Pengungsi Sinabung Tiada Henti Diterjang Derita

Oleh: Jhon Rocky (Kabanjahe)

Jhon RockyHaruskah hidupku terus begini, dengan derita yang tiada akhir? Ke manakah jalan yang harus kutempuh agar aku bahagia? Apa salahku dan apa dosaku sampai ku begini?

Sepenggal lagu D’lloyd ini ternyata sangat kontras mengiringi perjalanan hidup pengungsi Gunung Sinabung. Tidak tanggung-tanggung warga lereng Gunung Sinabung ini harus rela meninggalkan tempat kelahirannya dan segala kenangannya menghindari ganasnya amukan Gunung Sinabung.

Jeritan menyayat dan gemuruh lantang Sinabung seakan menyatu membuyarkan segala asa di lereng Gunung Sinabung. Detak kehidupan seakan berhenti memacu nadi, menyadarkan jiwa akan kuasa Ilahi.

relokasi 5
Sefer Nanda Sitepu (Model Sora Sirulo).

Tak terasa 3 tahun lebih peristiwa memilukan itu telah berlalu, tetapi selalu abadi di ingatan insan lereng Gnung Sinabung. Mereka harus berjuang untuk bertahan hidup dari rasa iba orang-orang yang peduli pada nasib mereka. Dinginnya malam di tenda-tenda penampungan yang disediakan pemangku kebijakan seakan menyempurnakan penderitaan mereka.

Tiada lagi canda dan tawa, kecuali tangis dan duka yang enggan berlalu. Kini, nasib pengungsi semakin miris sejak pemangku kebijakan menciptakan istilah Relokasi Mandiri.

Pemangku kebijakan seakan menyerah dan angkat bendera putih untuk menyelamatkan jiwa pengungsi yang penuh lara. Seharusnya mereka yang berpeluh mencari seonggok tanah tempat berteduh untuk pengungsi, justru sekarang pengungsi yang harus berkeringat mencari tempatnya untuk menyambung asa yang hilang ditelan abu vulkanik Gunung Sinabung.

Mereka hanya duduk dan diam di singgasana kehormatan mereka dengan seonggok uang yang akan dihamburkan untuk menuntaskan tanggungjawab mereka. Ternyata kertas yang berlabelkan rupiah itu tak menyelesaikan masalah pengungsi. Penderitaan demi penderitaan ternyata tak ingin berlalu begitu saja dari kehidupan para pengungsi.

relokasi 6Mereka kembali harus mengelus dada menyaksikan dengan mata telanjang sederetan huruf penolakan segelintir orang atas kehadiran mereka di tanah relokasi mandiri yang mereka impikan. Apa salah dan dosa kami? Lagu kami Indonesia Raya bendera kami Merah putih. Tapi, mengapa kami ditolak di bumi kami sendiri di BUMI TURANG? Kata-kata itu bergemuruh di dadanya tanpa mereka ucapkan.

Tanah itu bukan tanah sengketa atau diberi dengan cuma-cuma kepada para pengungsi, tapi mengapa segelintir orang tersebut enggan menerima dengan hati lapang kehadiran pengungsi di tanah nenek moyang mereka?

Sederetan pertanyaan muncul untuk direnungkan. Apa di balik semua ini? Adakah kepentingan sesaat yang harus dijawab dengan tegas? Atau hanya sekadar dengki yang harus dipertahankan? Tanyalah kepada awan panas yang membara!

Panjangnya jalan yang harus ditempuh pengungsi ternyata menumbuhkan benih-benih solidaritas. Mereka sepakat memasang badan untuk menerjang ketidakadilan dan ketidakpastian yang menyelimuti nasib mereka. Andaikan hukum di NKRI ini sudah tidak bisa lagi dijadikan tameng kebenaran maka para pengungsi juga tak segan melepas baju kekerabatan yang selama ini mereka junjung tinggi. Nasib mereka bukan untuk dipermainkan tapi untuk diperjuangkan para penguasa. Pengungsi sangat menyesalkan para pembuat kebijakan yang tidak tegas membuat keputusan.




Adakah di negeri hukum yang sangat kita cintai ini seorang ingin membeli baju kesukaannya bisa dihalangi orang yang nota bene bukan pemilik baju itu? Tanya lagi kepada rumput yang menari. Semuannya bagaikan panggung sandiwara yang hanya bisa kita tonton tanpa bisa kita tahu apa akhir ceritanya. Seharusnya panggung sandiwara ini tidak pernah ada ketika kita mengkedepankan kasih antar sesama dan rasa kesetiakawanan, tapi sekarang justru tombak itu semakin tajam mencari sasaran demi kepuasan yang tidak pernah terpuaskan.

Etika kehidupan kini ditanggalkan. Tersisa hanya murka dan keganasan yang ingin mencabik-cabik rasa kemanusiaan.

Sudahlah…

Aku sudah capek dan letih melihat semua ini…

Doaku untuk pemangku kebijakan agar diberi kekuatan oleh Tuhan untuk bisa mengibarkan panji aturan dan kebenaran agar darah tidak tumpah dari raga dan senandung D’iloyd hanya seuntai kata yang harus kita renungkan.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.