Kolom M.U. Ginting: Pajak Delitua dan Morality

Delitua 8
Foto: IMANUEL SITEPU

M.U. Ginting 2Masalah hukum mestinya adalah sederhana saja, yaitu; mana yang adil atau yang tidak adil. Kalau sudah dibikin jadi komplikasi berarti sudah ada yang mau ditutupi. Apa yang mau ditutupi biasanya ialah yang tidak adil, artinya ketidakadilan. Yang bikin lebih rumit lagi ialah minimnya pengetahuan praktis soal hukum, hakekatnya dan saling ketergantungannya dengan dua soal lain yang tak bisa dipisahkan dari tema justice dan power. Saling hubungan yang tak terpisahkan antara 3 tema ini; antara law dengan justice dan antara law dengan power.

Dalam era internet, sebagai era keterbukaan dan era informasi elektronik, pengetahuan publik soal hubungan hakiki antara ketiga tema itu bisa menjadi pengetahuan biasa saja sehingga tidak gampang lagi tertipu oleh ’ahli hukum’.

Dalam hubungan dengan pengusiran pemilik Pajak Delitua, publik dan pemilik sah Pajak Delitua tak perlu tertipu dan bisa mempertahankan hak-hak ulayatnya.

“To speak about law is always and necessarily to be engaged in a discourse about both justice and power. While law’s relationship to justice is everywhere contingent and uncertain,law completely divorced from power is unthinkable.” Prof Austin Sarat Amherst College, USA.

Karena law tak bisa dipisahkan dari power dan power itu sendiri bisa kuat dan bisa lemah, maka dengan sendirinya juga putusan hakim (justice) di mana saja dan kapan saja akan selalu ‘contingen and uncertain’ atau akan selalu tergantung dan tak pasti, ditentukan oleh hubungannya dengan power tadi.

Kita punya contoh konkret soal ini, yaitu ketika Praperadilan Komjen Budi Gunawan (BG). Di belakangnya ada kekuatan Polri yang kuat atau, dalam hal ini, lebih kuat dari KPK. Kekuatan ini malah bisa membalikkan tuduhan dengan menangkap orang-orang KPK yang menuduh Komjen Polisi itu. Praperadilan BG walaupun keluar dari aturan KUHP yang sudah ada, tetapi bisa berhasil. Artinya, justice itu tertantung power tadi.

Dengan adanya pengetahuan sederhana soal saling hubungan antara ketiga komponen keadilan itu (law, justice, power), maka penduduk asli pemegang tanah ulayat Deliserdang tidak perlu lagi tertipu oleh power pendatang yang datang ke Deliserdang dengan memanfaatkan masa ’open borders movement’ era lalu.

Sekarang juga, kita sudah mengerti dari penyelidikan ilmiah akademisi dunia bahwa politik ’open border’ adalah immoral (Prof. Frank Salter). Kita bisa ambil contoh konkret bahwa politik itu bukan hanya immoral tetapi adalah juga tak berperikemanusiaan, seperti hilangnya tanah ulayat dan kekuasaan politik orang Pakpak di Pakpak Dairi.

Kehilangan tanah ulayat dan kekuasaan bukanlah hanya soal immoral tetapi juga jelas tak manusiawi. Penduduk Karo Deliserdang bisa bandingkan ini dengan tanah subur Deliserdang dan tanah Pajak Delitua dengan power pendatang di tanah ulayat orang Karo ini.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.