Kolom Eko Kuntadhi: PENDAMPING GANJAR — Sandi atau Erick?

Ada kesepakatan tidak tertulis, sebaiknya pasangan Capres dan Cawapres itu mewakili dua kelompok politik besar: Nasionalis dan Islam. Iya sih, kalau melihat dari sejarah Parpol Indonesia sejak dulu, emang dua segmen ini yang paling mendominasi.

Pemilu pertama misalnya, PNI (Nasionalis) dan Masyumi serta NU (Islam) berhasil menguasai peta perpolitikan nasional.

Setelah Orde Baru emang, pemgelompokan ini sedikit berubah. Partai-partai Islam difusikan dalam PPP. Sementara partai nasionalis digabungkan dengan partai Kristen dalam PDI. Lalu ada Golkar, saat itu dikenal sebagai partai yang bukan partai.

Tapi, setelah Reformasi formasi kepertaian balik lagi seperti sebelumnya, yaitu nasionalis dan Islam.

Paduan kedua kekuatan politik ini sering menjadi rumus ketika menggandengkan pasangan dalam Pemilu. Baik nasional maupun daerah.

Ada juga sih, paduan Jawa dan non-Jawa. Atau paduan sipil-militer. Meski dua paduan terakhir ini sudah kurang begitu populer.

Jadi, wajar saja sekarang orang sedang memasang-masangkan Capres dan Cawapres dengan konsep paduan lama: nasionalis dan Islam. Dalam hal ini, Islam tradisional yang direpresentasikan sebagai kaum nahdiyin.

Ketika PDIP mengusung Ganjar Pranowo, jangan heran kalau para Cawapres berebut ingin dia tempel sebagai bagian dari keluarga Nahdiyin. Lihat saja Erick Thohir, dia sampai rela mandi lumpur mengikuti pelatihan Banser. Agar bisa masuk menjadi keluarga besar NU. Erick berharap dia digandeng oleh Ganjar sebagai representasi warga sarungan.

Selain Erick, Sandiaga Uno rupanya menggunakan strategi yang gak jauh beda. Sandi kini melirik untuk lompat ke PPP. Iya, dalam konteks politik, PPP juga dianggap partai kaum Islam tradisional selain PKB.

Nah, Sandi juga berharap dilirik oleh PDIP untuk dipasangkan dengan Ganjar. Apalagi sekarang PPP sudah mendeklarasi secara resmi mendukung Ganjar.

Masalahnya, baik Erick maupun Sandi masih punya sedikit ganjalan dengan PDIP terutama Bu Mega. Erick dianggap terlalu genit sampai seluruh ATM tampil wajahnya. Orang yang terlalu genit gak cocok untuk posisi Cawapres. Beresiko mau jadi matahari juga nantinya.

Sementara Sandi juga ada masalah. Ingatan PDIP pada kampanye brutal di Pilkada Jakarta gak gampang dihapuskan. Sandi berpasangan dengan Anies yang dikenakan sebagai bapak politik identitas. Ada trauma yang tidak mudah dilupakan dengan kampanye jualan agama.

Tapi, jika faktor elektabilitas menjadi pertimbangannya, Sandi punya kelebihan dibandingkan Erick. Dia pernah mendampingi Anies. Juga mendampingi Prabowo dalam Pilpres. Sementara lawan Ganjar adalah Anies dan Prabowo.

Keberadaan Sandi bisa menambah elektabilitas buat Ganjar. Sedangkan segmen pendukung Erick kayaknya sama dengan pendukung Ganjar. Jadi Erick gak menambah elektabilitas berarti buat kemenangan.

Kesamaannya, keduanya dikenal sebagai pengusaha yang bisa membantu logistik kampanye.

Saya rasa kedua nama itu yang sekarang menjadi pembicaraan siapa yang akan mendampingi Ganjar sebagai Cawapres.

Tapi, berkaca pada pengalaman 2019, soal Cawapres ini bisa sangat mengejutkan. Mungkin aja tetiba Mahfud MD yang akhirnya dipilih pendamping Ganjar.

Politik itu sangat dinamis.

“Tapi wajah Sandi gak ada di ATM, mas. Kalau habis gajian, saya suka lihat wajah Pak Erick. Tapi pas tengah bulan, senyumnya Pak Erick di layar ATM, kok kayak ngeledek, ya,” komentar Abu Kumkum.

Itu sih, emang nasibmu, Kum…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.