NAMORIAM: Dari Petani Pangan ke Petani Komoditas dan Petani Pengontrak

Oleh: Jeremia Ginting (Medan)

Pendahuluan

Penulis adalah etnomusikolog, pemusik dan aktivis pembela masyarakat lemah
Penulis adalah etnomusikolog, pemusik dan aktivis pembela masyarakat lemah

Namoriam adalah salah satu desa dari 25 desa yang ada di Kecamatan Pancurbatu (Kabupaten Deliserdang). Berjarak kira-kira 5 km dari kota kecamatan ke arah daerah wisata Berastagi. Desa Namoriam terletak pada ketinggian 60 m di atas permukaan laut, dimana kontur tanahnya berupa dataran dan landai. Dengan jumlah penduduk kurang lebih 1300 jiwa.


Penduduk Desa Namoriam sebagian besar menggantungkan hidupnya dari pertanian. Tanaman yang paling diminati adalah tanaman belimbing dimana hampir semua warga yang berprofesi sebagai petani mempunyai tanaman belimbing di tanahnya.

Di samping itu, sebagian warga telah menjadi petani pengontrak lahan dan sebagian menjadi buruh di perkebunan yang ada di desa tersebut. Hal ini dikarenakan tidak ada lagi tanah sendiri yang bisa dikelola untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Awalnya masyarakat Desa Namoriam berprofesi sebagai petani pangan, namun seiring dengan perkembangannya dan berbagai persoalan yang muncul mengharuskan mereka untuk kemudian beralih profesi menjad petani komoditas dan sebagian penggarap dan juga menjadi buruh tani.

Petani Pangan

Awal kedatangan masyarakat ke Desa Namoriam adalah sebagai pekerja perkebunan pada perkebunan tembakau di masa kolonial. Namun setelah revolusi Agustus 1945 kehidupan merekapun berubah. Semua warga kemudian mengelola lahan-lahan kosong untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Sejak saat itu, masyarakat Desa Namoriam menggantungkan hidupnya dari menanam padi di sawah dan tanam-tanaman hortikultura. Mereka mengelola lahan pertanian mereka untuk hanya sekedar memenuhi kebutuhan subsisten mereka.

Pada perkembangan selanjutnya, pertanian di Desa Namoriam semakin maju berkat bagusnya sistem irigasi sebagai sumber pengairan bagi sawah-sawah mereka. Sehingga, pada sekitar awal tahun 80-an Desa Namoriam pernah menjadi lumbung beras di Kecamatan Pancurbatu. Ini berkat keberhasilan mereka dalam mengelola dan meningkatkan produksi sawah mereka. Walau tidak lama, namun cukup untuk sekedar mengingatkan bahwa Desa Namoriam pernah mengalami masa kejayaan pada pertanian pangan yang akhir-akhir ini tidak bisa ditemukan.

Masa keemasan tersebut tidak berlangsung lama karena sekitar tahun 80 an juga terjadi gempa bumi yang mengakibatkan tanggul sebagai sumber pengairan utama sawah di Namoriam jebol. Kerusakan tanggul mengakibatkan sawah-sawah yang memang menggantungkan pengairannya dari tanggul mengering dan sulit untuk dikelola. Sejak itu juga, sistem pengairan di Desa Namoriam hanya bergantung kepada turunnya hujan dari langit. Sawah-sawah mereka berubah menjadi sawah tadah hujan yang seringkali mengalami masa kekeringan yang lebih lama dibanding mendapat air hujan.

Akibat perubahan kondisi ini petani Namoriam tidak lagi mampu untuk meningkatkan hasil produksinya bahkan untuk sekedar mencapai hasil normal seperti biasa juga tidak mampu. Bahkan banyak sawah mereka yang kemudian menjadi lahan tidur karena tidak dikelola. Tidak sampai di situ saja, keadaan semakin diperparah oleh mahalnya sarana produksi yang harus ditanggung oleh petani seperti bibit, obat-obatan dan pupuk. Sementara itu, harga yang diharapkan petani mampu untuk mengembalikan biaya produksi yang begitu mahal tidak tercapai, malah harga beras tidak sebanding dengan kenaikan harga pupuk yang jauh melambung tinggi.

Satu per satu petani kemudian beralih ke tanaman perkebunan yang jauh lebih ringan untuk memeliharanya. Para petani kemudian menanam buah-buahan dan tanam-tanaman yang bisa tumbuh di lahan kering seperti ubi, jagung dan buah-buahan seperti jambu klutuk, jeruk, rambutan, duku dan lain-lain. Pada saat yang sama diperkenalkan tanaman belimbing yang cukup potensial untuk ditanam di daerah Namoriam. Di samping pengelolaannya yang lebih ringan, tanaman belimbing juga lebih mudah dipelihara dan lebih tahan terhadap penyakit. Tanaman belimbing juga bisa menghasilkan buah terus-menerus di samping panen besar yang tentu saja bisa menopang pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Menjadi Petani Komoditas

Melihat beberapa keunggulan dari tanaman belimbing dibanding tanaman-tanaman lain membuat masyarakat kemudian semakin tertarik untuk menanamnya. Tidak memakan waktu begitu lama, tanaman belimbing sudah menjadi tanaman yang menghiasi setiap kebun/ladang masyarakat.

