Pernak Pernik Kemerdekaan (2): PAHLAWAN TAK DIKENAL DAN TAK DIAKUI (?)

Oleh: Arapen Sinuraya (Prabumulih)

 

veteran
Seorang Veteran 45 berkisah di sebuah warung kopi di Tigabinanga (Dataran Tinggi Karo) seusai peringatan HUT RI. Foto: DARUL KAMAL LINGGA GAYO.

arapen sinurayaSuatu hari di tahun 1980an (pada waktu itu lagi ada pengecekan/ penataan ulang siapa saja yang berhak menyandang gelar Veteran 45 dan berhak menerima gaji pensiun). Saat itu, kami sekeluarga baru selesai makan malam. Rumah kami kedatangan tamu yang adalah paman (bengkila) kami. Namanya Minpin Ginting Munte asal Ajinembah (keluarga besar Palas Sipitu Ruang) tapi menikah dan tinggal menetap di Bunuraya. Begitu masuk ke dalam rumah, beliau langsung memeluk ayah kami dan menangis.

Tangisannya terdengar sangat pilu sekali sambil berkata: “Engko ngei akapmu ntabeh, nak, impal, kalimbubu kami.” (engkau yang mengalami kenikmatannya)

Ayah kaget dan bertanya: “Kai kin ei, mpal?” (Apa yang terjadi, besan?)

Lalu bengkila bercerita. Sore tadi, beliau mendapat pemberitahuan bahwasanya gaji veteran yang diterimanya selama ini sudah dihentikan karena perjuangannya tidak diakui alias tidak pernah ada. Mirisnya lagi, ada oknum yang menakut-nakuti uang gaji yang selama ini telah diterima harus dikembalikan kalau tidak mau masuk penjara karena telah melakukan penipuan.

Uga nari nge kubahan man bangku, nak? hu hu hu…” (Mau jadi apa lagi aku kalau sudah begini, kawan?) kata paman lagi sambil menangis terisak.

Mendengar itu, ayah hanya termenung tanpa kata. Kulihat matanya berkaca-kaca. Setelah hening beberapa saat, ayah berkata dengan suara agak lirih: “Dulupun sering kukatakan, teruslah kita bekerja di pemeritnahan. Tapi kamu tidak peduli. Kami lebih tertarik bekerja di ladangmu. Beginilah jadinya.”

“Bagaimana dengan uang yang harus kukembalikan itu?” kata paman lagi dengan agak emosi.

Ayah berkata: “Biarkan! Tidak perlu dikembalikan. Munggil ia ku joh kerina. Kalau karena itu kamu dipenjara, aku akan mengikutimu dan kita bersama di penjara.”

Barulah paman agak tenang. Singkat cerita, setelah membahas soal gaji veteran, mereka pun bercerita nostalgia masa perjuangan dengan kami semua anak-anak ayah yang mendengarkan.

Di tengah-tengah cerita, paman bertanya ke ayah: “Masih ingatkah engkau teman kita si Upah? Aku tidak bisa melupakannya.”

Saya pun merasa tergelitik tak tahan untuk tidak bertanya: “Bagaimana ceritanya, bengkila? Ceritakanlah kepada kami.”

Lalu paman itu bercerita dengan sekali-sekali diselingi oleh ayah:

Suatu hari, mereka bertiga (ayah, paman, dan Upah) diperintahkan oleh pimpinan untuk suatu misi membawa informasi rahasia agar disampaikan ke pimpinan lebih tinggi. Karena bukan misi tempur, mereka tidak dibekali senjata.

veteran 2
Usai pawai peringatan Kemerdekaan RI yang ke 70 di Kabanjahe. Foto: NGGUNTUR PURBA.

Di tengah perjalanan, mereka terpergok oleh patroli Belanda dan segera menyingkir. Tapi patroli Belanda yang melihat mereka segera mengejar. Untuk menyelamatkan diri, mereka bersembunyi di pinggir sungai yang tebingnya mempunyai ceruk.

Sekian lama bersembunyi, si Belanda tidak pergi juga dan tetap mengepung sungai tersebut. Melihat situasi yang kurang menguntungkan, Upah selaku yang dituakan di kelompok mereka mengambil keputusan untuk mengorbankan diri agar rekannya dan informasi yang dibawa bisa selamat sampai ke tujuan.

Sebenarnya ayah dan paman tidak setuju dan melarang (kalau memang mati, harus mati bersama). Tapi Upah tetap bersikeras.

Lalu, Upah pun menyelam sejauh mungkin ke arah hilir sungai. Begitu muncul ke permukaan, Upah pun berenang secepat dia bisa. Melihat buruannya berusaha meloloskan diri, para Belanda pun menghujaninya dengan tembakan. Tersentak badan Upah kena terjangan peluru, memerah warna air sungai oleh darah almarhum Upah.

Ayah dan paman dari persembunyian hanya dapat melepas kepergian Sang Kesuma Bangsa almarhum Upah dengan tatapan pilu dan menangis tanpa suara sambil berpelukan (air mata mengalir ke dalam).

Satu hal yang tak dapat mereka lupakan, bagian anggota badan almarhum yang terakhir terlihat sebelum tenggelam dan hilang dibawa arus adalah tangan kananya yang mengepal teracung tinggi ke atas, menggambarkan keteguhan hati dan semangat rela berkorban dan pesan selamat tinggal, teruskan perjuangan.

Si Belanda, setelah menembak almarhum Upah, mereka pun pergi sambil tertawa puas.

“Perih rasanya terdengar di kuping,” kata ayah.

* * * *

Marilah kita hening cipta sejenak….. (Redaksi: Silahkan dengarkan musik dan lagu perjuangan Karo di youtube ini sambil merenungkan kata-kata di bawah.)

Untukmu, Pak Upah. Terimakasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan untukmu. Kalau bapak tidak berkorban, mungkin ayah dan paman juga akan gugur sehingga tidak sempat berkeluarga dan saya tdak akan lahir ke dunia ini. Walau pun saya tidak sempat kenal dengan kam, pak, tapi setelah mendengar cerita tentang kam, rasa-rasanya pertendiinndu (jiwamu) sangat dekat bagiku. Tindakan heroikndu selalu menjadi ilham bagiku dimana pun berada dan bertugas.

Untuk ayah, tolong sampaikan salamku kalau kam ketemu sama Pak Upah. Sampaikan juga, di Prabumulih ada seseorang yang menjadi pengagumnya yang mengidolakannya.

Untuk paman, sudahlah, ikhlaskanlah… Biar kam tenang di dalam istirahat panjangndu. Walau pun perlakuan yang kam dapatkan sungguh sangat tidak pantas dengan apa yang telah kam perbuat untuk negara ini…

Prabumulih 18 Agustus 2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.