Saya masih ingat ketika masuk ke Seminari Menengah Pematang Siantar (Sumatera Utara) pada tahun 1999, setelah menyelesaikan SMP di Budi Mulia Pangururan (sekarang masuk wilayah Kabupaten Samosir). Porbatorium adalah asal kata dari probation yang terjemahan bahasa Indoensianya adalah percobaan. Pada tahun pertama di Seminari, yang merupakan sekolah khusus bagi calon imam Katolik, harus melalui kelas Probatorium selama 1 tahun untuk yang lulus dari tingkat SMP. Saya pun dengan nilai pas-pasan bisa lulus dari Seminari ini pada tahun 2003.
Saya teringat kembali, di tengah kesibukan bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di bidang energi, bahwa setiap tahun akan dilakukan Long March dari Seminari ke tujuan yang berbeda-beda. Perjalanan yang pernah kami lakukan seingat saya dengan tujuan: Parapat, Tanjung Unta, Tigaras (Kabupaten Simalungun). Saya lupa satu lagi, harusnya ada 4 tujuan, karena waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan di Seminari ini adalah 4 tahun.

Saya, yang tidak hanya di sekolah ketika SD, bahkan di rumah pun dicap sebagi anak bodoh, selalu berusaha menunjukkan bahwa saya mampu. Perjalanan Long March ini pun bagi saya menjadi ajang perlombaan. Dari 4 kali Long March, saya tidak pernah di posisi 4, selalu paling rendah urutan ke-3. Karena perjalanan yang ditempuh mulai malam hari, maka saya bersama teman-teman berjalan bersama dan saya berusaha memberi semangat untuk teman supaya terus berjalan dan lebih cepat. Ini saya lakukan, karena saya ingin menyelesaikan target saya menjadi yang lebih dahulu sampai.
Setelah matahari mulai terbit kebanyakan orang sudah mulai lemas dan tak bersemangat. Saya sendiri sudah mulai merasa perih karena kaki yang lecet bergesekan degan sandal jepit yang saya pakai.
“Aku harus sampai lebih dulu,” dalam hati aku terus menyemangati diri sendiri.
Semangat yang aku punya tidak bisa lagi diserap oleh teman sekelompokku dan kuputuskan untuk berlari meninggalkan mereka.
Keadaan ini terjadi dari 4 perjalanan yang sudah kulakukan dan aku selalu sampai lebih awal . Sebenarnya tidak ada penghargaan atas siapa yang lebih awal, tetapi mungkin karena aku dicap sebagai anak yang dicap bodoh dan tidak bisa berbuat apa-apa ketika SD menjadikan saya selalu ingin menunjukkan bahwa aku bisa jauh lebih baik dari anggapan orang lain.
Motivasi untuk berkompetisi ini terus berlanjut ketika mulai di dunia kerja, apalagi karena saya mengawali dunia kerja dengan pendidikan (apprentice) selama 1 tahun. Saya dengan semangat terus belajar dan bekerja supaya menjadi yang terbaik. Tidak jarang saya melihat perkembangan teman lain yang saya posisikan sebagai saingan. Menjadi nomor 2 pun bagi saya akan menjadi kegagalan. Akhirnya memang saya menyelsaikan pertarungan ini dengan menempati urutan pertama.
Saya sudah menjalani dunia kerja memasuki tahun ke-6. Selain semangat untuk selalu menjadi yang terbaik, saya tidak pernah berhenti melihat keadaan sekeliling. Saya pun selalu melihat alam dan lingkungan sekitar beserta masyarakatnya ketika dalam perjalanan ke manapun saya pergi. Saya melihat alam yang rusak, rumah yang rewot, orang gila, anak-anak memanggul kayu, kakek dan nenek renta menyabit rumput, anak jalanan dan tentu juga kota, jalan, rumah dan orang- orang yang hidupnya sangat berkecukupan. Saya tentu tidak memikirkan orang yang berkecukupan. Pikiran saya terbenam dalam lamunan ingin sekali berbuat bagi mereka yang hidupnya jauh dari layak.
Saya ingin berbuat untuk merubah hidup orang lain.
Untuk melakukan ini maka saya harus lebih baik dari orang yang mau saya tolong. Bagaimana mungkin saya memberi jika saya tidak memilikinya? Saya harus lebih baik lagi, bekerja-belajar, berjuang lebih keras lagi. Saya yakin dengan begitu peluang saya untuk lebih berguna lagi bagi orang lain akan semakin besar. Bagi orang lain saja saya ingin berguna, untuk keluarga sendiri sudah tentu itulah tangga pertama yang akan saya perbaiki.
Seperti kata Mother Theresia, semua berawal dari rumah. Begitulah pergeseran motivasi yang saya alami.
Foto head cover: Pelabuhan Tigaras (Kabupaten Simalungun). Dari pelabuhan ini dapat berlayar ke bagian-bagian lain dari tepian Danau Toba di wilayah Kabupaten Simalungun seperti halnya Parapat, dan Haranggaol serta Tongging di Kabupaten Karo, Silalahi di Kabupaten Dairi atau menyeberang ke Simanindo di Pulau Samosir (Kabupaten Samosir).