Hampir semua orang mengkonversi lahannya menjadi lahan belimbing. Mengubah profesi mereka dari petani pangan menjadi petani belimbing. Untuk saat ini, hanya sebagian kecil petani yang masih mempertahankan sawah mereka. Itupun karena masih mempunyai sumber mata air sebagai pengairan utama.

Pertanian belimbing awalnya cukup memberi angin segar bagi masyarakat Desa Namoriam karena sedikit banyak bisa meringankan pekerjaan mereka. Betapa tidak, perawataan belimbing dewasa tidak terlalu membutuhkan waktu yang intensif. Contoh untuk pembersihan lahan karena rumput liar tidak terlalu cepat berkembang di bawah pohon belimbing yang terlindung dari sinar matahari. Yang paling dibutuhkan adalah penyemprotan untuk mencegah tanaman dan buah terserang hama dan jamur. Sementara, sambil menunggu panen tiba, masyarakat bisa mengerjakan pekerjaan lain untuk menutupi kebutuhan lain. Artinya ,mereka bisa mencari pekerjaan sampingan tanpa harus mengganggu pekerjaan pokok yaitu merawat tanaman belimbing.

Namun, apakah tanaman belimbing ini memberikan kesejahteraan nyata kepada mereka? Ini menjadi pertanyaan yang perlu dijawab dengan penuh hati-hati. Mengapa tidak, faktor alam menjadi salah satu hal yang membuat kita berhati-hati untuk menjawab. Masyarakat Namoriam yang memang masih menggunakan cara-cara tradisional dalam mengelola pertaniannya juga bergantung pada alam yang menentukan petaniannya. Memang pada proses pengelolalaannya, masyarakat menggunakan pupuk dan obat-obatan untuk menjaga agar tanaman belimbing tetap tumbuh subur, namun semakin hari harga pupuk dan obat-obatan juga semakin mahal. Sehingga tidak terjangkau petani.

Penampilan Teater Rakyat (Tera) SIRULO di Kerja Tahun  Desa Tanjung Barus (Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo) [29/10/11] (Foto: Muslim Ramli)
Penampilan Teater Rakyat (Tera) SIRULO di Kerja Tahun Desa Tanjung Barus (Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo) [29/10/11] (Foto: Muslim Ramli)

Keterbatasan pengetahuan mereka pada pertanian membuat mereka juga kewalahan dalam menghadapi persoalan ketika tanaman mereka diserang hama atau penyakit lain. Para petani hanya tahu rutinitas mereka sehari-hari tanpa berupaya untuk mengembangkan pengetahuan mereka. Mereka memupuk tanaman mereka dan mengobati dengan pestisida sebagaimana biasa mereka lakukan. Tapi, ketika penyakit baru muncul, mereka tidak tahu harus berbuat apa sampai mereka tahu ada orang yang berhasil dalam mengatasi persoalan yang sama. Sehingga, seringkali petani semakin terjepit oleh berbagai keadaan yang tidak menguntungkan.

Namun, bukan itu saja yang membuat petani paling terjepit. Hal yang paling mengerikan dan memang menjadi persoalan petani secara umum di pedesaan adalah mereka tidak bisa menentukan harga produksi. Petani hanya bisa menghitung berapa besar biaya yang mereka keluarkan untuk mengelola lahan, tapi tidak bisa menentukan bagaimana mereka menutupi biaya produksi dengan harga yang setidaknya setara dengan besarnya biaya produksi. Malah yang menentukan harga tersebut adalah pasar di samping tengkulak-tengkulak kecil yang juga sangat mencekik leher petani. Sehingga, cukup masuk akal ketika petani semakin hari semakin terbelakang baik dari segi ekonomi, budaya maupun politik karena keterbelakangan ekonomi akan berdampak pada hilangnya akses terhadap pengembangan budaya dan politik.

Di tengah terombang-ambingnya kehidupan petani Namoriam akan harapan hidup yang semakin layak, kemudian muncul perusahaan-perusahaan yang menawarkan berbagai kehidupan layak dengan syarat menyerahkan tanahnya untuk dikuasai. Dalihnya adalah perbaikan hidup dengan perbaikan fasilitas lengkap sebagai bujuk rayu yang paling halus sampai kepada teror yang menakut-nakuti petani. Hal yang umum terjadi dalam lapangan agraria untuk menggencarkan perampasan tanah masyarakat.

