Newin Barus: TERANGILAH DENGAN LILIN

Betlehem KetarenlilinBETLEHEM KETAREN. BERASTAGI. Jam di ruang tamu Paroki menunjukkan Pkl. 12.30. Seribuan umat yang tadi merayakan imannya di gereja itu telah pulang ke rumahnya masing-masing dan mungkin telah mengerjakan aneka pekerjaan. Tiada lagi suara memutar kenderaan atau suara erlebuh mulih. Suaraku dan suara Pak Sembiring Kembaren yang kuwawancarai, yang tadi bertalu-talu bagai gendang di palu, gayung bersambut bagai pantun diadu juga sudah tiada lagi seiring Pak Sembiring telah berlalu pulang.

Di hadapanku telah duduk seseorang. Yang seperti kukenal dan sepertinya juga tidak. Tubuhnya kerdil dan kurus serta sepertinya  mempunyai kelainan.

“Mau nulis Pak Sembiring di Ralinggungi, bang?” Katanya menyapa. Pertanda ia juga sudah lama duduk di kursi panjang itu.

“Oh, tidak. Majalah kita itu sudah lama berhenti. Mau ditulis di Tabloid Sora Sirulo,” kataku.

Di matanya kulihat cahaya berbinakan harapan dan permintaan kepadaku, namun aku tak mengerti.  Perutku sudah lapar, otakku sudah lelah. Namun insting pelayan dalam diriku berkata lain.

Newin Barus (40 Tahun) pengrajin Lilin dari Tanjungbarus

lilin 1“Aku Newin, bang. Barus mergaku, bere-bere Sembiring. Aku enggo erban lilin ras enda lilin-lilin si kubahan,” katanya memperkenalkan diri sambil mengeluarkan lilin beraneka ragam ke hadapanku.

“Aku kutandai kam, bang. Rusur kam kuidah mere pengajaren i gereja Tanjungbarus.” katanya lagi.

Perkatan-perkataannya membuatku duduk kembali duduk dan mendengarkan perkataan-perkataannya.

“Sebenarnya aku lahir sehat seperti orang normal lainnya. Sewaktu kelas dua SMP aku terjatuh iewasken lembuku yang nakal. Biasalah bang iobati ala kadarnya dengan minyak pengalun. Aku masih biasa seperti orang lainnya, berdiri tegak dan beraktifitas seperti biasanya. Ketika saya SMA dan mau melanjut kuliah namun tidak diijinkan orang tua, tiba-tiba sakit tersiher karena jatuh dulu langsung kambuh. Aku terbaring di tempat tidur selain karena sakit tapi juga terlebih karena putus asa tidak diberi kesempatan kuliah”, katanya.

“Lalu aku semakin kurus, kerdil dan bongkok. Duniaku menjadi gelap karena selain tak punya harapan, aku juga mendadak cacat!”, sambung Newin Barus.

Newin Barus sedang berdiri, badannya tak lebih tinggi dengan ketika duduk.

“Waktu demi waktu berlalu aku berusaha bangkit, terlebih-lebih dari keputusasaan itu. Aku berusaha hidup normal, walau badanku tak normal lagi”. Melihat kegigihanku bekerja di ladang, mungkin karena jatuh hati atau karena kasihan, Asrida br Sembiring mau jadi istriku, dan Tuhan mpelimikin dua anak i jabu kami bang. Sintua namanya Lanina Mayrani Br. Barus sekarang sudah kelas VI SD dan singuda Supredo Barus sudah kelas I SD!”. Tapi seiring dengan keterpurukan pertanian kita,  aku berfikir panjang, apa yang harus kuperbuat supaya kedua anak itu bisa kuliah kelak seperti pinta-pintaku dulu!”, sambung Newin.

“Lalu bagaimana ceritanya sampai jadi pengrajin lilin?” Tanya Sora Sirulo.

“Sebenarnya sejak Pastor Leo Joosten ada di Berastagi aku sudah diajak ke RS Harapan Jaya di Siantar, bang. Tapi awalnya aku enggak mau. Tapi, ketika uskup datang pada acara peletakan batu pertama gereja kita itu dan beliau marah-marah kepada Pastor Leo, hati saya menjadi luluh. Apa lagi saya lihat anak-anak sudah mulai besar dan tak terasa waktunnya mungkin akan menuntut kuliah!” katanya.

“Karena ternyata cacat saya sudah permanen dan tidak bisa disembuhkan lagi, saya diberi kesempatan belajar. Saya memilih belajar membuat lilin, karena saya pernah merasakan kegelapan itu sungguh mengerikan. Lalu Pastor Leo memberi bahan lilin berupa 50 kg paravin dan 25 kg streary. Pastor itu juga menitipkan sumbangan sebuah alat ukir sekaligus penghias lilin dari seorang Belanda yang mengawini seorang beru Bangun sebagai hadiah Natal. Kata pastor, hadiah itu bernilai seharga 600 Euro,” kata Newin dengan nada berterimakasih.

“Terimakasih juga, bang. Pastor Leo selalu membeli lilin gelas saya untuk dipakai turis yang ingin berdoa di gereja inkulturatif ini. Lilin saya ini juga dipakai di gereja Tanjungbarus.

“Seandainya ada orang ingin menyimpan lilin ini sebagai hiasan saja, juga boleh. Ada berbentuk alpukat, piramid dan lain-lain. Saya juga berani mengerjakan hiasan-hiasan dengan motif  ukiran Karo,” katanya bersemangat.

“Selamat, Newin! Kam sudah terbebas dari kegelapan dan semoga dengan lilinndu orang-orang yang sedang putus asa juga dapat terinspirasi dari perjuanganndu!” kata Sora Sirulo mengakhiri percakapan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.