Kolom Eko Kuntadhi: PERANG YANG MUBAZIR BUAT PENGEPUL SEDEKAH

AS adalah produsen minyak terbesar. Produksinya mencapai 17% dari seluruh produksi dunia. Sedangkan Rusia berada di bawahnya dengan market 12,6%. Serangan Rusia ke Ukraina membuat harga minyak naik.

Kini harganya sudah menembus 110 dolar per barel.

Rusia juga punya cadangan gas terbesar. Sekitar 40% gas alam Eropa dipasok dari Rusia. Akibat krisis Ukraina harga gas dunia juga melonjak.

Sementara AS sedang giat memasarkan gasnya ke Eropa. Tujuannya menggantikan Rusia menjadi pemasok gas di benua biru itu. Masalahnya lokasi AS lebih jauh. Gas alam cairnya juga susah didistribusikan.

Tapi Eropa adalah pasar yang besar. Dengan alasan memangkas ketergantungan Eropa kepada Rusia, AS terus merangsek menawarkan gasnya tersebut.

Rusia gak pusing. Putin bisa saja mengalihkan pasokan gasnya ke China. China siap menerima gas untuk industrinya.

Yang merana adalah Eropa. Karena dipaksa melepaskan ketergantungan pada Rusia, mereka terpaksa juga membayar harga lebih mahal untuk gas dari AS. Atau mungkin dari Qatar.

Kenaikan harga minyak dunia yang melesat, sangat menguntungkan Rusia dan AS. Demikian juga Saudi dan Irak sebagai penghasil minyak ke tiga dan ke empat dunia.

Biaya perang Rusia bisa dikompensasi dari keuntungan mendadak itu. Apalagi sebelum invasi Putin, banyak perusahaan Eropa dan AS melepaskan sahamnya di perusahaan minyak Rusia. Mereka melepas saham dengan harga murah. Putin pintar. Dia memerintahkan anak buahnya membeli kembali saham-saham yang dilepas itu.

Lalu dengan cerdik, Rusia menyerang Ukraina secara mendadak. Ini membuat harga minyak melonjak.

Jadi siapa yang diuntungkan dari konflik Ukraina? Rusia jelas mengambil manfaat. Invasinya selain menguntungkan secara politik, juga memberi manfaat ekonomi.

Sementara AS, yang paling getol ngomporin Ukraina untuk menentang Rusia juga dapat durian runtuh.

Sekali lagi, yang merana adalah Eropa dan negara konsumen minyak dan gas. Sanksi ekonomi pada Rusia kayaknya gak akan berdampak terlalu serius.

Bukan apa-apa. Kini kekuatan ekonomi dunia bukan lagi di tangan AS. China sudah menggantikan posisinya. Dan kita tahu, China adalah sahabat Rusia.

Akhirnya perang bukan hanya sekadar gontok-gontokan pisik. Perang dalam skala lain adalah strategi meningkatkan pendapatan. AS terbiasa mendapat untung besar dari perang.

Di Indonesia, siapa yang biasanya mendapat untung dari perang? Biasanya adalah kelompok pengepul sedekah. Setiap kali ada perang terjadi di belahan bumi, para pengepul sedekah akan hadir dengan spanduk-spanduk save-save-an. Di spanduk itu juga tertera nomor rekening dengan huruf yang besar.

Kita mengenalnya dengan langkah Aksi Cepat Transfer.

Tapi sial. Perang Rusia-Ukraina ini bukan seperti perang di Palestina. Atau konflik di Syuriah.

Gerombolan ini bingung mau mencari celah mengasong kenclengan untuk mendapat untung dari perang. Mereka bingung mau bikin slogan save buat siapa?

Perang Ukraina-Rusia beda sama perang di Pelestina, Syuriah atau Rohingya. Biasanya mereka enteng aja memasarkan #SaveGaza, #SaveAleppo atau #SaveRohingya.

Tapi kali ini merena kebingungan mau bikin tager save apaan.

Mau membela Ukraina, presidennya keturunan Yahudi. Kalau membela Putin, dia adalah mantan agen KGB Uni Sovyet, yang komunis.

Repot.

Mungkin perang kali ini adalah perang yang tidak ada manfaatnya buat para pengepul sedekah. Perang yang mubazir!

Tapi mungkin saja, mereka masih bisa jalanin kenclengan untuk aksi bela Islam yang mau meng-Ahok-kan Gus Yaqut, Menteri Agama.

“Mau bela Islam gimana mas. Gerakan sholatnya aja salah,” celetuk Abu Kumkum.

Padahal yang pamer sholat di atas mobil komando pakai jubah ijo itu adalah seorang pengurus MUI. Iya, MUI. Majelis Ulama Indonesia. Tapi habis rukuk, itidal, dia malah rukuk lagi.

Astagah…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.