Menjadi Buruh Tani dan Petani Pengontrak

Gencarnya rayuan yang dilancarkan para pengusaha dan kaki tangannya membuat petani tidak berpikir panjang untuk menyerahkan tanahnya. Mereka tidak berpikir bahwa suatu saat tanah tersebut akan sangat mereka butuhkan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

jere 3Mereka hanya memperhitungkan uang yang akan mereka peroleh dari hasil penjualan tanahnya akan dipakai untuk apa. Mereka tidak berpikir mereka hanya punya ketrampilan mengelola tanah secara tradisional, selebihnya mereka tidak punya. Mereka tidak punya keahlian apa-apa untuk berkembang di luar aktifitas keseharian mereka sebagai petani. Apalagi mengelola uang yang sampai sejauh ini belum pernah mereka pegang sebanyak itu.

Hal ini jugalah yang dimanfaatkan pengusaha untuk mempermudah usahanya memperoleh tanah petani. Pengusaha memanfaatkan keterbelakangan petani untuk menggencarkan ekspansinya atas tanah. Sebagian dari petani memang memanfaatkan uangnya dengan baik yaitu dengan membeli tanah yang lebih mudah dijangkau dan yang lebih subur. Tapi sebagian yang lain memanfaatkan uang mereka untuk usaha yang bukan keahliannya, sehingga kemudian merekapun bangkrut. Baru setelah itu, mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah. Sementara nasi sudah menjadi bubur, mereka tidak lagi bisa membalikkan keadaan. Merekapun jatuh ke dalam kemiskinan yang membuat mereka semakin hari semakin terbelakang.

Pada saat mereka kehilangan harapan, tidak ada pilihan lain untuk bertahan hidup, mau tidak mau harus rela menyewa tanah dari orang lain untuk mereka kelola dalam memenuhi kebutuhan hidup. Mereka rela dengan sistem bagi hasil yang nota bene tidak seimbang yang tentu saja lebih menguntungkan pemilik tanah. Sebagian dari mereka juga ada yang harus mengikuti keinginan pengusaha untuk menjadi buruh di perkebunan yang baru mereka bangun. Perkebunan yang tanahnya berasal dari petani itu sendiri. Tanah yang telah berpindah tangan kepada orang yang punya modal besar. Pada saat yang sama petani harus menjadi budak di tanahnya sendiri.

Kesimpulan

Konversi lahan yang terjadi di Desa Namoriam tidak terlepas dari kurangnya perhatian pemerintah terhadap persoalan yang dihadapi petani. Persoalan yang sebenarnya sudah lumrah dan sudah umum, namun tidak adanya keinginan untuk memecahkan, menjadi persoalan yang cukup pelik dan berkepanjangan kemudian.

Akibatnya senantiasa mengorbankan petani. Ini juga yang dihadapi sebagian besar petani di seluruh Indonesia seperti mahalnya sarana produksi pertanian seperti pupuk, benih, dan obat-obatan di tengah semakin rendahnya penghasilan masyarakat mengakibatkan semakin terjebaknya petani ke dalam jurang kemiskinan.

Ini juga menjadi satu cara yang diterapkan pemerintah untuk memasifkan perampasan tanah petani untuk keuntungan yang lebih besar. Kondisi petani yang memang sudah terjepit dan tidak lagi mampu mengelola pertaniannya menjadi jalan bagi pemerintah untuk menjadikan lahan tersebut sebagai lahan ekspansi untuk diberikan kepada pengusaha menanamkan modalnya di daerah tersebut.

Sementara petani semakin hari semakin miskin dan menderita, pemodal dengan ongkang-ongkang kaki bisa memperbudak petani untuk diperas keringatnya.

2 thoughts on “NAMORIAM: Dari Petani Pangan ke Petani Komoditas dan Petani Pengontrak

  1. “Konversi lahan yang terjadi di Desa Namoriam tidak terlepas dari kurangnya perhatian pemerintah terhadap persoalan yang dihadapi petani.” Cocok sekali kesimpulan Jeremi Ginting, karena memang itulah selalu.

    ‘perhatian pemerintah’ . . . pemerintah mana? Ini adalah masalah politik Politik yang merusak lingkungan dan penjualan tanah ulayat orang Karo di Deliserdang. Pemerintahnya adalah pendatang dan mewakili pendatang yang tak peduli kesejahteraan penduduk lokal. Hancurkan dan bagi-bagikan!

    Salah satu penyelesaian politis seperti dikatakan oleh LG. Bangun kabupaten Deli dan Serdang hulu! Walaupun bupati orang Karo tak menjamin segalnya, tetapi orang Karo sebagai penduduk asli daerahnya punya hati nurani untuk tidak bikin mampus orang Karo dan merusak tanahnya! Itulah bedanya dengan pendatang!
    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.