Kolom Eko Kuntadhi: PANIK MINYAK GORENG

Minyak goreng jadi isu. Emak-emak teriak, harga minyak goreng mahal. Bukan hanya mahal. Barangnya juga susah didapat. Isunya kencang seperti angin ribut. Minyak dalam kemasan naik sampai Rp 5 ribu/ liter. Pemerintah bikin operasi pasar. PKS juga bikin. PDIP bikin juga.

Tujuannya agar harga kembali normal dan pasokan terisi.

Tapi, saat operasi pasar orang antri. Melihat orang antri, makin paniklah emak-emak. Makin kalap belanja minyak. Yang tadinya hanya beli 2 liter per bulan. Kini harus nambah. Jadi 10 liter per bulan.

Begini. Konsumsi migor per kapita itu rerata 1 liter per bulan. Artinya setiap orang mengkonsumsi migor ya, seliter itu. Jadi kalau di rumah ada 4 orang, terjadi kenaikan belanja Rp 20 ribu.

Tentu saja yang namanya kenaikan harga, bikin keki. Kehilangan duit Rp 20 ribu sebulan itu sama saja biaya pulsa tiktok seminggu. Masa gegara minyak goreng, kita gak buka tiktok? Resikonya akan dikira gak gaul.

Harga CPO memang lagi naik di dunia. Sementara CPO adalah bahan baku migor. Kenaikan harga sebetulnya dampak dari itu.

Dulu harga CPO anjlok. Uni Eropa bahkan mengharamkan beli CPO kita sebagai bargain mereka maksa kita jual Nikel mentah. Tapi Pak Jokowi ogah.

Kalau Uni Eropa gak mau beli, kita akan gunakan CPO itu sendiri. Maka dibuatlah program biodiesel B20-B30. Campuran minyak fosil dan nabati. Produksi CPO terserap dengan harga wajar.

Tapi ternyata kini dunia sedang lapar CPO. Harga melambung. Dan kita adalah produsen CPO terbesar di dunia.

Ekspor CPO inilah salah satunya yang membuat neraca perdagangan kita moncer terus. Bahkan sampai surplus.

Resikonya kebutuhan di dalam negeri, salah satunya buat produksi migor jadi terganggu. Karena itu tadi, diekspor jauh lebih untung.

Buru-buru pemerintah membuat regulasi. Ekspor boleh, asal kebutuhan dalam negeri diutamakan. Beres. Pasokan CPO buat produksi migor lancar.

Apalagi pemerintah menyiapkan duit Rp 7, 6 triliun untuk menjaga harga patokan tertinggi migor di pasaran. Jadi sekarang setiap liter migor yang dikonsumsi, kita disubsidi pemerintah.

Hanya saja publik keburu panik. Biasa sih, emak-emak. Kagak boleh ada kabar sedikit di pasar langsung bereaksi.

Ada diskon panik. Pas harga naik, panik juga. Yang biasanya beli seliter jadi borong 3 liter. Yang biasanya belanja minyak seminggu sekali, kini setiap hari kalau ketemu minyak langsung disambar.

Padahal puasa masih jauh. Konsumsi bahan makanan pokok belum naik signifikan juga.

Ini ditambah dengan cara penanganan yang main operasi pasar itu. Antrian terbentuk. Persepsi makin melambung bahwa rakyat susah mendapatkan migor.

Melihat kondisi begini, ada pihak yang mau ambil untung. Yaitu para distributor migor. Mereka menimbun barang agar harganya tetap tinggi. Ini yang bangke.

Dengan perilaku kayak gini, mestinya Mendag tegas. Jangan pake ragu. Jitak kepalanya. Suruh mereka membanjiri pasar. Wong mereka juga gak rugi. Cuma gak bisa untung banyak.

Sebetulnya kalau Menteri Perdagangannya kerja bener, udah bisa diantisipasi kejadian ini. Kan, trend kenaikan harga CPO memang sudah bisa diprediksi. Kebun sawit di Malaysia gak maksimal karena kebanjiran. Sementara Malaysia menguasai 25% sawit dunia.

Jadi wajar kalau harga CPO dunia melonjak.

Ketika pemerintah kelihatan panik dengan kondisi begini. Apalagi ditambah komunikasi publiknya yang amburadul, ya makin terbentuklah kepanikan pasar.

Belum lagi ditambah gerombolan kompor yang terus membangun persepsi publik bahwa pemerintah gak becus. Makin runyam keadaan.

Saya merasakan ada kelompok masyarakat yang terus memainkan kepanikan ini.

Padahal ya. Produksi normal. Konsumsi normal. Harga CPO memang naik, tapi kan ada disubsidi Rp 7, 6 triliun agar harga migor bisa bertahan wajar.

Kalau migor mau normal lagi, gak usah panik. Beli aja sesuai kebutuhan. Cuekin para penimbun. Kalau minyak goreng gak ada, kan bisa masak pake minyak rambut.

“Mas, kalau minyak telon oplosan bakal disubsidi pemerintah juga, gak?” tanya Abu Kumkum.

Gak taooo…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.