dari Bandara.

Memang, aku dan istri sengaja menginap di Peceren, karena keesokan harinya, 6 Juli 2018, istri, ada acara reuni sekolah di Rudang Hotel, yang letaknya tak jauh dari penginapan. Kami sedang melakukan perjalanan backpacker, bukan bulan madu, jadi cari penginapan pun yang murah meriah.

Nah, begitu tiba di Peceren, aku pun lekas berlari ke losmen penginapan, memastikan pesanan kamar kami belum dicaplok orang. Penginapan itu jaraknya sekitar 100 meter dari jalan raya.

Biar cepat, istri sengaja aku suruh menunggui barang bawaan kami di depan kedai Wajit Ngadimin yang terletak di pinggir jalan, tak jauh dari persimpangan jalan menuju losmen.

Waktu check-in yang aku janjikan sebenarnya sudah lewat 10 menit, maka aku pun bergegas menemui recepsionis, seorang laki laki tua (sekitar 70 tahunan). Syukurlah, kami masih berjodoh dengan kamar pesanan.

Selidik punya selidik, ternyata laki-laki tua ini, bukan cuma seorang recepsionis, tetapi dia merangkap cleaning servis, sekaligus pemilik Losmen. Ya, pemilik Losmen! Dan lebih mengagetkan lagi, ternyata dia seorang laki-laki berdarah 100% Jepang.

Oh, pantesan nama penginapannya Losmen Tokyo! Tadinya aku pikir nama Losmen Tokyo itu cuma buat gagah-gagahan semata agar terkesan keren, nyatanya, pemiliknya memang seorang Jepang! Dan istrinya seorang perempuan lokal pemangku beru Sembiring, semarga dengan istriku.

“Aku merga Surbakti,” kata sang resepsionis merangkap pemilik menyambutku dengan Bahasa Indonesia yang bersalju-salju dan berbunga sakura. Artinya … logat Jepang-nya masih sangat kentara.

Karena tergesa-gesa, aku tak sempat bertanya panjang lebar bagaimana pria Jepang ini bisa nyasar ke Tanah Karo dan menemukan bru Sembiring di sini. (Next time, aku coba tanyakan). Setelah selesai transaksi dan mendapatkan kunci kamar, aku pun kembali bergegas menjemput istri ke depan Kedai wajit Ngadimin.

Kedai Wajit Ngadimin ternyata milik seorang Haji yang berasa dari daerah Jawa. Itu kutahu dari seorang penduduk yang tinggal di sana, Lae kita dari Toba. Semula aku pikir nama Ngadimin itu berasal dari Bahasa Karo “Ngadi Min” yang berarti “Berhentilah”. Ternyata aku keliru. Itu nama pemiliknya.

Di seberang kedai wajit, ada penjual mie Aceh yang dikelola oleh orang Aceh dan terhalang tiga bangunan, ada rumah makan Masakan Padang.

Sejenak aku berpikir. Kuta Peceren yang tidak begitu luas, ternyata telah dihuni oleh beberapa suku bangsa Indonesia, bahkan dunia.

Ah, Taneh Karo-ku kini ternyata telah berkembang menjadi sebuah miniatur bangsa, bahkan dunia.

“Meganjang kel beritana
Sebelang belang dunia
Mehamat kel kap jelmana kerina
Sada pe la lit si jegirna
Oh Taneh Karo Simalem
Inganta cio cilinggem …”
(Djaga Depari)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.